Miskonsepsi dalam Bimbingan dan Konseling



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan hal yang relatif baru dikenal oleh masyarakat indonesia, terutama dalam dunia pendidikan atau akademis. Sebagai suatu bidang yang baru maka banyak terjadi kesalahan, salah satunya adalah menganggap profesi bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang statis. Pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tatanan konsep maupun praktiknya, sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi dikalangan orang-orang yang berada diluar bimbingan dan konseling, tetapi juga banyak ditemukan dikalangan orang-orang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling.
Dampak dari kesalahan ini adalah layanan yang diberikan oleh para pelaku profesi ini tidak kontekstual, tidak sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Pada tulisan ini akan dibahas lebih mendetail mengenai pandangan atau paradigma bimbingan dan konseling serta kekeliruan pandangan atau miskonsepsi terhadap bimbingan dan konseling.
B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan miskonsepsi bimbingan dan konseling?
2.      Bagaimana bentuk miskonsepsi bimbingan konseling?
3.      Apa penyebab terjadinya miskonsepsi bimbingan dan konseling?
C.           Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian miskonsepsi bimbingan dan konseling.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk miskonsepsi bimbingan dan konseling
3.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya miskonsepsi bimbingan dan konseling.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Miskonsepsi Bimbingan dan Konseling
Kata miskonsepsi mempunyai keterkaitan dengan kata “konsep” dan “konsepsi”. Yang dimana konsep dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah diartikan sebagai ide atau pengetahuan yang diabstraksikan dari peristiwa kongkret. Konsep merupakan kelas atau kategori stimulus (objek, peristiwa atau orang) yang memiliki ciri-ciri umum[1].
Sementara konsepsi adalah sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal.[2] Dari uraian di atas, diperoleh pengertian bahwa konsepsi adalah sebuah interpretasi dan tafsiran  perorangan  pada  suatu  konsep  ilmu  yang  diperoleh  melalui  interaksi dengan lingkungan dan melalui pendidikan formal.
Setelah adanya konsepsi maka ada juga istilah “miskonsepsi”, yang dimana pengertian miskonsepsi adalah salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak  benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif.
Sementara yang dimaksud dengan miskonsepsi bimbingan dan konseling ialah suatu kekeliruan pandangan atau pemahaman terhadap tatanan konsep maupun praktik bimbingan konseling sebagai suatu profesi. Miskonsepsi ini dapat terjadi kepada siapa saja, baik orang yang berada diluar bimbingan dan konseling maupun orang yang terlibat didalam bimbingan dan konseling itu sendiri.
B.            Bentuk Miskonsepsi Bimbingan dan Konseling
Endang Ertiati Suhesti mengemukakan bahwa ada 7 kesalah pemahaman dalam bimbingan dan konseling. Kesalah pemahaman tersebut diulas sebagai berikut:[3]
1.             Konselor Sekolah Dianggap Sebagai Polisi Sekolah
Tidak jarang konselor sekolah diberi tugas untuk mengurusi dan menghakimi para peserta didik yang tidak mematuhi peraturan. Konselor sekolah ditugaskan untuk mencari para peserta didik yang bersalah dan diberi wewenang mengambil tindakan bagi peserta didik yang bersalah tersebut. Konselor sekolah didorong untuk mencari bukti - bukti bahwa peserta didik tersebut bersalah. Dengan tugas semacam itu akan membentuk stigma diantara para peserta didik bahwa konselor bertugas untuk mengurusi para peserta didik yang menjadi “biang kerok” keributan atau yang menyalahi peraturan. Sehingga jika ada peserta didik yang dipanggil atau berurusan dengan konselor termasuk dalam kelompok peserta didik bermasalah.
Padahal pandangan tersebut keliru, konselor sekolah bukan polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Konselor sekolah adalah kawan dan kepercayaan peserta didik, menjadi tempat berbagi tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan mereka. Konselor sekolah harus perupaya untuk menjadi seorang yang bisa menunjukkan jalan, membangun kekuatan dan kemauan individu menuju ke arah yang lebih baik.
2.             Konselor Sekolah Dianggap Hanya Pemberi Nasehat
Adanya perbedaan usia yang lebih tua dengan pesert didik mendorong konselor untuk memberi nasehat. Padahal bimbingan dan konseling dilakukan bukan hanya semata - mata untuk memberikan nasehat. Priyanto Erman Anti menegaskan bahwa pemberian nasehat hanya merupakan sebagian kecil dari upaya - upaya bimbingan dan konseling. Lebih dari itu konseli membutuhkan pelayanan lain, seperti mendapatkan layanan informasi, bimbingan belajar, penempatan dan penyaluran. Oleh sebab itu, pelayanan bimbingn dan konseling menyangkut keseluruhan kepentingan konseli untuk mengembangkan pribadinya secara maksimal.[4]
3.             Bimbingan dan Konseling Hanya Untuk Konseli-Konseli Tertentu Saja
Pelayanan bimbingan dan konseling disekolah tdak hanya terbatas pada beberapa individu saja. Seluruh peserta didik mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh layanan bimbingan dan konseling, kapanpun juga. Bimbingan dan konseling tidak mengenal penggolongan peserta didik berdasarkan kondisinya (misalnya jenis kelamin, kelas sosial/ekonomi, agama, suku dan lain sebagainya). Penggolongan yang dilakukan, hanya didasarkan klasifikasi masalah.
4.             Dalam Proses Konseling Konselor Harus Aktif
Saat proses konseling berlangsung, seringkali konselor yang lebih aktif dalam berbicara dan memegang kendali dengan kalimat - kalimat yang sarat nasehat atau dengan memperbanyak bicara tentang dirinya. Hal ini perlu diminimalisir. Konselor sebaiknya memahami kapan perlu berhenti bicara dihadapan konseli saat konseling berlangsung. Upayakan untuk memberi ruang dan kesempatan konseli berbicara sepenuhnya untuk menceritakan tentang apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Lebih jauh konselor berupaya untuk menggali lebih dalam akar penyebab maslah yang sedang dihadapi konseli.
5.             Tugas dan Fungsi Konselor Sekolah Dapat Dilakukan Siapa Saja
Pada realitanya, anggapan bahwa tugas konselor sekolah bisa dilakukan siapa saja masih banyak ditemukan. Diantaranya mereka mempunyai pandangan bahwa konseling sama halnya dengan pembicaraan biasa, sehingga siapapun bisa melakukannya.
6.             Hasil Konseling Harus Segera Dilihat
Tak bisa dipungkiri bahwa yang diinginkan dalam dunia pendidikan adalah peserta didik yang mempunyai perilaku dan kepribadian baik serta dapat mengembangkan diri dengan optimal. Oleh karenanya, banyak pihak yang menghendaki hasil pekerjaan bimbingan konseling segera dilihat agar tidak menghambat kemajuan pendidikan. Padahal mengubah ke arah yang lebih baik tidak dapat dilakukan dalam hitungan jam saja, butuh proses dan waktu yang relatif lama.
7.             Setiap Pemecahan Masalah Dilakukan dengan Cara yang Sama
Seringkali upaya penanganan dalam menghadapi masalah konseli disamaratakan karena masalah yang ditangani juga sama. Perlu diingat bahwa setiap individu adalah unik, memiliki perbedaan masing - masing, sehingga walaupun dengan masalah yang sama belum tentu cara penanganannya sama. Cara apapun yang akan dipakai dalam membantu mengatasi masalah sebaiknya perlu disesuaikan dengan kondisi pribadi konseli dn berbagi hal yang terkait dengannya. Bahkan seringkali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya sama setelah dikaji mendalam dapat memiliki hakikat berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.

C.           Faktor Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Bimbingan dan Konseling
Banyak faktor yang mempengaruhi kesalahpahaman pandangan terhadap bimbingan dan konseling, salah satunya adalah latarbelakang pendidikan guru bimbingan di sekolah. Awal tahun 1960 pakar mengatakan bahwa perlu Bimbingan dan Konseling di sekolah tetapi tenaga atau guru BK yang profesional belum ada. Jadi diangkatlah guru mata pelajaran sebagai guru BK dan kisah ini berlanjut sampai sekarang. Guru BK tersebut dalam menjalankan tugasnya banyak yang tidak sesuai dengan tujuan, asas-asas, dan prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling. Dari satu faktor ini, memicu banyak kesalahpahaman terhadap Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Secara umum faktor penyebab terjadinya miskonsepsi menurut suparno sebagai berikut:[5]
1.        Faktor siswa yang memiliki masalah pada prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, perkembangan kognitif, kemampuan siswa dan minat belajarnya.
2.      Faktor pengajar yang tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu tertentu, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide, dan relasi guru dengan siswa yang tidak baik.
3.      Faktor Konteks. Konteks hidup yang sering menjadi penyebab antara lain pengalaman siswa, bahasa sehari-hari yang berbeda, teman diskusi yang salah keyakinan dan agama, penjelasan orang tua atau orang lain yang keliru, konteks hidup siswa (tv, radio, film yang keliru, perasaan senang tidak senang dan perasaan bebas atau tertekan.
4.      Faktor cara mengajar yang kadang kala hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke dalam bentuk matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak mengoreksi PR, model analogi yang dipakai kurang tepat, model demonstrasi sempit dan lain-lain.




BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Miskonsepsi bimbingan dan konseling ialah suatu kekeliruan pandangan atau pemahaman terhadap tatanan konsep maupun praktik bimbingan konseling sebagai suatu profesi. Miskonsepsi ini dapat terjadi kepada siapa saja, baik orang yang berada diluar bimbingan dan konseling maupun orang yang terlibat didalam bimbingan dan konseling itu sendiri.
Bentuk-bentuk miskonsepsi terhadap bimbingan dan konseling ialah berupa kesalah pemahaman bahwasannya konselor sekolah adalah polisi sekolah, pemberi nasehat, atau hal lainnya. Yang dimana faktor penyebab terjadinya miskonsepsi ini adalah kurangnya SDM konselor yang mempunyai latarbelakang kependidikan sebagai konselor. Atau kurangnya pemahaman konselor terhadap peran dan fungsinya.
B.            Saran
Miskonsepsi terjadi dikarenakan kurang keprofesionalan seorang konselor dalam menjalankan profesinya, dan kurangnya pengenalan masyarakat terhadap konseling. untuk itu sangat direkomendasikan bagi para calon sarjana konseling untuk mendalami dan meningkatkan pemahaman terhadap dunia konseling hingga dapat merubah paradigma yang salah yang tejadi di dunia konseling.










DAFTAR PUSTAKA
Prayitno, Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan & Konseling, Jakarta: Rineka Cipta
Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan fisika, Jakarta: Grasindo
Suhesti, Ertiati Endang. 2012. Bagaimana Konselor Sekolah Bersikap?, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Munawaroh, Etik. 2011. Analisis Tingkat Kompetensi Profesional Guru IPS SMP di Kabupaten Semarang. Skripsi: Semarang Fakultas Ekonomi, (SKRIPSI tidak diterbitkan)


[1] Munawaroh, Etik. Analisis Tingkat Kompetensi Profesional Guru IPS SMP
di Kabupaten Semarang. Skripsi: Semarang Fakultas Ekonomi, 2011, hlm. 9.
[2] Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 5.
[3] Ertiati Suhesti Endang, Bagaimana Konselor Sekolah Bersikap?, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), hlm. 35.
[4] Prayitno, Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan & Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm 123.
[5] Paul Suparno, Op.cit., hlm.25.

Tidak ada komentar: