BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara
umum sama, setiap anak dituntut untuk dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal
(perilaku) yang menjadi tugas perkembangannya dengan baik. Semakin besar
tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah yang dihadapi anak tersebut.
Masalah-masalah tersebut akan membuat anak sulit untuk melakukan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, sehingga mereka melakukan berbagai tindakan
negatif seperti penolakan, ketidaksabaran, dan lain-lain. Banyak sekali insiden
yang terjadi sebagai manifestasi perilaku agresif, baik secara verbal (kata-kata)
maupun non-verbal (action). Saat ini, ekspose berbagai ragam perwujudan daripada
perilaku agresi bisa kita jumpai hampir pada setiap media massa, bahkan dalam
kehidupan lingkungan kita.
Dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perilaku agresif yang ada pada
anak dan remaja.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian perilaku agresif?
2.
Bagaimana
naluri perilaku agresif?
3.
Bagaimana
pemberlajaran tindakan agresif?
4.
Bagaimana
hubungan televisi dengan perilaku agresif?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian perilaku agresif.
2.
Untuk
memahami naluri perilaku agresif.
3.
Untuk
menjelaskan pemberlajaran tindakan agresif.
4.
Untuk
menguraikan hubungan televisi dengan perilaku agresif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perilaku Agresif
Dalam
ensiklopedia psikologi sosial agresi adalah segala bentuk perilaku yang
disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak
lainnya berusaha untuk menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat 4
masalah penting dalam agresif. Pertama, agresi merupakan perilaku. Dengan
demikian segala aspek perilaku juga terdapat didalam agresi, terutama emosi.
Kedua, ada unsur kesengajaan. seorang korban tabrakan pada umumnya tidak bisa
dikatakan sebagai hasildari agresi, terlebih lagi bila pengendara sebenarnya
sudah berusaha menghindarinya. Di sisi lain seorang ibu yang sengaja mencubit
anak tetapi karena tidak bertujuan melukai, justru mendidik, tidak bisa
dikatakan agresif. Ketiga, sasarannya adalah makhluk hidup, terutama manusia.
Orang yang marah besar, tetapi disalurankan dengan menendang bola, belum
dikatakan sebagai agresi. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.[1]
Secara umum,
agresi memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, dimana keduanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut
“pernyataan diri” (assertiveness), yakni memperkuat kesadaran diri tanpa
merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi negatifnya kita namakan
tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.[2]
B.
Naluri Prilaku Agresif
Zastrow dikutip
dalam Badrun Susantyo[3] masih
meyakini dan beranggapan bahwa manusia itu sama ada halnya hewan, yang juga
memiliki naluri (instinct) bawaan yang sifatnya agresif. Pendapat ini
menyiratkan bahwa naluri (instinct) merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan
yang bisa membangkitkan perilaku agresif. Perilaku ini akan muncul manakala kebutuhan-kebutuhan
dasarnya (basic needs) tidak terpenuhi, seperti halnya kebutuhan akan
makan, rasa aman dan kebutuhan dasar lainnya. Perilaku agresif disebabkan oleh
karena faktor instingtif dalam diri manusia dan perilaku ini dilakukan dalam
rangka adaptasi secara evolusioner. Perilaku agresif yang dikembangkan biasanya
merupakan upaya untuk mempertahankan teritori dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup. Dalam konsep ini dikenal dengan agonistic aggression.
Perspektif
sosio-biologi percaya bahwa perilaku agresif berkembang karena adanya kompetisi
sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya yang terbatas. Dalam pandangan ini,
manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu
terbatas, ketika mengalami ketidak nyamanan, ketika sistem sosial tidak
berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar. Hal ini dilakukan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tindakan ini dilakukan
manusia agar tetap survive, untuk tetap menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya
ataupun membangun dan mengembangkan komunitas. Tanpa agresi manusia akan punah atau
dipunahkan oleh pihak lain. Perilaku agresif menurut perspektif ini merupakan sesuatu
yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya.
C.
Tindakan Agresif yang Dipelajari
Agresivitas
dapat diterangkan melalui pendekatan belajar. Agresi merupakan tingkah laku
yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus) sebagai
determinan pembentuk agresi tersebut. Pendekatan ini dikembangkan lagi oleh
ahli-ahli lain yang percaya bahwa proses belajar berlangsung dalam lingkup yang
lebih luas di samping melibatkan faktor-faktor eksternal dan internal.
1.
Pemodelan
Remaja dan
anak-anak didaerah pertempuran seperti Lebanon, misalnya, sering melihat dengan
mata kepala sendiri berbaai usaha untuk saling membunuh. Hanya dengan melihat
berbagai kejadian yang menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses
meniru seperti itu biasa disebut pemodalan atau imitasi. Salah satu
karakteristik penting dalam proses modeling ini adalah adanya hubungan
emosional yang kuat antara model dengan peniru. Biasanya orang ditiru adalah
orang yang dikagumi. Bahkan proses ini sering terjadi tanpa kesengajaan.
Misalnya orang tua yang memukul anaknya karena salah sering ditiru oleh anak
pada kesempatan lain ketika anak tersebut menyalahkan orang lain, sperti orang
bermain.[4]
2.
Pembelajaran
Dalam proses
pemodelan, meskipun peniru merasa mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang
sama dengan pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki hubungan
yang jelas dalam konteks prosesnya. Di sisi lain sering ada kesengajaan
seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu perbuatan dengan memberi imbalan
apabila orang tersebut mau melakukan. Dalam diri orang yang melakukan perbuatan
itu tertanam adanya hubungan antara imbalan tersebut dengan perilakunya.
Hubungan inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
agresifitas
a.
Faktor
Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi
perilaku agresi:
· Gen
tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang
mengatur perilaku agresi.
· Sistem otak
yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat
sirkuit neural yang mengendalikan agresi.
· Kimia darah.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan)
juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
b.
Faktor Naluri atau Insting
Menurut Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia
terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri kehidupan ) dan thanatos (naluri
kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri kematian (thanatos). Agresi dapat
diarahkan kepada orang lain atau sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat
pula pada diri sendiri (internal).
c.
Faktor sosial learning (peran
belajar model kekerasan)
Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari
beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan
melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema
kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat
dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun,
sinetron, sampai film laga.
Proses belajar merupakan mekanisme
utama yang menentukan perilaku agresi manusia. Bayi yang baru lahir menunjukkan
perasaan agresi yang sangat impulsif, tetapi akan semakin berkurang dengan
bertambahnya usia, sehingga akan mengendalikan dorongan impuls agresinya secara
kuat dan hanya melakukan agresi dalam keadaan tertentu saja. Perkembangan ini
terutama disebabkan oleh proses belajar. Menurut teori belajar, perilaku agresi
didapatkan melalui proses belajar. Belajar melalui pengalaman, coba-coba (trial
and error), pengajaran moral, instruksi, dan pengalaman terhadap orang
lain. Oleh karena itu, mempelajari kebiasaan melakukan perilaku agresi dalam
beberapa situasi dan menekankan amarah dalam situasi yang lain, bertindak
agresi terhadap beberapa orang tertentu, dan tidak terhadap yang lain, adalah
penting untuk mengendalikan perilaku agresi.
d.
Provokasi
Sering terjadi
agresi sebagai usaha untuk membalas agresi. Sebagaimana dikemukakan pada
penjelasan definisi, dalam agresi ada usaha pihak calon korban untuk
menghindari. Bentuk-bentuk penghindaran ini tidak saja sekedar menghindari,
tetapi ada yang berusaha dengan jalan memberi perlawanan. Bahwa tidak selamanya
agresi dan menyerang dalam bentuk fisik, tetapi juga meliputi penyerangan
verbal.
e.
Kondisi
Aversif
Kondisi aversif
adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh
seseorang. Menurut Berkowitz (1983) keadaan yang tidak menyenangkan merupakan
salah satu faktor penyebab agresi. Alasannya adalah orang selalu berusaha
mencari keseimbangan. Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang
akan mencoba membut keseimbangan dengan jalan, antara lain, berusaha
menghilangkan atau berubah situasi itu. Apabila situasi yang tidak menyenangkan
adalah makhluk hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang
tersebut.
f.
Isyarat
agresi
Isyarat agresi
adalah stimulus yang diasosiasikan dengan sumber frustasi yang menyebabkan
agresi. Bentuknya bisa berupa senjata tajam atau bisa orang yang menyebabkan
frustasi. Sebagai contoh adalah orang yang dekat dengan senapan laras panjang
atau pedang akan lebih cepat menjadi agresif meskipun dengan sedikit stimulasi.
Efek senjata ini hanya sebagai pemacu terjadinya agresi, bukan penyebab utama.
g.
Kehadiran
orang lain
Kehadiran
orang, terutama orang diperkirakan agresif, berpotensi untuk menumbuhkan agresi.
Diasumsikan bahwa kehadiran tersebut akan berpartisipasi ikut agresi. Di lain
pihak, kehadiran orang lain justru sering menghambat agresi, terlebih lagi bila
orang tersebut adalah pemegang otonomi yang berwibawa, seperti polisi .
h.
Karakteristik
individu
Berbagai
penyebab diluar individu yang bersangkutan akan sulit mencetuskan perbuatan
agresif tanpa ada faktor dari dalam. Fenomena yang paling sering terlihat
adalah stimulusi dari beberapa faktor akan memperkuat potensi dalam diri
individu yang kemudian memunculkn perilaku agresi.[5]
i.
Amarah
Marah merupakan emosi yang amat sukar untuk menerima
dan untuk mengungkapkannya. Rasamarah menunjukkan bahwa perasaan orang sudah
tersinggung oleh seseorang, bahwa sesuatu sudah tidak baik.[6]
Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut
disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Marah merupakan emosi yang memiliki
ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan
ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah
perilaku agresi.
j.
Frustasi
Orang-orang
mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang
diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat
daripada frustasi itu mungkin timbul perasaan-perasaan kejengkelan atau
perasaan-perasaan agresif. Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat
disalurkan kepada usaha yang positif, tetapi kerap kali perasaan tersebut
meluap-luap dan mencari “outlet”nya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya
dengan tindakan-tindakan yang agresif. Apabila segolongan orang mengalami
frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan mudah sekali
perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang
diprasangkainya. Yang lalu diserangnya secara kurang atau lebih intensif.
Demikianlah kiranya kejadian-kejadian psychis yang membelakangi
tindakan-tindakan diskriminatif atau tindakan agresif terhadap orang-orang dari
golongan yang dikenai prasangka-sosial.
D.
Korelasi Tayangan TV dengan Perilaku
Agresif pada Anak dan Remaja
Setiap hari
dapat dijumpai berbagai bentuk kekerasan. Setiap kali membuka surat kabar,
pasti dijumpai berita-berita mengenai pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan
sebagainya. Televisi adalah guru yang sangat efektif karena dengan menonton
televisi, para pemirsa, terutama anak-anak, dapat mempelajari perilaku yang
ditujukan untuk orang dewasa mengenai peran pria dan wanita, suami dan istri,
atau polisi dan kriminal. Masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan
kekerasan di televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta selalu menayangkan
film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat, maupun horor.
Di Indonesia, kekerasan yang disaksikan di televisi tidak hanya terjadi pada
film saja. Kekerasan dapat juga disaksikan setiap hari dalam siaran berita,
dari stasiun televisi.
Hurlock dalam
Junia Trisnawati[7] menyatakan perkembangan identitas remaja
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tokoh idola. Tokoh idola
adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh remaja sebagai figure yang memiliki
posisi di masyarakat. Remaja bisa banyak menemukan tokoh figure idolanya
melalui media, baik media cetak maupun media elektronik. Hal ini menyebabkan
kecendrungan remaja untuk meniru perilaku tokoh idolanya menjadi tinggi
termasuk perilaku agresif.
Beberapa akibat
penayangan kekerasan di media massa, sebagai berukut: Memberi pelajaran bahwa
dengan perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan
perilaku agresif; Menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan
terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak
lumrah dan bisa diterima; Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan
dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial); Membentuk citra
manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang
tidak aman untuk hidup. Khusus media massa televisi yang merupakan media
tontonan dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk
mengamati apa yang disampaikan dengan jelas. Oleh karena itu, kemudian dilakukan
penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan hipotesa “mengamati
kekerasan akan meningkatkan agresivitas”
E.
Prilaku Agresif Karna Tekanan dan
Frustasi
Penelitian
Khamsita yang dikutip dari Junia
Trisnawati[8]
menyatakan faktor frustasi berhubungan dengan dengan perilaku agresif, dimana
semakin tinggi frustasi remaja maka akan semakin tinggi perilaku agresifnya.
Perilaku agresif yang dilakukan remaja di sekolah yaitu perilaku agresif fisik
dan verbal dan perilaku agresif tersebut disebabkan frustasi, kekuasaan, suhu
dan provokasi. Frustation-aggresion Theory menyatakan bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengaharapan atau tindakan tertentu mengalami hambatan
maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi.
Agresif merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Jadi hampir semua
orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat frustasi. Remaja miskin
yang nakal adalah akibat dari frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah
dan berperilaku agresif. Frustasi ini kemudian melahirkan agresif, karena
agresif bisa meringankan emosi negatif.
F.
Mengatasi
Agresifitas
Dalam kasus
agresi ini, hal paling utama untuk mengurangi terjadinya perilaku agresi adalah
dengan mengurangi frustasi yang di alami oleh individu. Selain itu, Kasus
Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah
sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa
strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi
tersebut adalah:
1.
Hukuman
Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk
mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku
agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus
memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang
ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan
setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
2.
Katarsis
Katarsis
merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam
dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada
individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam
aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi
tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi.
Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan,
2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk
mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan
melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata
malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah
raga itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks
katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata
hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan
tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu
tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila
individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan
dirinya marah.
3.
Pengenalan Terhadap Model Non
Agresif
Menurut
teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif
dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian
Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan
Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu
yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih
rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif.
4.
Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan
ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan
ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat
ketidakmampuan dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada
orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol
emosional orang lain[9].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agresifitas
adalah tingkah laku kekerasan secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara
sengaja atau tidak sengaja terhadap individu lain ataupun merusak yang mana
objek yang dilukai ataupun dirusak tersebut berusaha untuk menghindarinya.
Televisi dapat berdampak negatif terhadap anak. Kalau diperhatikan menu dari
acara televisi, terutama dalam penyajian film-filmnya, hal itu dapat dinilai
cenderung pada hal yang bersifat negatif destruktif. Dapat dikatakan demikian
karena film sering menyajikan adegan kekerasan, eksploitasi seksual dan sebagainya.
Anak dan remaja tak jarang mengidentifikasikan (menyamakan) dirinya dengan
pelaku-pelaku dalam cerita itu yang cocok dengan dirinya. Menonton
televisi/film memberikankesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan
hatinya yang terpendam.
B.
Saran
Sikap agresi
manusia dan bentuk-bentuk lain dari perilaku tidak suka bersosialisasi merupakan suatu gejala yang menyebar.
Untuk itu sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa BK untuk mempelajari dan
mengkaji mengenai perilaku agresif pada anak dan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
C. George
Boeree. 2008. Pssikologi Sosial, Yokyakarta, Prismasophie
David O. Dkk. 1994. Psikologi
Sosial, Jakarta: Erlangga
Faturochman.2006.
Pengantar Psikologi Sosial, Yogjakarta:Pustaka
Rochelle Semmel
Albin. 1986. Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, Yogyakarta:
Kanisisus
Badrun
Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun
2011
Junia
Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK
Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014
[2] C. George
Boeree, Pssikologi Sosial, (Yokyakarta, Prismasophie, 2008), hlm. 167.
[3] Badrun
Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun
2011, hlm. 189.
[4] Faturochaman, Op.cit,
hlm.85-86.
[5] Faturochaman, Op.cit.,hlm.87-88.
[6] Rochelle
Semmel Albin, Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya,
(Yogyakarta: Kanisisus, 1986), hlm. 50.
[7] Junia
Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK
Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014, hlm. 7.
[8] Junia
Trisnawati,Op.cit, hlm. 6.
[9] David O. Sears,
Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau, Psikologi Sosial, Jakarta:
Erlangga, 1994, hal. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar