TEORI CARL ROGER
(BERPUSAT PADA DIRI)
(Psikologi
Kepribadian)
PENDAHULUAN
Pendekatan client centered memandang
manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan pembawaan dasar yang baik, memiliki
kecenderungan yang bertujuan positif, konstruktif, rasional, sosial,
berkeinginan untuk maju, realistis, memiliki kapasitas untuk menilai diri dan
mampu membawa dirinya untuk bertingkah laku sehat dan seimbang, cenderung
berusaha mengaktualisasikan diri, memperoleh sesuatu dan mempertahankannya.
Teori Carl Rogers yang berpusat pada
diri atau yang dikenal dengan istilah client centere ini sering
digunakan sebagai pendekatan atau metode terapi dalam konseling. hal ini
dikarenakan jenis terapi klient centere memberi kesempatan dan kebebasan
kepada individu untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya, berkembang dan
terealisasi potensinya. Pada tulisan ini akan dibahas lebih mendetail mengenai
pandangan Rogers terhadap kepribadian manusia, dan implementasi teorinya dalam
bimbingan dan konseling.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Carl R Rogers
Carl
Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di oak Park, Illionis. Carl
Rogers merupakan anak ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Walter dan
Julia Cushing Rogers. Ayahnya merupakan seorang insinyur sipil, sehingga Carl
Rogers lebih dekat dengan ibunya. Orang tua Rogers merupakan orang yang taat
dalam beragama, sehingga Carl Rogers menjadi tertarik terhadap kitab Injil
serta buku-buku lain.
Ketika
Carl berusia 12 tahun, keluarga nya pindah ke daerah peternakan sekitar 30 mil
sebelah barat Chicago, dan disinilah ia menghabiskan masa remajanya. Dengan pendidikan
yang ketat dan banyak tugas yang harus diselesaikan, Carl menjadi remaja yang
agak terisolasi, tetapi mandiri dan memiliki disiplin diri yang kuat.
Mulai
memasuki masa kuliah, awalnya kuliah di Universitas Wisconsin Jurusan pertanian,
tapi kemudian berpindah ke jurusan Teologi untuk belajar pelayanan. Pada saat
itulah, dia terpilih sebagai salah satu dari sepuluh mahasiswa yang pergi ke
Beijing untuk mengikuti “Konferensi Federasi Mahasiswa Kristen se-Dunia” selama
enam bulan. Dengan mengikuti kegiatan tersebut Rogers merasa mendapatkan banyak
pengalaman baru yang memperluas pikirannya, dan dari sini juga dia mulai
meragukan sebagian dari sebagian dasar pandangan agama kristen.
Setelah
lulus, ia menikah dengan Helen Elliot (yang sebenarnya tidak disetujui orang
tuanya), kemudian pindah ke New York City, dan mulai menghadiri Union Theological
Seminary, yang terkenal sebagai lembaga keagamaan liberal. Di sana, ia
mengambil sebuah seminar yang diselenggarakan mahasiswa yang menyoal “mengapa saya memasuki pelayanan?”
Dari seminar tersebut, dia mengatakan kepada kita bahwa sebagian besar cara
kita berpikir peserta keluar dari kerangka agama. Rogers kemudian beralih ke
program psikologi klinis dan belajar di Columbia University. Dia mendapatkan
gelar Ph.D (doktor) pada tahun 1931. Mulai kerja dalam bidang klinis di
Rochester Society untuk program pencegahan kekerasan terhadap anak. Di klinik
ini, ia belajar tentang teori Otta Rank
dan teknik terapi, dan mulai mengembangkan pendekatan sendiri.
Pada
tahun 1940, Carl Rogers ditawari professor penuh di Ohio State. Pada tahun
1942, ia menulis buku pertamanya, “Counseling and Psychotherapy”.
Kemudian, pada tahun 1945, ia diminta untuk mendirikan sebuah pusat konseling
di University of Chicago saat masih bekerja di sana, pada tahun 1951 ia
menerbitkan karya besarnya, “Client Centered Therapy”, sebuah karya yang
menguraikan teori dasarnya.[1]
B.
Teori
Carl R Roger
Tokoh
psikologi humanistik selain Abraham Maslow, adalah Carl Rogers. Rogers menjadi
terkenal berkat metode terapi yang dikembangkannya, yaitu terapi yang berpusat
pada klien (client-centered therapy). Tekniknya tersebar luas di
kalangan pendidikan, bimbingan, dan pekerja sosial. Rogers sangat kuat memegang
asumsinya bahwa manusia itu bebas, rasional, utuh, mudah berubah, subjektif,
proaktif, heterostatis, dan sukar dipahami.[2]
1.
Struktur
Kepribadian
Dalam teori Carl Rogers, ada tiga
konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya yaitu self, organisme dan
medan fenomena. Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self,
sehingga dapat dikatakan self merupakan struktur kepribadian yang sebenarnya.
Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang terorganisir tersusun dari
persepsi ciri -ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai subyek
atau aku sebagai obyek) dan persepsi hubungan “I” atau “me”
dengan orang lain dan berbagai aspek kehidupan, berikut nilai-nilai yang
terlibat dalam persepsi itu. Konsep Self menggambarkan konsepsi orang tentang
dirinya sendiri, ciri-ciri yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep
self juga menggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai perannya
dalam kehidupan dan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.
Carl Rogers mendeskripsikan the self
atau self-structure sebagai sebuah konstruk yang menunjukan bagaimana setiap
individu melihat dirinya sendiri. Self ini dibagi menjadi 2 yaitu real self
dan ideal self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini, Ideal
self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu
sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut.
Perhatian Rogers yang utama adalah
bagaimana organisme dan self dapat dibuat lebih kongruen/sebidang. Artinya ada
saat dimana self berada pada keadaan inkongruen, kongruensi self ditentukan
oleh kematangan, penyesuaian, dan kesehatan mental, self yang kongruen adalah
yang mampu untuk menyamakan antara interpretasi dan persepsi self “I”
dan self “me” sesuai dengan realitas dan interpretasi self yang lain. Semakin
lebar jarak antara keduanya, semakin lebar ketidak sebidangan ini. Semakin besar
ketidak sebidangan, maka semakin besar pula penderitaan yang dirasakan. Jika tidak
mampu maka akan terjadi ingkongruensi atau maladjustment atau neurosis.
Selanjutnya adalah organisme.
Pengertian organisme mencakup tiga hal, yaitu:[3]
a.
Makhluk hidup.
Organisme adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya, tempat
semua pengalaman dan segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam
kesadar setiap saat.
b.
Realitas
subyektif. Organisme menanggapi dunia seperti yang diamati atau dialaminya.
Jadi realita bukan masalah benar atau salah melainkan masalah persepsi yang
sifatnya subjekstif.
c.
Holisme. Organisme
adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan pada satu bagian akan
mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi atau
bertujuan, yakni tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan
diri.
Dan
yang terakhir adalah medan fenomena. Keseluruhan pengalaman itu, baik yang
internal maupun eksternal, disadari maupun tidak disadari dinamakan medan
fenomena. Medan fenomena adalah seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang
hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.
2.
Dinamika
Kepribadian Manusia
Pendekatan client centered
memandang kepribadian manusia secara positif. Rogers bahkan menekankan bahwa
manusia dapat dipercaya karena pada dasarnya koperatif dan konstruktif. Setiap
individu memiliki kemampuan menuju keadaan psikologis yang sehat secara sadar
dan terarah dari dalam dirinya.[4]
Karena lebih menonjolkan aspek self
pada teorinya, pendektan client centered juga dianggap sebagai self-theory.
Untuk menjadi individu yang memiliki self yang sehat, klien memerlukan
penghargaan yang positif, kehangatan, cinta, kepedulian, dan penerimaan. Self
merupakan konsep mengenai diri dan hubungan diri dengan orang lain. Individu
akan bertingkah laku selaras dengan konsep self yang dimilikinya.
Self terbentuk
dengan sendirinya. Menurut Rogers self terbentuk melalui proses
asimilasi dan proses introyeksi. Asimilasi adalah pembentukan self akibat dari
pengalaman langsung individu. Sementara introyeksi adalah proses pembentukan self
karena adanya interaksi induvidu dengan orang lain atau lingkungan sekitar.
Proses asimilasi dan introyeksi yang terbentuk sebagai struktur self
adalah pengalaman yang sesuai dengan struktur self tersebut, sedangkan
pengalaman yang tidak sesuai akan ditolak atau dikaburkan.
Selanjutnya, Rogers mengungkapkan
bahwa dinamika kepribadian manusia adalah unik dan positif. Setiap individu
memiliki kecendrungan untuk mengaktualisasikan dirinya secara terarah dan
konstruktif. Kecendrungan ini bersifat inheren dan telah ada sejak individu
dilahirkan. Apabila individu memperoleh penghargaan positif dari lingkungannya,
ia akan dapat berkembang secara positif. Hal ini menandakan bahwa lingkungan
sosial sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian individu. Individu yang
telah terpenuhi kebutuhan afeksinya akan mampu berfungsi secara utuh yang dapat
ditandai dengan keterbukaan terhadap pengalaman, percaya kepada orang lain,
dapat mengekspresikan perasaan secara bebas, bertindak mandiri dan kreatif.
Tidak semua individu dapat memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga munculah
individu yang memiliki perilaku masalah.
C.
Client
Centered Sebagai Metode dalam Konseling
Carl R. Rogers mengembangkan client
sentered untuk diaplikasikan pada kelompok, keluarga, masyarakat dan lebih
kepada individu. Pendekatan ini dikembangkan atas anggapannya mengenai
keterbatasan dari psikoanalisis. Berbeda halnya dengan psikoanalisis yang
mengatakan bahwa manusia cendrung deterministik, Rogers menyatakan bahwa
manusia adalah pribadi-pribadi yang memiliki potensi untuk memecahkan
permasalahannya sendiri.
Willis mengatakan bahwa client
centered sering juga disebut dengan psikoterapi non-directive yang
merupakan metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog dengan
klien agar tercapai gambaran antara ideal self (diri ideal) dengan actual
self (diri sebenarnya). Ciri-ciri pendekatan client centered adalah:[5]
·
Ditujukan kepda
klien mampu memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.
·
Sasaran konseling
adalah aspek emosi dan perasaan, bukan aspek intelektualnya.
·
Titik tolak
konseling adalah masa sekarang (here and now) bukan masa lalu
·
Tujuan konseling
adalah menyesuaikan antara ideal self dan actual self.
·
Klien berperan
paling aktif dalam proses konseling, sedangkan konselor hanya bertindak pasif-reflektif
(konselor bukan hanya diam, tetapi membantu klien aktif memecahkan masalahnya).
1.
Peran
dan Fungsi Konselor
Menrut Rogers pada hakikatnya
konselor dalam client centered lebih menekankan aspek sikap daripada
teknik konseling, sehingga yang lebih diutamakan dalam konseling adalah sikap
konselor. Sikap konselor ialah yang memfasilitasi perubahan pada diri klien.
Konselor menjadikan dirinya sebgai instrumen perubahan. Konselor bertindak
sebagai fasilitator dan mengutamakan kesabaran dalam proses konselingnya.
Konselor berfungsi membangun iklim
konseling yang menunjang pertumbuhan klien. Iklim konseling yang menunjang akan
menciptakan kebebasan dan keterbukaan pada diri klien untuk mengeksplorasi
masalahnya. Hal terpenting yang harus ada adalah seorang konselor bersedia
untuk memasuki dunia klien dan memberikan perhatian tulus, kepedulian,
penerimaan, dan pengertian. Apabila ini dilakukan, klien diharapkan dapat
menghilangkan pertahanan dan persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf
fungsi pribadi yang lebih tinggi.
2.
Tujuan
Klient Centered
Tujuan dasar client centered
adalah menciptakan suasana konseling yang kondusif untuk membantu klien menjadi
pribadi yang dapat berfungsi secara utuh dan positif . titik berat dari tujuan client
centered adalah menjadikan tingkah laku klien kongruen atau autentik (klien
tidak lagi berpura-pura dalam kehidupannya). Klien yang tingkah lakunya
bermasalah cendrung mengembangkan kepura-puraan yang digunakan sebagai
pertahanan terhadap hal-hal yang dirasakannya mengancam. Kepura-puraan ini akan
menghambatnya tampil secara utuh dihadapan orang lain sehingga ia menjadi asing
terhadap dirinya sendiri.
Memalui terapi client centered
ini diharapkan klien yang mengembangkan kepura-puraan tersebut dapat mencapai
tujuan terapi, antara lain:[6]
a.
Keterbukaan pada
pengalaman.
b.
Kepercayaan
terhadap diri sendiri.
c.
Menghilangkan
sikap dan perilaku yang kaku.
d.
Bersikap lebih
matang dan teraktualisasi.
Hal penting lainnya yang ingin
dicapay dari client centered adalah menjadikan klien sebagai pribadi
yang berfungsi sepenuhnya (fully fungsctioning person) yang memiliki
arti sama dengan aktualisasi diri. Shakian dikutip dari Namora Lumongga Lubis,
menjelaskan secara detail yang dimaksud dengan fully fungsctioning person
sebagai berikut:
a.
Klien terbuka
terhadap pengalamannya dan keluar dari kebiasaan defenisinya.
b.
Seluruh
pengalamannya dapat disadari sebagai sebuah kenyataan.
c.
Tindakan dan
pengalaman yang dinyatakan akurat sebagaimana pengalaman yang sebenarnya.
d.
Struktur self-nya
kongruensi dengan pengalamannya.
e.
Struktur self-nya
dapat berubah secara fleksibel sejalan dengan pengalaman baru.
f.
Klien memiliki
pengalaman self-regard.
g.
Klien dapat
bertingkah laku kreatif untuk beradaptasi terhadap peristiwa baru.
h.
Dapat hidup dengan
orang lain secara harmonis karena menghargai perbedaan individual.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
konselor dan klien diharuskan untuk dapat membangun kerja sama yang baik. Sikap
dan keterampilan konselor adalah yang utama untuk menciptakan peran serta klien
secara aktif terlibat dalam konseling secara keseluruhan.nfaktor intelegensi
juga mempengaruhi apakah tujuan konseling dapat tercapai atau tidak. Hal ini
disebabkan karena klien lah yang bertindak paling banyak dalam menentukan
pilihan atau keputusan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. pemahaman dan
penalaran yang baik dari klien akan mempermudah pemecahan masalah sekaligus
proses aktualisasi dirinya.
3.
Teknik-Teknik
Client Centered
Berbeda dengan pendekatan konseling
lainnya, client centered sama sekali tidak memiliki teknik-teknik yang khusus dirancang untuk menangani klien.
Teknik yang digunakan lebih kepada sikap konselor yang menunjukkan kehangatan
dan penerimaan yang tulus sehingga klien dapat mengemukakan masalahnya atas
kesadarannya sendiri. adakalanya seorang konselor juga mengomunikasikan
penerimaan, kepedulian, dan pengertiannya kepada klien. Hal ini akan
memperjelas kedudukan klien sebagai orang yang dapat dimengerti.
Rogers mengemukakan beberapa sifat
konselor yang dijadikan sebgai teknik dalam client centered sebagai
berikut:[7]
a.
Empathy
adalah kemampuan untuk sama-sama merasakan kondisi klien dan menyampaikan
kembali perasaan tersebut.
b.
Positive regard
(acceptance) adalah menerima keadaan klien apa adanya secara netral.
c.
Congruence.
Konselor menjadi pribadi yang terintegrasi antara apa yang dikatakan dan yang
dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,
Dede Rahmat. 2011. Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia
Indonesia
Kuntjojo.
2009. Psikologi Kepribadian, Kediri: UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI
Lubis,
Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar konseling dalam Teori dan
Praktik, Jakarta: Kencana
Willis,
Sofyan S. 2014. Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung:
ALFABETA
[1] Dede Rahmat Hidayat, Psikologi
Kepribadian dalam Konseling, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 175-176.
[2] Awisol dalam Kuntjojo, Psikologi
Kepribadian, (Kediri: UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI, 2009), hlm. 40.
[3] FKIP Bimbingan dan Konseling –
Universitas Syiah Kuala, Teori Kepribadian Carl Roger (http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/48233123/Carl_Rogers_-_Teori_Kepribadian.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1492268074&Signature=u6%2FMvxt0DBkfSIMJegNOBik%2F%2FOY%3D&response-content-disposition=attachment%3B%20filename%3DTEORI_KEPRIBADIAN_CARL_ROGERS_-_CLIENT_C.pdf
Diakses: 16 April 2017)
[4] Namora Lumongga Lubis, Memahami
Dasar-Dasar konseling dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011),
hlm. 155.
[5] Sofyan S. Willis, Konseling
Individual Teori dan Praktek, (Bandung: ALFABETA, 2014), hlm. 63.
[6] Namora Lumongga Lubis, Op.cit.,
hlm. 157.
[7] Ibid., hlm. 159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar