ETIKA PROFESI KONSELOR ISLAMI
PEMBAHASAN
A.
Urgensivitas Etika dan Kode Etik Konselor
Etika berarti ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka, dan
menunjukan jalan yang seharusya diperbuat
(Ahmad Amin, 1996:3). Sebagai tenaga profesional yang berkecimpung dalam dunia konseling,
seorang konselor memiliki garis-garis batas berupa standar etika yang wajib
dipenuhi untuk menunjukkan kredibilitasnya sebagai konselor profesional.
Permasalahan etis menjadi sangat penting karena akan memberikan jaminan
perlindungan terhadap konseli atas kesediaannya mempercayakan masalahnya untuk
ditangani seorang konselor. Konseli memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman
dari konselor setelah ia memberikan informasi mengenai masalahnya dengan tidak
membuka rahasia konseli pada pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Konseli
juga memiliki hak untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan sesuai dari
konselor yang berkompeten.
Untuk menjamin
perlindungan dan terpenuhinya hak klien, maka dibuatlah suatu sistem etika yang
mengatur hubungan konselor-konseli dan dijadikan pedoman dalam menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai tenaga profesional. Standar etika inilah yang
digunakan sebagai acuan untuk melakukan penilaian secara tegas ketika muncul
permasalahan etis dalam hubungannya dengan konseli. Selain itu, sistem etika
adalah ciri khas yang menandakan bahwa bidang konseling merupakan pekerjaan
profesional, karena cara kerjanya telah diatur dalam kode etik yang jelas dan
menjadi landasan kerja bagi konselor. Sistem etika inilah yang menjadi standar
tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang telah disepakati oleh badan
yang menaunginya.
Kode etik
bimbingan konseling dimaksudkan untuk menciptakan keadaan konseling menjadi lebih etis dan semakin baik, kode
etik mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh konselor
(Samsul Munir Amin, 2008). Perlunya kode etika jabatan ialah agar konselor
tetap dapat menjaga standar mutu atau status profesinya dalam batas-batas yang
jelas dengan profesi lain, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan
tugas oleh mereka yang tidak langsung berkecimpung dalam bidang tersebut. kode
etika ini diperuntukkan bagi para pembimbing yang memberikan layanan bimbingan
berupa konseling, dengan pengertian bahwa layanan konseling dapat dibedakan
dari bentuk-bentuk layanan bimbingan yang lain, karena sifat-sifat yang khas
dari layanan bimbingan yang disebut dengan konseling.
Menurut
Redilick dan Pope (dikutip dalam Namora Lumongga Lubis, 2011:242) Ada tujuh
pokok uraian yang harus terdapat dalam kode etik yaitu:
1.
Pekerjaan itu di atas segalanya dan tidak merugikan orang lain.
2.
Praktik profesi itu hanya dilakukan atas dasar kompetensi.
3.
Tidak melakukan eksploitasi.
4.
Memperlakukan seseorang dengan respek untuk martabatnya sebagai
manusia.
5.
Melindungi hal yang konfidensial.
6.
Tindakan, kecuali dalam keadaan yang sangat ekstrem, dilakukan
setelah mendapatkan izin.
7.
Praktik profesi merupakan kerangka pekerjaan sosial dan keadilan
B.
Kualifikasi Profesiolitas Konselor Islami
Konselor yang
tergabung dalam ikatan petugas bimbingan dan konseling Indonesia (IPBI) harus
memiliki sikap, keterampilan, pengetahuan khusus tertentu, dan pengakuan atas
kewewenangannya sebagai konselor. (Namora Lumongga Lubis, 2011:266). Seorang
konselor yang perannya membina, menolong serta mendidik manusia, menjadikan
diri pribadinya sebagai contoh tauladan bagi orang lain. Yang dimana menjadi
seorang konselor tentunya harus memiliki kepribadian dan akhlak yang luhur,
serta karakter dan potensi yang baik. Konselor dipilih atas dasar kualifikasi
keimanan, ketaqwaan, pengetahuan tentang konseling dan syari’at Islam,
keterampilan dan pendidikan (Anwar Sutoyo, 2014:210). Sementara kriteria
konelor Islami menurut Samsul Munir Amin ialah konselor Islami harus memiliki
kriteria; menguasai masalah keilmuan agama Islam serta
strategi dan metode
yang digunakan dalam
konseling, memiliki pribadi yang
terpuji, serta orang
yang taat mengamalkan
nilai-nilai agama Islam.
Konselor haus
memiliki sikap bertanggung jawab terhadap dan
individu yang dilayani, maupun terhadap
ikatan profesionalnya. Sikap tanggung jawab terhadap konselor aadalah upaya
konselor untuk mendedikasikan seluruh hidupnya untuk konseling. menanamkan
nilai-nilai etik ke dalam diri pribadinya. Salah satunya ialah konsisten antara
sumpahnya sebagai konselor dengan perbuatannya, konsisten antara ucapan dan
perbuatan. peran konselor serupa dengan peran da’i, Allah SWT sangat membenci
orang yang berkata tidak selaras dengan perbuatannya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ
أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Shaff: 2-3).
Kata maqtan artinya membenci
dengan sangat, yakni marah yang amat
sangat dari Allah. Perbuatan yang sangat dimarahi-Nya itu adalah zina dan
ucapan yang tidak diusahakan pelaksanaanya dengan perbuatan. Allah swt mengingatkan
kaum muslimin akan kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka, yaitu mereka
mengatakan suatu perkataan, tetapi mereka tidak merealisasikan atau
mengerjakannya. Diantaranya mereka berkata,”kami ingin mengerjakan kebajikan-kebajikan
yang diperintahkan Allah, tetapi jika datang perintah itu, mereka tidak
mengerjakannya.
Selain bertanggung jawab, konselor
juga harus memperlihatkan sikap sederhana, rendah hati dan sabar. Dalam hal ini
konselor harus memperlihatkan sikap lembut terhadap konselinya. Hal ini
sebagaimana firman Allah:
فَبِمَا
رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ
مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ
فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
١٥٩
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali-Imran: 159).
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas
bahwa Allah swt berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan anugerah yang
telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang mukmin, yaitu
Allah telah membuat hatinya lemah lembut
kepda umatnya yang akibatnya mereka menaati perintahnya dan menjauhi larangnya,
Allah juga membuat tutur katanya terasa menyejukkan hati mereka.
Yakni sikapmu yang lemah lembut
terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan oleh Allah buatmu sebagai rahmat
buat dirimu dan juga buat mereka.
Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara dan
berkeras hati dalam menghadapi mereka, niscaya mereka bubar darimu dam
meninggalkan kamu akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan
membuat hatimu lemah lembut terhadap mereka, sehingga mereka menyukaimu.
Huruf (مَا) ma yang digunakan disini dalam konteks
penetapan rahmat-Nya, disebabkan karena rahmat Allah. Engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya engkau berlaku
keras, buruk perangai, kasar kata
lagi berhati kasar, tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Hasan al Bashri
mengatakan bahwa begitulah akhlak Nabi Muhammad saw yang diutus oleh Allah,
dengan mentandang akhlak ini.
Firman-Nya: maka disebabkan rahmat Allah engkau berlaku
lemah lembut terhadap mereka, dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah
swt sendirilah yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw.
Ini dipahami dari kata (لو) lauw
yang diterjemahkan sekiranya. Kata
ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat
tersebut tidak dapat wujud, jika
demikian jika ayat ini menyatakan sekiranya
engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu, maka itu berarti sikap keras lagi berhati kasar, tidak ada
wujudnya. Melalui kandungan ayat di atas, etika dakwah telah diajarkan oleh
Allah swt langsung kepada utusan termulia, yakni Nabi Muhammad saw dengan
penyampaian dakwah yang lemah lembut, tidak berkata dengan kasar serta
mempunyai hati yang kasar.
REFERENSI
Abdullah bin Muhammad. 2003. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 6,
Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Amin, Samsul
Munir. 2008. Bimbingan dan Konseling Islam, Jakrta: Amzah
Amin, Ahmad.
1996. Etika Ilmu Akhlak, Cet. VIII, Jakarta:
Bulan Bintang
Lubis, Namora
Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseing dalam Teori dan Praktik, Jakarta:
Kencana
Sutoyo, Anwar.
2014. Bimbingan & Konseling Islam (Teori dan Praktik), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar