Makalah Konseling Anak dan Remaja - Perilaku Agresif Pada Anak dan Remaja



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Setiap anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara umum sama, setiap anak dituntut untuk dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal (perilaku) yang menjadi tugas perkembangannya dengan baik. Semakin besar tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah yang dihadapi anak tersebut. Masalah-masalah tersebut akan membuat anak sulit untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sehingga mereka melakukan berbagai tindakan negatif seperti penolakan, ketidaksabaran, dan lain-lain. Banyak sekali insiden yang terjadi sebagai manifestasi perilaku agresif, baik secara verbal (kata-kata) maupun non-verbal (action). Saat ini, ekspose berbagai ragam perwujudan daripada perilaku agresi bisa kita jumpai hampir pada setiap media massa, bahkan dalam kehidupan lingkungan kita.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perilaku agresif yang ada pada anak dan remaja.
B.            Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.             Apa pengertian perilaku agresif?
2.             Bagaimana naluri perilaku agresif?
3.             Bagaimana pemberlajaran tindakan agresif?
4.             Bagaimana hubungan televisi dengan perilaku agresif?

C.           Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.             Untuk mengetahui pengertian perilaku agresif.
2.             Untuk memahami naluri perilaku agresif.
3.             Untuk menjelaskan pemberlajaran tindakan agresif.
4.             Untuk menguraikan hubungan televisi dengan perilaku agresif.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Perilaku Agresif
Dalam ensiklopedia psikologi sosial agresi adalah segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak lainnya berusaha untuk menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat 4 masalah penting dalam agresif. Pertama, agresi merupakan perilaku. Dengan demikian segala aspek perilaku juga terdapat didalam agresi, terutama emosi. Kedua, ada unsur kesengajaan. seorang korban tabrakan pada umumnya tidak bisa dikatakan sebagai hasildari agresi, terlebih lagi bila pengendara sebenarnya sudah berusaha menghindarinya. Di sisi lain seorang ibu yang sengaja mencubit anak tetapi karena tidak bertujuan melukai, justru mendidik, tidak bisa dikatakan agresif. Ketiga, sasarannya adalah makhluk hidup, terutama manusia. Orang yang marah besar, tetapi disalurankan dengan menendang bola, belum dikatakan sebagai agresi. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.[1]
Secara umum, agresi memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, dimana keduanya dimaksudkan untuk memperkuat kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut “pernyataan diri” (assertiveness), yakni memperkuat kesadaran diri tanpa merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi negatifnya kita namakan tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.[2]
B.            Naluri Prilaku Agresif
Zastrow dikutip dalam Badrun Susantyo[3] masih meyakini dan beranggapan bahwa manusia itu sama ada halnya hewan, yang juga memiliki naluri (instinct) bawaan yang sifatnya agresif. Pendapat ini menyiratkan bahwa naluri (instinct) merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan yang bisa membangkitkan perilaku agresif. Perilaku ini akan muncul manakala kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs) tidak terpenuhi, seperti halnya kebutuhan akan makan, rasa aman dan kebutuhan dasar lainnya. Perilaku agresif disebabkan oleh karena faktor instingtif dalam diri manusia dan perilaku ini dilakukan dalam rangka adaptasi secara evolusioner. Perilaku agresif yang dikembangkan biasanya merupakan upaya untuk mempertahankan teritori dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Dalam konsep ini dikenal dengan agonistic aggression.
Perspektif sosio-biologi percaya bahwa perilaku agresif berkembang karena adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya yang terbatas. Dalam pandangan ini, manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu terbatas, ketika mengalami ketidak nyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tindakan ini dilakukan manusia agar tetap survive, untuk tetap menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan komunitas. Tanpa agresi manusia akan punah atau dipunahkan oleh pihak lain. Perilaku agresif menurut perspektif ini merupakan sesuatu yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya.
C.           Tindakan Agresif yang Dipelajari
Agresivitas dapat diterangkan melalui pendekatan belajar. Agresi merupakan tingkah laku yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus) sebagai determinan pembentuk agresi tersebut. Pendekatan ini dikembangkan lagi oleh ahli-ahli lain yang percaya bahwa proses belajar berlangsung dalam lingkup yang lebih luas di samping melibatkan faktor-faktor eksternal dan internal.
1.             Pemodelan
Remaja dan anak-anak didaerah pertempuran seperti Lebanon, misalnya, sering melihat dengan mata kepala sendiri berbaai usaha untuk saling membunuh. Hanya dengan melihat berbagai kejadian yang menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses meniru seperti itu biasa disebut pemodalan atau imitasi. Salah satu karakteristik penting dalam proses modeling ini adalah adanya hubungan emosional yang kuat antara model dengan peniru. Biasanya orang ditiru adalah orang yang dikagumi. Bahkan proses ini sering terjadi tanpa kesengajaan. Misalnya orang tua yang memukul anaknya karena salah sering ditiru oleh anak pada kesempatan lain ketika anak tersebut menyalahkan orang lain, sperti orang bermain.[4]

2.             Pembelajaran
Dalam proses pemodelan, meskipun peniru merasa mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang sama dengan pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki hubungan yang jelas dalam konteks prosesnya. Di sisi lain sering ada kesengajaan seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu perbuatan dengan memberi imbalan apabila orang tersebut mau melakukan. Dalam diri orang yang melakukan perbuatan itu tertanam adanya hubungan antara imbalan tersebut dengan perilakunya. Hubungan inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresifitas
a.               Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi:
·      Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur  perilaku agresi.
·      Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi.
·      Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
b.                  Faktor Naluri atau Insting
Menurut Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri kehidupan ) dan thanatos (naluri kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri kematian (thanatos). Agresi dapat diarahkan kepada orang lain atau sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat pula pada diri sendiri (internal).
c.              Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan)
Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga.
Proses belajar merupakan mekanisme utama yang menentukan perilaku agresi manusia. Bayi yang baru lahir menunjukkan perasaan agresi yang sangat impulsif, tetapi akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia, sehingga akan mengendalikan dorongan impuls agresinya secara kuat dan hanya melakukan agresi dalam keadaan tertentu saja. Perkembangan ini terutama disebabkan oleh proses belajar. Menurut teori belajar, perilaku agresi didapatkan melalui proses belajar. Belajar melalui pengalaman, coba-coba (trial and error), pengajaran moral, instruksi, dan pengalaman terhadap orang lain. Oleh karena itu, mempelajari kebiasaan melakukan perilaku agresi dalam beberapa situasi dan menekankan amarah dalam situasi yang lain, bertindak agresi terhadap beberapa orang tertentu, dan tidak terhadap yang lain, adalah penting untuk mengendalikan perilaku agresi.
d.             Provokasi
Sering terjadi agresi sebagai usaha untuk membalas agresi. Sebagaimana dikemukakan pada penjelasan definisi, dalam agresi ada usaha pihak calon korban untuk menghindari. Bentuk-bentuk penghindaran ini tidak saja sekedar menghindari, tetapi ada yang berusaha dengan jalan memberi perlawanan. Bahwa tidak selamanya agresi dan menyerang dalam bentuk fisik, tetapi juga meliputi penyerangan verbal.  
e.                  Kondisi Aversif
Kondisi aversif adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang. Menurut Berkowitz (1983) keadaan yang tidak menyenangkan merupakan salah satu faktor penyebab agresi. Alasannya adalah orang selalu berusaha mencari keseimbangan. Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang akan mencoba membut keseimbangan dengan jalan, antara lain, berusaha menghilangkan atau berubah situasi itu. Apabila situasi yang tidak menyenangkan adalah makhluk hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang tersebut.
f.                   Isyarat agresi
Isyarat agresi adalah stimulus yang diasosiasikan dengan sumber frustasi yang menyebabkan agresi. Bentuknya bisa berupa senjata tajam atau bisa orang yang menyebabkan frustasi. Sebagai contoh adalah orang yang dekat dengan senapan laras panjang atau pedang akan lebih cepat menjadi agresif meskipun dengan sedikit stimulasi. Efek senjata ini hanya sebagai pemacu terjadinya agresi, bukan penyebab utama.

g.                  Kehadiran orang lain
Kehadiran orang, terutama orang diperkirakan agresif, berpotensi untuk menumbuhkan agresi. Diasumsikan bahwa kehadiran tersebut akan berpartisipasi ikut agresi. Di lain pihak, kehadiran orang lain justru sering menghambat agresi, terlebih lagi bila orang tersebut adalah pemegang otonomi yang berwibawa, seperti polisi .
h.                  Karakteristik individu
Berbagai penyebab diluar individu yang bersangkutan akan sulit mencetuskan perbuatan agresif tanpa ada faktor dari dalam. Fenomena yang paling sering terlihat adalah stimulusi dari beberapa faktor akan memperkuat potensi dalam diri individu yang kemudian memunculkn perilaku agresi.[5]
i.               Amarah
Marah merupakan emosi yang amat sukar untuk menerima dan untuk mengungkapkannya. Rasamarah menunjukkan bahwa perasaan orang sudah tersinggung oleh seseorang, bahwa sesuatu sudah tidak baik.[6] Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
j.               Frustasi
Orang-orang mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat daripada frustasi itu mungkin timbul perasaan-perasaan kejengkelan atau perasaan-perasaan agresif. Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat disalurkan kepada usaha yang positif, tetapi kerap kali perasaan tersebut meluap-luap dan mencari “outlet”nya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya dengan tindakan-tindakan yang agresif. Apabila segolongan orang mengalami frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan mudah sekali perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang diprasangkainya. Yang lalu diserangnya secara kurang atau lebih intensif. Demikianlah kiranya kejadian-kejadian psychis yang membelakangi tindakan-tindakan diskriminatif atau tindakan agresif terhadap orang-orang dari golongan yang dikenai prasangka-sosial.
D.           Korelasi Tayangan TV dengan Perilaku Agresif pada Anak dan Remaja
Setiap hari dapat dijumpai berbagai bentuk kekerasan. Setiap kali membuka surat kabar, pasti dijumpai berita-berita mengenai pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan sebagainya. Televisi adalah guru yang sangat efektif karena dengan menonton televisi, para pemirsa, terutama anak-anak, dapat mempelajari perilaku yang ditujukan untuk orang dewasa mengenai peran pria dan wanita, suami dan istri, atau polisi dan kriminal. Masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan kekerasan di televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta selalu menayangkan film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat, maupun horor. Di Indonesia, kekerasan yang disaksikan di televisi tidak hanya terjadi pada film saja. Kekerasan dapat juga disaksikan setiap hari dalam siaran berita, dari stasiun televisi.
Hurlock dalam Junia Trisnawati[7]  menyatakan perkembangan identitas remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tokoh idola. Tokoh idola adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh remaja sebagai figure yang memiliki posisi di masyarakat. Remaja bisa banyak menemukan tokoh figure idolanya melalui media, baik media cetak maupun media elektronik. Hal ini menyebabkan kecendrungan remaja untuk meniru perilaku tokoh idolanya menjadi tinggi termasuk perilaku agresif.
Beberapa akibat penayangan kekerasan di media massa, sebagai berukut: Memberi pelajaran bahwa dengan perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif; Menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima; Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial); Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup. Khusus media massa televisi yang merupakan media tontonan dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan dengan jelas. Oleh karena itu, kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan hipotesa “mengamati kekerasan akan meningkatkan agresivitas”
E.            Prilaku Agresif Karna Tekanan dan Frustasi
Penelitian Khamsita  yang dikutip dari Junia Trisnawati[8] menyatakan faktor frustasi berhubungan dengan dengan perilaku agresif, dimana semakin tinggi frustasi remaja maka akan semakin tinggi perilaku agresifnya. Perilaku agresif yang dilakukan remaja di sekolah yaitu perilaku agresif fisik dan verbal dan perilaku agresif tersebut disebabkan frustasi, kekuasaan, suhu dan provokasi. Frustation-aggresion Theory menyatakan bila usaha seseorang untuk mencapai  suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengaharapan atau tindakan tertentu mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Agresif merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresif. Frustasi ini kemudian melahirkan agresif, karena agresif bisa meringankan emosi negatif.
F.            Mengatasi Agresifitas
Dalam kasus agresi ini, hal paling utama untuk mengurangi terjadinya perilaku agresi adalah dengan mengurangi frustasi yang di alami oleh individu. Selain itu, Kasus Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi tersebut adalah:

1.                  Hukuman
Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
2.                  Katarsis
Katarsis merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi. Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan, 2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah raga itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah.
3.             Pengenalan Terhadap Model Non Agresif
Menurut teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif.
4.             Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat ketidakmampuan dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang lain[9].














BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Agresifitas adalah tingkah laku kekerasan secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja terhadap individu lain ataupun merusak yang mana objek yang dilukai ataupun dirusak tersebut berusaha untuk menghindarinya. Televisi dapat berdampak negatif terhadap anak. Kalau diperhatikan menu dari acara televisi, terutama dalam penyajian film-filmnya, hal itu dapat dinilai cenderung pada hal yang bersifat negatif destruktif. Dapat dikatakan demikian karena film sering menyajikan adegan kekerasan, eksploitasi seksual dan sebagainya. Anak dan remaja tak jarang mengidentifikasikan (menyamakan) dirinya dengan pelaku-pelaku dalam cerita itu yang cocok dengan dirinya. Menonton televisi/film memberikankesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan hatinya yang terpendam.
B.            Saran
Sikap agresi manusia dan bentuk-bentuk lain dari perilaku tidak suka  bersosialisasi merupakan suatu gejala yang menyebar. Untuk itu sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa BK untuk mempelajari dan mengkaji mengenai perilaku agresif pada anak dan remaja.











DAFTAR PUSTAKA
C. George Boeree. 2008. Pssikologi Sosial, Yokyakarta, Prismasophie
David O. Dkk. 1994. Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga
Faturochman.2006. Pengantar Psikologi Sosial, Yogjakarta:Pustaka
Rochelle Semmel Albin. 1986. Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, Yogyakarta: Kanisisus
Badrun Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun 2011
Junia Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014



[1] Faturochman, Pengantar Psikologi Sosial, (Yogjakarta:Pustaka,2006),hlm.82. 
[2] C. George Boeree, Pssikologi Sosial, (Yokyakarta, Prismasophie, 2008), hlm. 167.
[3] Badrun Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun 2011, hlm. 189.
[4] Faturochaman, Op.cit, hlm.85-86.
[5] Faturochaman, Op.cit.,hlm.87-88.
[6] Rochelle Semmel Albin, Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, (Yogyakarta: Kanisisus, 1986), hlm. 50.
[7] Junia Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014, hlm. 7.
[8] Junia Trisnawati,Op.cit, hlm. 6.
[9] David O. Sears, Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau, Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 1994, hal. 19

Tidak ada komentar: