Ads block
Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Makalah Konseling Anak dan Remaja - Perilaku Agresif Pada Anak dan Remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara umum sama, setiap…
Baca selengkapnya »
Budaya dan Kepribadian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara umum yang tercermin…
Baca selengkapnya »
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Artikel (2)
- dinasti syafawi (1)
- makalah (21)
- Makalah Model Bimbingan dan Konseling (1)
- Novel (2)
- Puisi Kesedihan (2)
- slide (5)
About us
Total Pageviews
Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Makalah Konseling Anak dan Remaja - Perilaku Agresif Pada Anak dan Remaja
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara
umum sama, setiap anak dituntut untuk dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal
(perilaku) yang menjadi tugas perkembangannya dengan baik. Semakin besar
tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah yang dihadapi anak tersebut.
Masalah-masalah tersebut akan membuat anak sulit untuk melakukan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, sehingga mereka melakukan berbagai tindakan
negatif seperti penolakan, ketidaksabaran, dan lain-lain. Banyak sekali insiden
yang terjadi sebagai manifestasi perilaku agresif, baik secara verbal (kata-kata)
maupun non-verbal (action). Saat ini, ekspose berbagai ragam perwujudan daripada
perilaku agresi bisa kita jumpai hampir pada setiap media massa, bahkan dalam
kehidupan lingkungan kita.
Dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perilaku agresif yang ada pada
anak dan remaja.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian perilaku agresif?
2.
Bagaimana
naluri perilaku agresif?
3.
Bagaimana
pemberlajaran tindakan agresif?
4.
Bagaimana
hubungan televisi dengan perilaku agresif?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian perilaku agresif.
2.
Untuk
memahami naluri perilaku agresif.
3.
Untuk
menjelaskan pemberlajaran tindakan agresif.
4.
Untuk
menguraikan hubungan televisi dengan perilaku agresif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perilaku Agresif
Dalam
ensiklopedia psikologi sosial agresi adalah segala bentuk perilaku yang
disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak
lainnya berusaha untuk menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat 4
masalah penting dalam agresif. Pertama, agresi merupakan perilaku. Dengan
demikian segala aspek perilaku juga terdapat didalam agresi, terutama emosi.
Kedua, ada unsur kesengajaan. seorang korban tabrakan pada umumnya tidak bisa
dikatakan sebagai hasildari agresi, terlebih lagi bila pengendara sebenarnya
sudah berusaha menghindarinya. Di sisi lain seorang ibu yang sengaja mencubit
anak tetapi karena tidak bertujuan melukai, justru mendidik, tidak bisa
dikatakan agresif. Ketiga, sasarannya adalah makhluk hidup, terutama manusia.
Orang yang marah besar, tetapi disalurankan dengan menendang bola, belum
dikatakan sebagai agresi. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.[1]
Secara umum,
agresi memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, dimana keduanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut
“pernyataan diri” (assertiveness), yakni memperkuat kesadaran diri tanpa
merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi negatifnya kita namakan
tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.[2]
B.
Naluri Prilaku Agresif
Zastrow dikutip
dalam Badrun Susantyo[3] masih
meyakini dan beranggapan bahwa manusia itu sama ada halnya hewan, yang juga
memiliki naluri (instinct) bawaan yang sifatnya agresif. Pendapat ini
menyiratkan bahwa naluri (instinct) merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan
yang bisa membangkitkan perilaku agresif. Perilaku ini akan muncul manakala kebutuhan-kebutuhan
dasarnya (basic needs) tidak terpenuhi, seperti halnya kebutuhan akan
makan, rasa aman dan kebutuhan dasar lainnya. Perilaku agresif disebabkan oleh
karena faktor instingtif dalam diri manusia dan perilaku ini dilakukan dalam
rangka adaptasi secara evolusioner. Perilaku agresif yang dikembangkan biasanya
merupakan upaya untuk mempertahankan teritori dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup. Dalam konsep ini dikenal dengan agonistic aggression.
Perspektif
sosio-biologi percaya bahwa perilaku agresif berkembang karena adanya kompetisi
sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya yang terbatas. Dalam pandangan ini,
manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu
terbatas, ketika mengalami ketidak nyamanan, ketika sistem sosial tidak
berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar. Hal ini dilakukan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tindakan ini dilakukan
manusia agar tetap survive, untuk tetap menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya
ataupun membangun dan mengembangkan komunitas. Tanpa agresi manusia akan punah atau
dipunahkan oleh pihak lain. Perilaku agresif menurut perspektif ini merupakan sesuatu
yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya.
C.
Tindakan Agresif yang Dipelajari
Agresivitas
dapat diterangkan melalui pendekatan belajar. Agresi merupakan tingkah laku
yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus) sebagai
determinan pembentuk agresi tersebut. Pendekatan ini dikembangkan lagi oleh
ahli-ahli lain yang percaya bahwa proses belajar berlangsung dalam lingkup yang
lebih luas di samping melibatkan faktor-faktor eksternal dan internal.
1.
Pemodelan
Remaja dan
anak-anak didaerah pertempuran seperti Lebanon, misalnya, sering melihat dengan
mata kepala sendiri berbaai usaha untuk saling membunuh. Hanya dengan melihat
berbagai kejadian yang menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses
meniru seperti itu biasa disebut pemodalan atau imitasi. Salah satu
karakteristik penting dalam proses modeling ini adalah adanya hubungan
emosional yang kuat antara model dengan peniru. Biasanya orang ditiru adalah
orang yang dikagumi. Bahkan proses ini sering terjadi tanpa kesengajaan.
Misalnya orang tua yang memukul anaknya karena salah sering ditiru oleh anak
pada kesempatan lain ketika anak tersebut menyalahkan orang lain, sperti orang
bermain.[4]
2.
Pembelajaran
Dalam proses
pemodelan, meskipun peniru merasa mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang
sama dengan pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki hubungan
yang jelas dalam konteks prosesnya. Di sisi lain sering ada kesengajaan
seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu perbuatan dengan memberi imbalan
apabila orang tersebut mau melakukan. Dalam diri orang yang melakukan perbuatan
itu tertanam adanya hubungan antara imbalan tersebut dengan perilakunya.
Hubungan inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
agresifitas
a.
Faktor
Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi
perilaku agresi:
· Gen
tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang
mengatur perilaku agresi.
· Sistem otak
yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat
sirkuit neural yang mengendalikan agresi.
· Kimia darah.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan)
juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
b.
Faktor Naluri atau Insting
Menurut Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia
terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri kehidupan ) dan thanatos (naluri
kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri kematian (thanatos). Agresi dapat
diarahkan kepada orang lain atau sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat
pula pada diri sendiri (internal).
c.
Faktor sosial learning (peran
belajar model kekerasan)
Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari
beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan
melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema
kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat
dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun,
sinetron, sampai film laga.
Proses belajar merupakan mekanisme
utama yang menentukan perilaku agresi manusia. Bayi yang baru lahir menunjukkan
perasaan agresi yang sangat impulsif, tetapi akan semakin berkurang dengan
bertambahnya usia, sehingga akan mengendalikan dorongan impuls agresinya secara
kuat dan hanya melakukan agresi dalam keadaan tertentu saja. Perkembangan ini
terutama disebabkan oleh proses belajar. Menurut teori belajar, perilaku agresi
didapatkan melalui proses belajar. Belajar melalui pengalaman, coba-coba (trial
and error), pengajaran moral, instruksi, dan pengalaman terhadap orang
lain. Oleh karena itu, mempelajari kebiasaan melakukan perilaku agresi dalam
beberapa situasi dan menekankan amarah dalam situasi yang lain, bertindak
agresi terhadap beberapa orang tertentu, dan tidak terhadap yang lain, adalah
penting untuk mengendalikan perilaku agresi.
d.
Provokasi
Sering terjadi
agresi sebagai usaha untuk membalas agresi. Sebagaimana dikemukakan pada
penjelasan definisi, dalam agresi ada usaha pihak calon korban untuk
menghindari. Bentuk-bentuk penghindaran ini tidak saja sekedar menghindari,
tetapi ada yang berusaha dengan jalan memberi perlawanan. Bahwa tidak selamanya
agresi dan menyerang dalam bentuk fisik, tetapi juga meliputi penyerangan
verbal.
e.
Kondisi
Aversif
Kondisi aversif
adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh
seseorang. Menurut Berkowitz (1983) keadaan yang tidak menyenangkan merupakan
salah satu faktor penyebab agresi. Alasannya adalah orang selalu berusaha
mencari keseimbangan. Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang
akan mencoba membut keseimbangan dengan jalan, antara lain, berusaha
menghilangkan atau berubah situasi itu. Apabila situasi yang tidak menyenangkan
adalah makhluk hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang
tersebut.
f.
Isyarat
agresi
Isyarat agresi
adalah stimulus yang diasosiasikan dengan sumber frustasi yang menyebabkan
agresi. Bentuknya bisa berupa senjata tajam atau bisa orang yang menyebabkan
frustasi. Sebagai contoh adalah orang yang dekat dengan senapan laras panjang
atau pedang akan lebih cepat menjadi agresif meskipun dengan sedikit stimulasi.
Efek senjata ini hanya sebagai pemacu terjadinya agresi, bukan penyebab utama.
g.
Kehadiran
orang lain
Kehadiran
orang, terutama orang diperkirakan agresif, berpotensi untuk menumbuhkan agresi.
Diasumsikan bahwa kehadiran tersebut akan berpartisipasi ikut agresi. Di lain
pihak, kehadiran orang lain justru sering menghambat agresi, terlebih lagi bila
orang tersebut adalah pemegang otonomi yang berwibawa, seperti polisi .
h.
Karakteristik
individu
Berbagai
penyebab diluar individu yang bersangkutan akan sulit mencetuskan perbuatan
agresif tanpa ada faktor dari dalam. Fenomena yang paling sering terlihat
adalah stimulusi dari beberapa faktor akan memperkuat potensi dalam diri
individu yang kemudian memunculkn perilaku agresi.[5]
i.
Amarah
Marah merupakan emosi yang amat sukar untuk menerima
dan untuk mengungkapkannya. Rasamarah menunjukkan bahwa perasaan orang sudah
tersinggung oleh seseorang, bahwa sesuatu sudah tidak baik.[6]
Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut
disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Marah merupakan emosi yang memiliki
ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan
ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah
perilaku agresi.
j.
Frustasi
Orang-orang
mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang
diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat
daripada frustasi itu mungkin timbul perasaan-perasaan kejengkelan atau
perasaan-perasaan agresif. Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat
disalurkan kepada usaha yang positif, tetapi kerap kali perasaan tersebut
meluap-luap dan mencari “outlet”nya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya
dengan tindakan-tindakan yang agresif. Apabila segolongan orang mengalami
frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan mudah sekali
perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang
diprasangkainya. Yang lalu diserangnya secara kurang atau lebih intensif.
Demikianlah kiranya kejadian-kejadian psychis yang membelakangi
tindakan-tindakan diskriminatif atau tindakan agresif terhadap orang-orang dari
golongan yang dikenai prasangka-sosial.
D.
Korelasi Tayangan TV dengan Perilaku
Agresif pada Anak dan Remaja
Setiap hari
dapat dijumpai berbagai bentuk kekerasan. Setiap kali membuka surat kabar,
pasti dijumpai berita-berita mengenai pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan
sebagainya. Televisi adalah guru yang sangat efektif karena dengan menonton
televisi, para pemirsa, terutama anak-anak, dapat mempelajari perilaku yang
ditujukan untuk orang dewasa mengenai peran pria dan wanita, suami dan istri,
atau polisi dan kriminal. Masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan
kekerasan di televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta selalu menayangkan
film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat, maupun horor.
Di Indonesia, kekerasan yang disaksikan di televisi tidak hanya terjadi pada
film saja. Kekerasan dapat juga disaksikan setiap hari dalam siaran berita,
dari stasiun televisi.
Hurlock dalam
Junia Trisnawati[7] menyatakan perkembangan identitas remaja
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tokoh idola. Tokoh idola
adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh remaja sebagai figure yang memiliki
posisi di masyarakat. Remaja bisa banyak menemukan tokoh figure idolanya
melalui media, baik media cetak maupun media elektronik. Hal ini menyebabkan
kecendrungan remaja untuk meniru perilaku tokoh idolanya menjadi tinggi
termasuk perilaku agresif.
Beberapa akibat
penayangan kekerasan di media massa, sebagai berukut: Memberi pelajaran bahwa
dengan perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan
perilaku agresif; Menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan
terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak
lumrah dan bisa diterima; Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan
dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial); Membentuk citra
manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang
tidak aman untuk hidup. Khusus media massa televisi yang merupakan media
tontonan dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk
mengamati apa yang disampaikan dengan jelas. Oleh karena itu, kemudian dilakukan
penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan hipotesa “mengamati
kekerasan akan meningkatkan agresivitas”
E.
Prilaku Agresif Karna Tekanan dan
Frustasi
Penelitian
Khamsita yang dikutip dari Junia
Trisnawati[8]
menyatakan faktor frustasi berhubungan dengan dengan perilaku agresif, dimana
semakin tinggi frustasi remaja maka akan semakin tinggi perilaku agresifnya.
Perilaku agresif yang dilakukan remaja di sekolah yaitu perilaku agresif fisik
dan verbal dan perilaku agresif tersebut disebabkan frustasi, kekuasaan, suhu
dan provokasi. Frustation-aggresion Theory menyatakan bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengaharapan atau tindakan tertentu mengalami hambatan
maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi.
Agresif merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Jadi hampir semua
orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat frustasi. Remaja miskin
yang nakal adalah akibat dari frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah
dan berperilaku agresif. Frustasi ini kemudian melahirkan agresif, karena
agresif bisa meringankan emosi negatif.
F.
Mengatasi
Agresifitas
Dalam kasus
agresi ini, hal paling utama untuk mengurangi terjadinya perilaku agresi adalah
dengan mengurangi frustasi yang di alami oleh individu. Selain itu, Kasus
Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah
sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa
strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi
tersebut adalah:
1.
Hukuman
Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk
mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku
agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus
memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang
ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan
setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
2.
Katarsis
Katarsis
merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam
dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada
individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam
aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi
tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi.
Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan,
2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk
mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan
melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata
malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah
raga itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks
katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata
hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan
tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu
tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila
individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan
dirinya marah.
3.
Pengenalan Terhadap Model Non
Agresif
Menurut
teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif
dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian
Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan
Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu
yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih
rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif.
4.
Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan
ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan
ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat
ketidakmampuan dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada
orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol
emosional orang lain[9].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agresifitas
adalah tingkah laku kekerasan secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara
sengaja atau tidak sengaja terhadap individu lain ataupun merusak yang mana
objek yang dilukai ataupun dirusak tersebut berusaha untuk menghindarinya.
Televisi dapat berdampak negatif terhadap anak. Kalau diperhatikan menu dari
acara televisi, terutama dalam penyajian film-filmnya, hal itu dapat dinilai
cenderung pada hal yang bersifat negatif destruktif. Dapat dikatakan demikian
karena film sering menyajikan adegan kekerasan, eksploitasi seksual dan sebagainya.
Anak dan remaja tak jarang mengidentifikasikan (menyamakan) dirinya dengan
pelaku-pelaku dalam cerita itu yang cocok dengan dirinya. Menonton
televisi/film memberikankesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan
hatinya yang terpendam.
B.
Saran
Sikap agresi
manusia dan bentuk-bentuk lain dari perilaku tidak suka bersosialisasi merupakan suatu gejala yang menyebar.
Untuk itu sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa BK untuk mempelajari dan
mengkaji mengenai perilaku agresif pada anak dan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
C. George
Boeree. 2008. Pssikologi Sosial, Yokyakarta, Prismasophie
David O. Dkk. 1994. Psikologi
Sosial, Jakarta: Erlangga
Faturochman.2006.
Pengantar Psikologi Sosial, Yogjakarta:Pustaka
Rochelle Semmel
Albin. 1986. Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, Yogyakarta:
Kanisisus
Badrun
Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun
2011
Junia
Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK
Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014
[2] C. George
Boeree, Pssikologi Sosial, (Yokyakarta, Prismasophie, 2008), hlm. 167.
[3] Badrun
Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun
2011, hlm. 189.
[4] Faturochaman, Op.cit,
hlm.85-86.
[5] Faturochaman, Op.cit.,hlm.87-88.
[6] Rochelle
Semmel Albin, Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya,
(Yogyakarta: Kanisisus, 1986), hlm. 50.
[7] Junia
Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK
Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014, hlm. 7.
[8] Junia
Trisnawati,Op.cit, hlm. 6.
[9] David O. Sears,
Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau, Psikologi Sosial, Jakarta:
Erlangga, 1994, hal. 19
Budaya dan Kepribadian
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepribadian
pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara umum yang
tercermin dari ucapan dan perbuatannya. Kepribadian
berbeda dengan karakter, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai.
Meskipun demikian baik kepribadian maupun karakter berwujud tingkah laku yang
ditujukan ke lingkungan sosial, keduanya relatif permanen serta menuntun,
mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas individu. Kepribadian meliputi
segala corak perilaku dan sifat yang
khas dan dapat diperkirakan pada diri seseorang atau lebih bisa dilihat dari
luar, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap rangsangan,
sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan fungsional yang khas
bagi individu. Wujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan tersebut tentu
terus berkembang dan adanya komponen-komponen atau faktor-faktor yang
mempengaruhinya yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kepribadian.
Diantara faktor
yang mempengaruhi kepribadian budaya sangat berpengaruh terhadap kepribadian. Perkembangan
dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing orang tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan. Pada
tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai keterkaitn antara kepribadian
dan budaya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan diantaranya:
1.
Apa
definisi dari kepribadian?
2.
Bagaimana
keterkaitan antara budaya dengan kepribadian?
3.
Bagaimana
keterkaitan kepribadian dengan teori konseling?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui definisi dari kepribadian.
2.
Untuk
mengetahui keterkaitan antara budaya dengan kepribadian.
3.
Untuk
mengetahui keterkaitan kepribadian dengan teori konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kepribadian
Banyak kita
temukan saat ini berbagai definisi mengenai kepribadian. Namun yang akan kita
bahas di sini hanyalah definisi kepribadian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Matsumoto dan Juang (2004) mendefinisikan kepribadian sebagai satu set perilaku
dan ciri-ciri kognitif sifat (traits), atau predisposisi (kecenderungan) yang
relatif berlangsung secara terus menerus, dan dibawa oleh seseorang dalam
berbagai konteks kehidupannya serta saat berinteraksi dengan orang lain
sehingga membedakannya dari orang-orang yang lainnya. Sementara itu, Allport
(1961) berpendapat bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu yang terdiri atas sistem-sistem psikofisik yang menentukan cara
manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Definisi Allport mengenai
kepribadian ini menekankan kepada kita bahwa kepribadian bersifat dinamis,
bukan statis. Ia merupakan struktur fundamental yang akan terus berubah
seiring.[1]
Inti dari
kepribadian itu sendiri adalah sifat (trait). Dari berbagai kamus dikumpulkan
sekitar 4.500 sifat (lexicalhypothesis) yang kemudian berhasil dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu:
· Tiait kardinal: paling dominan. Contohnya, Bung Karno, Superman, Arjuna, Don
Juan, Machiavelli, Narsis, dan lain sebagainya.
· Tiait sentral: sering digunakan untuk menyebut seseorang. Contohnya, seseorang
yang pemalu, penakut, banyak akal, menyenangkan, dan lain sebagainya.
· Trait sekunder: muncul dalam situasi tertentu. Contohnya, demam Panggung, tidak
sabar antri, dan lain sebagainya.
Allport
kemudian juga membedakan antara motif dan dorongan (drive). Dorongan bermula
dari motif (dorongan untuk melakukan sesuatu), narnun dorongan bisa berkembang
sehingga melebihi motif. Meskipun motifnya telah selesai, dorongan dapat
berjalan terus-menerus dan berusaha agar menghasilkan sesuatu yang semakin
baik. Misalnya, tukang bakso yang awalnya berjualan untuk mencari nafkah
(motif: mencari nafkah; dorongan: berjualan bakso). Namun lama-kelamaan
usahanya semakin maju (motif tercapai). Kesuksesannya tersebut tidak membuatnya
berhenti bekerja, melainkan si tukang bakso tersebut terus menciptakan variasi
bakso yang lebih menarik dan lebih enak (dorongan yang terus berjalan) akhir
dan terus menjadi tukang bakso sampai akhir hayatnya. Ibaratnya roda yang
diputar akan terus berputar walaupun pemutarnya sudah berhenti. Allport
menamakan dorongan untuk berputar terus ini sebagai autonomi fungsional (functional
autonomy).
Konsep-konsep
kepribadian sebenarnya merupakan aspek-aspek atau komponen-komponen kepribadian karena pembicaraan mengenai kepribadian senantiasa
mencakup apa saja yang ada di dalamnya, seperti karakter, sifat-sifat, dan
lainnya. Interaksi antara berbagai aspek tersebut kemudian terwujud sebagai
kepribadian.
Ada beberapa
konsep yang berhubungan erat dengan kepribadian bahkan kadang-kadang disamakan
dengan kepribadian. Konsep-konsep yang berhubungan dengan kepribadian
diantaranya ialah character, temperament, traits, type dan habit.[2]
1.
Character (Watak)
Penjelasan umum
mengenai watak ialah kepribadian yang dipengaruhi oleh motivasi yang
menggerakkan kemauan sehingga orang tersebut bertindak. Yang dimaksudkan bahwa
kepribadian seseorang menunjukkan tindakan akibat kemauan yang teguh dan kukuh
maka ia dinamakan seseorang yang berwatak atau sebaliknya. Menurut Sumadi
(1985) dikutp dari Sunaryo (2004), watak adalah keseluruhan atau totalitas
kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional dan volisional seseorang yang
terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, dan
faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan pengalaman,
serta faktor-faktor eksogen).[3]
Secara arti
normatif kata watak dipergunakan apabila orang bermaksud mengenakan norma-norma
kepada orang yang sedang dibicarakan. Misalnya ungkapan “Ia orang yang pandai,
tetapi sayang tidak berwatak dan Ia orang yang terdidik, tetapi tak punya
watak”. Orang berwatak apabila sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dipandang
dari segi norma-norma sosial adalah baik dan sebaliknya.
Secara arti
deskriptif watak menurut Allport (1937) bahwa “character is personality
evaluated, and personality is character devaluated”. Menurutnya kepribadian
dan watak adalah satu dan sama, tetapi dipandang dari segi yang berlainan.
Apabila orang akan mengenakan
norma-norma, yang berarti mengadakan penilaian lebih tepat dipergunakan
istilah “watak”. Apabila tidak mengadakan penilaian sehingga menggambarkan apa
adanya, dipakai istilah “kepribadian”.[4]
2.
Temperament (Tabiat)
Temperament
adalah kepribadian yang lebih bergantung pada keadaan badaniah, atau
kepribadian yang berkaitan erat dengan determinan biologis atau fisiologis.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa tabiat adalah konstitusi kejiwaan.
Temperament memiliki aspek yang meliputi:
a.
Motalitas (kegestian atau kelincahan) ditentukan oleh otot, tulang dan saraf
perifer.
Contoh:
· Orang bekerja dan bereaksi dengan lincah dan gesit.
· Orang bekerja dengan tenang.
b.
Vitalitas
(daya hidup) lebih ditentukan keadaan hormonal dan saraf otonom.
Contoh:
· Orang dengan vitalitas tinggi: baru bangun pagi sudah penuh
gairah hidup dan memiliki berbagai rencana.
· Orang yang mudah bosan, kurang kreativ, dan kurang inovatif.
c.
Emosionalitas (daya rasa) lebih ditentukan keadaan neurohormonial dan
saraf pusat.
Contoh:
· Bila ada sesuatu yang menakutkan, ada orang yang bereaksi segera
dan spontan secara emosional.
·
Ada
orang yang biasa-biasa saja dalam menghadapi hal yang menakutkan atau
mengejutkan.
3.
Traits (Sifat)
Sifat
adalah sistem neuropskis yang digeneralisasikan dan diarahkan, dengan kemampuan
untuk menghadapi bermacam-macam perangsang secara sama, memulai serta
membimbing perilaku adaptif dan ekspensi secara sama.
4.
Tipe
Perbedaan antara sifat dan tipe menurut Allport adalah:
a.
Individu
dapat memiliki sesuatu sifat, tetapi tidak dapat memiliki suatu tipe.
b.
Tipe
adalah konstruksi ideal si pengamat dengan mengabaikan sifat-sifat khas
individualnya.
c.
Tipe
menunjukkan perbedaan buatan, sedangkan sifat refleksi sebenarnya dari
individu.
5.
Habit (Kebiasaan)
Kebiasaan
adalah bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang mengandung unsur afektif perasaan
B.
Paradigma Kepribadian
Ada lima
paradigma yang biasa digunakan saat membahas mengenai kepribadian. Kelima paradigma
tersebut adalah sebagai berikut:
·
Antropologi
Paradigma Antropologi mengutamakan proses belajar melalui praktik
budaya, bukan pada faktor biologis dan evolusi. Meinarno dkk. (2011)
menyebutkan bahwa dalam paradigma ini, budaya dan kepribadian harus dilihat
sebagai keutuhan aspek yang ditemukan di lapangan, bukan sistem-sistem yang
dilihat secara rerpisah. Selanjutnya philip K. Bock (1980) menyebutkan empat
pendekatan yang biasa digunakan untuk mempelajari hubungan antara budaya dan
kepribadian, yaitu konfigurasi, modal dan dasar kepribadian, karakter nasional,
dan lintas kebudayaan.
·
Psikologi
Dalam paradigma Psikologi, hal yang lebih ditekankan adalah sifat (trait)
(G.W.Allport). Namun, masing-masing tokoh sebenarnya memiliki pendekatannya
masing-masing untuk menjelaskan kepribadian manusia. Misalnya, pendekatan
psikoanalisis Freud yang mementingkan alam ketidaksadaran dan libido seksualis,
pendekatan humanistik Rogers dan Masrow yang mengutamakan memahami manusia
sebagai keseluruhan yang utuh, pendekatan kognitif bandura yang fokusnya adalah
kesadaran, dan tokoh-tokoh psikologi lainnya. Meskipun berbagai pendekatan ini
memiliki konsep yang berbeda mengenai bagaimana kepribadian manusia terbentuk,
namun mereka konsisten menyatakan bahwa kepribadian merupakan sesuatu yang
relatif stabil dalam berbagai konteks dan situasi (Matsumoto & Juang,
2004).
·
Lintas
budaya
Paradigma Lintas Budaya memandang kepribadian sebagai gejala
universal yang sama bermakna dan relevannya antar budaya yang diteliti. Dalam
hal ini ada dua kemungkinan terpisah namun berhubungan satu sama lain, yaitu:
Adanya faktor bawaan biologis dan evolusi adaptif yang menciptakan
kecenderungan genetik untuk ciri-ciri kepribadian. Kemungkinan prinsip-prinsip
pembelajaran budaya-konstan dan prosesnya.
·
Ulayat
(indigenous)
Dalam paradigma ini, kepribadian
dipandang sebagai sifat-sifat yang hanya ditemukan di lingkungan etnik tertentu
saja. Pada umumnya, tidak hanya konsep kepribadian yang mengakar dan berasal
dari kelompok budaya tententu, namun metodologi yang digunakan untuk
menelitinyapun perlu disesuaikan dengan budaya tersebut. Hal ini menyebabkan
studi-studi mengenai kepribadian indigenous sering kali menggunakan
inetodologi tidak terstandardisasi milik penelitinya.
·
Budaya
Paradigma budaya menyatakan bahwa
kepribadian bukan hanya dipengaruhi oleh budaya, namun juga dibentuk olehnya
(Markus & Kitayama, 1998). Paradigma ini melihat budaya dan kepribadian
bukan sebagai dua konsep yang terpisah, melainkan sebagai sistem yang terkait
satu sama lain yang mana masing-masingnya menciptakan dan mempertahankan yang
lain.
1.
Pengukur Kepribadian
Dalam
pengukuran kepribadian, ada beberapa hal yang menurut psikologi dapat diukur,
yaitu antara lain kecerdasan (IQ), kreativitas (CQ), emosi (EI), religiusitas,
sikap, minat, locus of control, extraversion/introversion, dan lain
sebagainya. Konsep-konsep ini diukur dengan menggunakan metode pengukuran
psikometri. Contohnya, seseorang diberikan alat ukur MBTI (Myers Briggs Type
indicator) untuk melihat tipe kepribadiannya (berdasarkan teori dari
psikoanalis carl Gustav Jung). Partisipan diminta untuk mengurutkan berbegai
kegiatan dari yang ia sukai sampai yang tidak ia sukai. Diakhir tes, pemberi
tes kemudian menghitung dan melihat skala kecenderungan yang dimiliki
partisipan tersebut, yang terbagi ke dalam empat kecendrungan: ekxtrovert
vs introvert, sensing vs intuition, thinking vs feeling,
dan judging vs perceiving.
C.
Budaya Sebagai Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian
Perkembangan
dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing orang tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan.
Beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan
kepribadian antara lain:
1.
Nilai-nilai
(values). Di dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai hidup yang dijunjung
tinggi oleh manusia-manusia yang hidup dalam kebudayaan itu. Untuk dapat diterima sebagai anggota suatu
masyarakat, kita harus memiliki kepribadian yang selaras dengan kebudayaan yang
berlaku di masyarakat itu.
2.
Adat
dan tradisi, yang berlaku disuatu daerah, di samping menentukan nilai-nilai
yang harus ditaati oleh anggotaanggotanya, juga menentukan pula cara-cara
bertindak dan bertingkah laku yang akan berdampak pada kepribadian seseorang.
3.
Pengetahuan
dan keterampilan. Tinggi rendahnya pengetahuan dan keterampilan seseorang atau
suatu masyarakat mencerminkan pula tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat itu.
Makin tinggi kebudayaan suatu masyarakat makin berkembang pula sikap hidup dan
cara-cara kehidupannya.
4.
Bahasa.
Bahasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan ciri-ciri khas dari
suatu kebudayaan. Betapa erat hubungan bahasa dengan kepribadian manusia yang
memiliki bahasa itu. Karena bahasa merupakan alat komunikasi dan alat berpikir
yang dapat menunukkan bagaimana seseorang itu bersikap, bertindak dan bereaksi
serta bergaul dengan orang lain.
5.
Milik
kebendaan. Semakin maju kebudayaan suatu masyarakat/bangsa, makin maju dan
modern pula alat-alat yang dipergunakan bagi keperluan hidupnya. Hal itu semua
sangat mempengaruhi kepribadian manusia yang memiliki kebudayaan itu.
D.
Pembentukan Karakteristik Kepribadian
Pembentukan kepribadian juga merupakan hasil dari
pengalaman-pengalaman yang dialami oleh individu, khususnya mengenai
pengalaman-pengalaman yang ikut membentuk kepribadian menurut Drs. H. Abu
Ahmadi (2005:202) dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu pengalaman umum dan
pengalaman khusus.
Pengalaman
umum yaitu pengalaman yang dialami oleh tiap-tiap individu dalam kebudayaan
tertentu. Pengalaman ini erat hubungannya dengan fungsi dan peranan seseorang
dalam masyarakat. Misalnya, sebagai laki-laki atau wanita mempunyai hak dan
kewajiban tertentu. Beberapa dari peran itu dipilih sendiri oleh orang yang
bersangkutan tetapi masih tetap terikat pada norma-norma masyarakat, misalnya
jabatan atau pekerjaan. Selanjutnya pengalaman khusus, yang merupakan suatu
pengalaman yang khusus dialami oleh individu sendiri. pengalaman ini tidak
bergantung kepada status dan peranan orang yang bersangkutan dalam masyarakat.
Pengalaman-pengalaman
umum maupun khusus di atas memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada tiap-tiap
individu, dan individu tersebut juga merencanakan pengalaman-pengalaman
tersebut secara berbeda-beda pula sampai akhirnya ia membentuk dalam dirinya
suatu struktur kepribadian yang tetap (permanen). Sebelum sampai kepada proses
pembentukan kepribadian yang matang, dewasa dan permanen, proses pembentukan
pembentukan identitas diri harus melalui berbagai tingkatan. Salah satu
tingkatan yang harus dilalui adalah identifikasi, yaitu dorongan untuk menjadi
sama (identik) dengan orang lain, misalnya dengan ayah, ibu, kakak, saudara,
guru, dan sebagainya.
Pada
masa remaja tahap identifikasi ini dapat menyebabkan kebingungandan kekaburan
akan peranan sosial, karena remaja-remaja cendrung mengdentifikasikan dirinya
dengan beberapa tokoh sekaligus, misalnya dengan ayah, bintang filem
kesayangannya, dan tokoh idola lainya. Kepribadian seseorang itu diekspresikan
ke dalam beberapa karakteristik, sehingga dengan mengerti
karakteristik-karakteristik tersebut dapat dimengerti pula kepribadian orang
yang bersangkutan.
Menurut
Drs. H. Abu Ahmadi karakteristik untuk mengenali kepribadian adalah:[5]
1.
Penampilan
fisik: tubuh yang besar, wajah yang tampan, tubuh yang sehat, pakaian yang
kusut, semuanya menggambarkan kepribadian dari orang yang bersangkutan, apakah
ia berwibawa dan percaya diri sendiri atau kurang semangat dan mempunyai rendah
diri.
2.
Temperamen:
yang merupakan suasana hati yang menetap dan khas pada orang yang bersangkutan,
misalnya pemurung, pemarah, periang, dan sebagainya.
3.
Kecerdasan
dan sebagainya
4.
Arah
minat dan pandangan mengenai nilai-nilai.
5.
Sikap
sosial.
6.
Kecendrungan-kecendrungan
dalam motivasinya.
7.
Cara-cara
pembawaan diri, misalnya sopan-santun, banyak bicara, mudah bergaul dan
sebagainya.
8.
Kecendrungan
patologis, yaitu tanda-tanda adanya kelainan kepribadian seperti reaksi-reaksi
yang skiofrenis dan sebagaiya.
Karakteristik juga terbagi dalam dua hal, yaitu
karakteristik kepribadian yang sehat, dan karakteristikkepribadian yang tidak
sehat. Menurut E. B. Hurlock (1986) karakteristik kepribadian yang sehat
ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Mampu menilai diri secara realistic. Individu
yang kepribadiannya sehat mampu menilai diri apa adanya, baik kelebihan maupun
kelemahannya, menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan dan kesehatan)
dan kemampuan (kecerdasan dan keterampilan).
2.
Mampu menilai situasi realistic. Individu
dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistic dan mau menerima secara
wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu
sebagai suatu yang harus sempurna.
3.
Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistic. Individu dapat
menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistic dan
mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atu mengalami “Superiority
complex”, apabila memperoleh prestasi yang tinggi, atau kesuksesan dalam
hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tiak mereaksinya dengan frustasi,
tetapi dengan sikap optimistic (penuh harapan).
4.
Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang
bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk
mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
5.
Kemandirian (autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam cara
berfikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan
mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di
lingkungannya.
6.
Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia
dapat menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau
konstruktif, tidak deskruptif (merusak).
7.
Berorientasi tujuan. Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin
dicapainya. Namun, merumuskan tujuan itu ada yang realistic dan ada yang tidak
realistic. Individu yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya
berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan
dari luar. Dia berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara
mengembangkan kepribadian (wawasan) dan keterampilan.
8.
Menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri.
9.
Merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain.
10.
Tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain
dan tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya.
11.
Penerimaan social. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau
berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, dan memiliki sikap bersahabat dalam
berhubungan dengan orang lain.
12.
Memiliki filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat
hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
13.
Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai
kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung oleh factor-faktor achievement
(pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari orang lain), dan affection
(perasaan dicintai atau disayangi orang lain).
Adapun karakteristik kepribadian yang tidak
sehat, ditandai dengan:
1.
Mudah marah (tersinggung.
2.
Menunjukan kekhawatiran
dan kecemasan.
3.
Sering merasa tertekan (stress atau depresi).
4.
Bersikap kejam atau senang mengganggu orang
lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang.
5.
Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku
menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum.
6.
Mempunyai kebiasaan berbohong.
7.
Hiperaktif.
8.
Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas.
9.
Senang mengkritik/mencemooh orang lain.
10.
Sulit tidur.
11.
Kurang memiliki tanggung jawab.
12.
Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama.
Bersikap psimis dalam menghadapi kehidupan.
Dalam
pembahasan ranah (domain) perilaku sosial dan bagaimana perilaku sosial
berhubungan atau dipengaruhi konteks umum budaya, dimana perilaku ini mengambil tempat dalam
suatu konteks sosial dan budaya yang bervariasi luas dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Dalam seksi ini, kita bergelut dengan dua matra penting dari
variasi sosial dan budaya yang ditemui lintas-budaya: keragaman peran (Role
Diversity) dan kewajiban peran.[6]
E.
Keterkaitan Antara Teori Kepribadian dan Pendekatan Konseling
Suatu
teori terdiri dari segugusan asumsi yang saling berhubungan tentang
gejala-gejala empiris tertentu, dan definisi-definisi empiris yang memungkinkan
si pemakai beranjak dari teori abstrak ke observasi empiris.[7] Dapat
disimpulkan bahwa teori kepribadian harus merupakan segugusan asumsi tentang
tingkah laku manusia beserta definisi-definisi empirisnya. Suatu teori
kepribadian harus terdiri dari sekumpulan asumsi tingkahlaku manusia beserta
aturan-aturan untuk menghubungkan asumsi-asumsi dan definisi-definisi supaya
menjadi jelas interaksinya dengan peristiwa-peristiwaempiris atau
peristiwa-peristiwa yang bisa diamati.
Teori
kepribadian mempunyai peranan penting dalam pendekatan konseling, yang dimana
konseling merupakan suatu proses interaksi antar konselor dan konseli dalam
upaya membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh konseli. Penyelesaian
masalah yang dihadapi oleh suatu individu tentunya menggunakan berbagai
pendekatan yang berkaitan dengan teori-teori kepribadian. Yang kepribadian itu
sendiri merupakan corak tingkah laku individu yang terhimpun dalam dirinya,
yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap segala rangsang,
baik yang datang dari dalam dirinya sendiri (internal) sehingga corak tingkah
lakunya itu merupakan suatu kesatuan fungsional yang khas bagi individu itu.
Teori kepribadian memberikan pemahaman mengenai gejala tingkah laku individu,
yang dimana masalah yang dihadapi oleh individu berkaitan dengan tungkah laku
yang timbul dari dalam diri dan lingkungannya. Segala tingkah laku individu
adalah manifestasi dari kepribadian yang dimilikinya sebagai perpaduan yang
timbul dari dalam diri dan lingkungannya.
Bila dicermati, pada hakekatnya
konseling itu bersifat psikologis. Dari sisi tujuan, proses serta konsep yang
tercakup menunjukkan bukti bahwa konseling merupakan proses psikologis. Dari
sisi tujuannya, rumusan tujuan konseling itu adalah berupa pernyataan yang
menggambarkan segi-segi psikologis (perilaku) dalam diri klien, dari prosesnya,
seluruh proses konseling merupakan proses kegiatan yang bersifat psikologis,
dan dilihat dari teori atau konsepnya, konseling bertolak dari teori -teori
atau konsep-konsep psikologi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kepribadian
mencakup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku yang terlihat dan
pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi melakukan
sesuatu. Kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses serta
struktur dan perkembangan, yang dipengaruhi berbagai faktor termasuk salah
satunya budaya.
B.
Saran
Pribadi dan
budaya sangat erat kaitannya dalam pembentukan perilaku yang dihasilkan
manusia. untuk itu sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa bimbingan dan
konseling untuk mendalami pengetahuannya mengenai konseling lintas budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2005. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka
Cipta
Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian, Malang: Universitas
Muhammadyah Malang
Calvin S, dkk. 1993. Psikologi Kepribadian 1Teori-teori
Psikodinamik (klinis), Yogyakarta: Kanisius
Ngurah, Anak Agung. 2013. Konseling Lintas Budaya,
Yogyakarta: Graha Ilmu
Sarwono,
Sarlito W. 2015. Psikologi Lintas Budaya, Jakarta: Rajawali Pers
Sunaryo.
2002. Psikologi Untuk Keperawatan, Jakarta: Buku Kedokteran EGC
[1] Sarlito W
Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 93.
[2] Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang:
Universitas Muhammadyah Malang, 2005), hlm. 8.
[3] Sunaryo, Psikologi
Untuk Keperawatan, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2002), hlm. 128.
[4] Ibid.,
[5] Abu Ahmadi, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 204.
[6] Anak Agung
Ngurah, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm.
46.
[7] Calvin S, dkk,
Psikologi Kepribadian 1Teori-teori Psikodinamik (klinis), (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm. 37.
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari Blog Ini
- September 2021 (6)
- Juni 2019 (12)
- April 2017 (1)
- Januari 2017 (2)
- Desember 2016 (2)
- September 2016 (1)
- Mei 2016 (8)
- April 2016 (7)
- Maret 2016 (2)
- November 2015 (3)
- Juli 2015 (1)
- April 2015 (2)
- Maret 2015 (2)
- Februari 2015 (1)
- November 2014 (1)
- Februari 2014 (1)
Translate
Popular Posts
-
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Disusun Oleh M khuzaifah ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan po...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara ...