Get Them on Their Feet
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap individu
memiliki keunikan-keunikan yang berbeda dengan individu lainnya dalam
memperoleh suatu pembelajaran baru, atau materi baru. Sebagian individu akan
lebih cepat merespon atau menerima suatu pembelajaran dengan cara mendengarkan,
sebagian individu lainnya memperoleh pembelajaran dengan baik bila ia mengamati
atau meliat (secara visual), dan yang sebagiannya lagi memperoleh materi baru
dengan baik melalui cara bergerak atau berbuat (kinestetik), cara belajar ini
disebut dengan kineshtetic learners yang merupakan hal yang mendasari
keterampilan terapi yang disebut get them on their feet.
Meskipun
pembelajaran tidak sesinonim dengan terapi, namun teknik yang diterapkan dalam
terapi ini memiliki dasar yang sama, yakni mencoba untuk merespons stimuli
kinestetik klien secara baik daripada stimuli lainnya, sehingga respon tersebut
dapat membawanya kepada suatu keadaan baik baginya/penyembuhan. Pada bab
berikutnya akan dijelaskan secara mendetail lagi mengenai keterampilan get
them on their feet.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dasar Get Them on Their Feet
Kata get
them on their feet bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki
arti yaitu “membuat mereka berdiri”, yakni makna ini dapat berarti menyuruh
klien secara harfiah berdiri sendiri atau membuat mereka terbangkitkan/sembuh.[1]
Teknik get them on their feet merupakan bagian dari keterampilan
konseling interpersonal. Teknik ini merupakan bentuk dari kinesthetic
learners.
Bagi kebanyakan
orang, ada sesuatu tentang humor fisik di dalam sebuah lelucon yang sangat
mengena baginya. Sememesona anugerah manusia yang berupa bahasa, adakalanya
fisik berbicara daripada sejumlah kata. Para pendidik sudah cukup lama
menengarai hal ini. Sebagian orang benar-benar verbal learners, artinya
mereka belajar paling baik jika mendengar materinya. Yang lainnya adalah visual
learners, mereka perlu melihat untuk bisa menyerap dan mengintegrasikan
materi baru. Dan yang sebagian lainnya lagi adalah kinesthetic learners,
yaitu mereka belajar paling baik dengan bergerak dan berbuat.
Meskipun
pendidikan tentu tidak sinonim dengan terapi, masuk akal untuk mengasumsikan
bahwa, karena terapi sering memasukkan pembelajaran beberapa keterampilan baru
atau mendapatkan beberapa insight baru, gaya pembelajaran dasar yang
sama akan berlaku.
B.
Situasi-Situasi yang Cocok untuk Teknik Kinestetik (Get Them on
Their Feet)
Dalam
pengertian yang sangat riil, hampir tidak ada situasi terapeutik di mana
menggunakan bentuk pembelajaran kinestetik tertentu tidak cocok. Karena otak
adalah sebuah sistem yang hidup, dan karena otak/pikiran dan tubuh terhubung
secara dinamis, dan karena pembelajaran kompleks selalu ditingkatkan melalui
akses ke sebanyak mungkin bagian-bagian dari sistem itu, maka mengharuskan
klien untuk melakukan sesuatu atau membicarakan tentang hal itu akan membuat
pembelajaran perilaku baru lebih mungkin terjadi. [2]
Ada banyak cara
untuk get them on their feet. Karena belajar selalu melibatkan proses
yang disadari dan tak disadari, dan karena belajar bersifat developmental
yaitu mendasarkan diri pada semua pengalaman sebelumnya, maka do something
itu bisa melibatkan gerakan aktual, atau melibatkan gerakan yang dibayangkan
seperti yang diterapkan di dalam teknik-teknik terapi Gestalt, misalnya teknik
kursi kosong.
Ada beberapa
situasi terapeutik yang membutuhkan penggunaan gerakan. Ketika melakukan terapi
dimana anak-anak usia prasekolah sampai remaja awal terlibat, mengungkapkan
perasaan dan pola-pola hubungan dengan acting out memungkinkan anak
untuk menjadi peserta aktif. Anak-anak diusia itu belum memiliki kapasitas
verbal atau kemampuan abstraksi yang dubutuhkan untuk hanya sekedar
membicarakan tentang pengalaman mereka. Menggunakan teknik-teknik kinestetik
akan menempatkan mereka pada posisi yang sejajar dengan orang tuanya dan untuk
bertindak sesuai kekuatan wajar anak-anak ― learning by doing.
Sebagian orang
dewasa juga sama sekali tidak memiliki keterampilan verbal untuk menggunakan
terapi bicara sendiri, secara efektif. Ini tentu juga berlaku jika orang dewasa
ituberada di ujung rendah pada rentang kecerdasan “normal”. Faktor-faktor
susio-kultural juga penting. Sebagai contoh ketika Wayne Perry mengawasi para
terapis pemula di San Antonio, Texas, banyak klien yang ditemui para supervises
saya yang datang dari daerah-daerah barrio (perkampungan dalam bahasa
Spanyol). Klien-klien ini sering kali cukup cerdas dan sangat tegar. Akan
tetapi, banyak diantara mereka yang drop out dari sekolah akibat tekanan
sosial dan ekonomi. Mereka juga terbiasa bekerja dengan tangannya (menjadi manoceros)
sehingga bekerja di dunia yang murni kata-kata dan insight sangat sulit
atau bahkan mustahil. Ini bukan soal kecerdasan. Ini hanya sangat jauh dengan
kehidupan sehari-hari mereka. Membolehkan mereka untuk mengerjakan sesuatu
secara fisik memungkinkan mereka untuk menggunakan kekuatan yang mereka miliki.
C.
Bentuk-Bentuk Teknik Terapi Kinestetik (Get Them on Their Feet)
1.
Sculpting
Bila
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, sculpting berarti memahat. Yaitu
merupakan sebuah gaya aktif metakomunikasi. Secara konseptual, proses sculpting
cukup sederhana. Para anggota keluarga mengatr diri mereka sendiri sebagai
sebuah tablo (sebuah representasi lukisan, patung, adegan, dan lain-lain oleh
satu orang atau lebihdengan konstum dan pose tertentu sesuai yang
dipresentasikan) hidup. Kadang-kadang tablo ini bersifat snap shot. Kali
lain terapis mungkin memerintahkan agar tablo itu memainkan proses tertentu
dengan cara tertentu.
Selain memiliki
keunggulan semua bentuk terapi kinestetik/visual secara umumnya, salah satu
keunggulan sculpting yang sangat nyata adalah ia menegaskan bahwa terapi
adalah sebuah proses kolaboratif. Tak seorangpun bisa duduk berpangku tangan
dan membiarkan terapis (atau bahkan terapis dan anggota keluarganya yang lain)
mengerjakan semuanya.[3]
Karena kekuatannya, sculpting dapat menjadi teknik untuk asasmen
interaksi keluarga, dan dapat menjadi teknik untuk intervensi ke dalam
interaksi tersebut.
Meskipun sculpting
adalah teknik yang amat angat fleksibel, tetapi tidak pernah boleh dilakukan
tanpa sebuah tujuan yang jelas. Jadi langkah pertama di dalam sculpting adalah
terapis memutuskan dengan jelas tujuan tugasnya. Perlu dicatat bahwa tujuandi
dalam kalimat tersebut adalah tunggal. Setiap sculpting seharusnya hanya
dimaksudkan untuk satu tujuan, akan dibutuhkan lebih dari satu sculpting.
Setelah klien mengumumkan bahwa ia sudah selesai dengan pahatannya, terapis
mempunyai pilihan. Terapis dari dalam pahatan bisa meminta klien untuk
menjelaskan makna pahatannya. Setelah setiap orang mengekspresikan pengalaman
subjektifnya tentang kegiatan itu, mereka dapat membicarakan tentang maknanya.
Bagaimanapun
cara melakukannya, memproses makna pengalaman adalah hal yang krusial bagi sculpting.
Idealnya, setip orang di dalam pahatan seharusnya bisa mengekspresikan
perasaannya dan makna dari pengalaman langsungnya. Stelah setiap orang mendapat
kesempatan untuk berbicara, konselor bisa keluar dari pahatan dan meminta para
anggota keluarga untuk mengatur diri mereka sendiri menjadi hubungan yang lebih
ideal. Atau terapis dapat meminta anggota keluarga lain untuk memahat
keluarganya dari sudut pandangannya.
Hal yang perlu
diingat dari teknik terapi ini maupun teknik kinestetik lainnya ialah, bahwa insight
menjadi lebih kuat bila datang dari klien daripada bila datang dari konselor.
Jika konselor menjadi bagian Play-Doh, konselor bisa berbicara tentang
pengalaman subjektifnya di dalam peran itu, tetapi insight dan
interpretasi seharusnya berasal dari para anggota keluarga itu sendiri. Bila
konselor berada di luar patung, ia bisa memberikan pernyatan deskriptif, tetapi
sekali lagi tinggalkan makna dan interpretasinya kepada para anggota keluarga
itu.
2.
Role Play
Role play atau yang biasa dikenal dengan istilah bermain peran menawarkan
banyak variasi kepada konselor, yang memungkinkan teknik ini untuk
diadaptasikan ke hampir semua situasi atau kebutuhan terapeutik. Role playing
sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar
membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang
lain.[4]
Role play berakar pada psikodrama yang dikembangkan oleh Moreno dan para
pengikutnya, dan ia telah menjadi bahan baku terapi keluarga. Anak-anak yang
masih kecil sering bisa berpartisipasi secara efektif di dalam sculpting,
khususnya sebagai Play-Doh. Tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa anak-anak
paling tidak harus berusia sekolah utuk dapat menerima dan memainkan peran yang
ditetapkan selama sebuah role play.
Ketika
digunakan dalam pengertian spesifiknya, role play lebih mirip
psikodrama. Setiap orang di dalam role play memegang peran yang
disimulisasikan atau meran hipotetik dan berpura-pura menjadi peran itu. Banyak
latihan di akhir setiap bab buku ini yang memerintahkan mahasiswa untuk
melakukan role play, artinya mereka memerankan sebuah persona hipotetik
dan mengalami keterampilan yang sedang dipelajarinya. Bermain peran memberi
kesempatan orang untuk berubah sesuai dengan apa yang dimilikinya sebelumnya.
Dalam drama yang sebetulnya merupakan kehidupannya sendiri, seseorang diminta
untuk memerankan peran yang tidak biasa ia mainkan, ia akan mempunyai pengertian
baru ketika memerankan peran tersebut.[5]
Salah satu
keunggulan dari penggunaan role play adalah, ia memungkinkan klien dan trainee
untuk mengalami situasi yang terlalu berbhaya atau terlalu mengancam di dalam
kehidupan nyata. Ada beberapa bentuk role play, diantaranya adalah:
a.
Role Assumption
Role assumption adalah salah satu tipe spesifik role play dimana
peran-perannya ditetapkan dengan jelas. Dengan kata lain, role assumption
sengaja tidak dibuat seterbuka atau mengalir sebebas role play murni.
Salah satu tipe lazim Role assumption adalah memerintahkan para anggota
keluargasebuah keluarga untuk memainkan peran anggota lainnya.
b.
Role Rehearsal
Role Rehearsal melibatkan orang tetap memainkan peran normalnya sendiri tetapi
berlatih untuk situasi tertentu di masa depan. Tujuannya adalah memungkinkan klien
untuk bermain di dalam situasi baru dengan lebih nyaman dan santai. Konselor
individual juga sering menggunakan Role Rehearsal. Seorang klien yang
pemalu berlatih bersama terapisnya untuk meminta kenaikan gaji. Seorang pria
dewasa berlatih untuk mengatakan kepada ibunya bahwa ibunya terlalu intrusif
dengan menjauhkan dirinya terhadap ibunya. Seorang wanita dewasa dengan fibia
sosial mungkin melatih pidato yang harus disampaikannya disebuah rapat bisnis,
dan seterusnya.
c.
Role Reversal
Di dalam role
reversal, orang memainkan peran yang berlawanan dengan peran yang biasa
dimainkannya.
Biasanya,
apapun bentuk role play yang dimainkan terapis, sekuensi dasar yang sama
yang disyaratkan oleh sculpting tetap berlaku; membubarkan perannya,
memberikan debriefing tentang pengalaman langsung dan subjektif, dan
setelah itu mendiskusikan insight yang didapatkan dari pengalaman itu.
3.
Enactment
Enactment adalah salah satu tanda-tanda terapi keluarga struktural. Terapis
struktural tidak berbicara tentang fungsi keluarga. Terapis meminta keluarga
itu untuk menjalankan fungsinya, mengobservasi secara langsung fungsinya, dan
bila perlu, memodifikasinya. Salah satu kritik utama yang dilayangkan oleh para
terapis struktural terhadap bentuk-bentuk psikoterapi lain bahwa mereka sering
memberi lebel pada perilaku seorang klien, tetapi tidak mengintervensi langsung
untuk membantu klien mengubah perilaku. Terapis struktural melakukan itu, dan
mereka melakukannya melalui enactments.
Ada dua tipe
dasar enactments, salah satunya adalah urut-urutan perilaku-perilaku
spontan. Tidak dibutuhkan usaha dari pihak konselor untuk memulainya.
Alih-alih, konselor hanya memilih sebuah urut-urutan perilaku yang dibawa klien
ke dalam sesi. Butler dan Gardner sebagaimana yang dikutip dari Wayne Perry,
mengidentifikasikan lima tahap enactment yang di sesuaikan dengan
tingkat rraktifitas pasangan. Enactment tidak harus dimulai di tahap
satu dan dilanjutkan sampai tahap lima. Tergantung pada kliennya, mereka bisa
saja mulai pada tahap dua atau tiga.[6]
Di tahap satu,
terpis menilai bahwa pasangan ini sangat reaktif satu sama lain. Untuk
meminimalkan reaktivitas ini, semua interaksi harus melalui terapis. Terapi
memberikan pengarahan dengan memberikan contoh gaya komunikasi yang diinginkan.
Jika pasangan
dapat mengikuti contoh yang diberikan terapis dengan mudah selama tahap satu,
terapinya pindah ke enactment tahap dua. Di tahap dua, kursi-kursi
diputar sehingga pasangan itu duduk kira-kira dengan sudut 450 satu
sama lain dan dengan terapis. Semua interaksi masih bersama terapis, tetapi di
tahap dua terapis menggunakan coaching langsung dan bukan hanya sekedar
memberi contoh. Dengan berbicara satu sama lain
melalui terapis, intensitas interaksi meningkat tetapi keamanan masih
tetap diprtahankan.
Sesegera
mungkin terapis pindah ke tahap tiga. Tanda-tanda bahwa pasangan itu siap untuk
masuk tahap tiga antara lain reaktivitas lebih rendah, kemarahan hanya terbatas
pada insiden-insiden tertentu dan tidak muncul secara global, dan ada kemauan
untuk emnggunakan keterampilan-keterampilan komunikasi dasar yang sudah
dilatih. Pada tahap tiga kursi-kursinya masih ditata dengan sudut 450,
tetapi sekarang klien berbicara langsung satu sama lain dan tidak melalui
terapis. Terapis memberikan coaching dan bilamana perlu mengintervensi.
Pada akhir tahap ini terapis seharusnya melihat terjadinya pelunakan secara
umum pada efek klien dan reseptivitas yang meningkat terhadap perspektif orang
lain.
Di tahap empat
terapis memosisikan kursi-kursi saling berhadapan, tetapi masih cukup jauh
sehingga masih tidak mudah saling menyentuh. Kursi terapis ditempatkan cukup
dekat dengan pasangan, kira-kira dengan jarak tiga atau empat kaki, persis
seperti di dalam sesi-sesi sebelumnya. Pemberian sedikit jarak fisik ini membantu
klien untuk mengatasi intensitas emosional yang meningkat. Di tahap ini
pasangan berbicara langsung satu sama lain hanya dengan interupsi atau
interferensi minimal dari terapis. Tugas utama terapis di tahap ini adalah
memimpin debriefing setelah enactment.
Tahap lima
ditandai oleh komunikasi yang lebih
self directed dan self corrected. Terapis menempatkan
kursi-kursi pasangan saling berhadapan dan cukup dekat sehingga lutut pasangan
secara harfiah bisa saling bersentuhan dan jika mereka mau bisa saling berpegangan
tangan. Selain itu terapis memundurkan kursinya sejauh mungkin dari pasangan
untuk membuat terapis lebih tangential lagi terhadap enactmentnya.
Selama debriefing, tugas terapis adalah memimpin pasangan itu dalam
mengkritik performanya sendiri, sehingga mereka dapat menyoroti kompetensi dan
kesuksesannya sendiri.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teknik get
them on their feet merupakan bagian dari keterampilan konseling
interpersonal. Teknik ini merupakan bentuk dari kinesthetic learners.
Sebagai sebuah pendekatan holistik, paradigma metasistem memanfaatkan secara
ekstensif semua teknik kinestetik ini. Semuanya melibatkan beberapa indera, dan
semuanya memungkinkan klien untuk mengases secara langsung data emosional dari
pengalaman sekarang. Pengalaman multi sensorik ini sangat memfasilitasi insight.
B.
Saran
Terapi kinestetik merupakan teknik terapi yang sangat sering digunakan oleh para terapis sebagai keterampilan konseling interpersonal. Untuk itu, sangat direkomendasikan bagi para akademisi dibidang Konseling dan Terapi untuk mempelajari dan meningkatkan pemahaman mengenai keterampilan teknik terapi kinestetik..
SOURCE
Bahri, Syaiful,
DKK. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.
Perry, Wayne. Dasar-Dasar
Teknik Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Prawitasari,
Johana E. Psikologi Klinis Pengantar
terapan Mikro dan Makro, Jakarta: Erlangga, 2011.
[1] Wayne Perry, Dasar-Dasar
Teknik Konseling (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 349.
[2] Ibid
[3] Ibid.,
h. 353.
[4] Syaiful Bahri,
DKK, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h. 88.
[5] Johana E.
Prawitasari, Psikologi Klinis Pengantar
terapan Mikro dan Makro (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 193.
[6] Wayne
Perry, Dasar-Dasar Teknik.., h. 371
Tidak ada komentar:
Posting Komentar