EKSISTENSIALISME
(Rollo May)
(Psikologi Kepribadian)
PENDAHULUAN
Rollo May
adalah seorang psikolog amerika yang terkenal dengan teori eksistensial
fenomenologi dan takdir. Dia percaya bahwa manusia itu adalah makhluk yang
bebas namun tetap saja ada keterbatasan yang tidak bisa dijangkaunya seperti
kematian, dan itulah yang disebut dengan takdir. Rollo May mencetus teori ini
berdasarkan masalah kehidupan yang ia rasakan dan menjelaskan bahwa ada prinsip
dasar (kecemasan, Rasa Bersalah, Intensionalitas, kebebasan & takdir, Love
& Will, dan Mitos) dan tahap perkembangan (Kepolosan, Pemerontakan, Awan
dan Kreatif) dari eksistensial fenomenologi dan takdir. Pada tulisan ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai teori eksistensial yang digagas oleh Rollo May.
A.
Biografi Rollo May
Rollo May lahir pada 21 April 1909 di Ohio, dan dibesarkan di
Mariane City, Michigan, Amerika Serikat. Ia hidup ditengah sikap anti
intelektual dari sang ayah. Ayahnya berkali-kali berkomentar bahwa gangguan
psikotik yang dialami oleh kakak Rollo May adalah karena terlalu banyak
belajar. Mungkin karena merasa bahwa pernyataan ayahnya “tidak manusiawi dan
merusak”, ia pun membenci penyakit anti intelektualisme, meskipun ia melihat
bahwa untuk hal-hal lain ayahnya adalah laki-laki yang sangat simpatik.[1]
Setelah belajar di Michigan State
University jurusan sastra Inggris singkat (ia diminta untuk meninggalkan kampus
karena menjadi editor sebuah majalah mahasiswa yang radikal), dia pindah ke
Oberlin College di Ohio, tempat menerima gelar sarjana muda pada 1930. Tiga
tahun kemudian, May menjelajahi Eropa bagian timur dan selatan sebagai seniman,
membuat lukiasan, dan mempelajari seni-seni lokal. Tujuan asli perjalanan May
adalah untuk menjadi pengajar bahasa inggris di Anatolia College di Saloniki,
Yunani. Memasuki tahun kedua, May mulai merasa kesepian dan memutuskan
menenggelamkan diri ke dalam pekerjaannya sebagai guru. Sejak saat itu, May
mulai mendengarkan suara hatinya, suara hatinya yang berbicara kepadanya
tentang keindahan. Pengalaman kedua di Eropa, dia menghadiri seminar musim
panas Alfred Adler pada 1932 di sebuah tempat peristirahatan di sebuah
pegunungan dekat Wina.
May kembali ke Amerika Serikat, 1933, May
masuk Union Theological seminary di
New York. May tidak masuk seminari untuk menjadi pendeta tetapi untuk mencari
jawaban terakhir bagi hakikat manusia. May berteman sampai lebih 30 tahun
dengan salah seorang guru, Paul Tillich, teolog eksistensialis, yang akan
memiliki dampak besar pada pemikirannya.
Dia melanjutkan studi psikoanalisis di William Alanson White Institute of
psychiatry, psychoanalysis dan psychology saat bekerja sebgai konselor bagi
siswa-siswa laki-laki di City College New York. Disini ia bertemu orang-orang
seperti Harry Stack Sullivan dan Erich Fromm. Tahun 1946, May membuka praktik
privatnya sendiri dan dua tahun sebagai pengajar di Insitut Wlliam Allason
White. Tahun 1949, kira-kira
diusianya 40 tahun, dia mendapat gelar Ph. D dalam psikologi klinis dari University of Columbia. Sebelum menerima
gelarnya, May terkena TBC di awal usia 30 tahun dan menghabiskan waktu 3 tahun
di Sanitarium Saranac New York. Pada waktu itu, belum ada obat untuk TBC, May
tidak tahu apakah dia kan hidup atau mati. Dia merasa tidak berdaya sama sekali
dan tidak bisa melakukan apapun kecuali menunggu diagnosa.
Di titik ini, dia mulai mengembangkan
sejumlah wawasan tentang hakikat penyakitnya. Dia mengamati bahwa pasien yang
menerima kondisi penyakitnya adalah orang-orang yang cenderung mati lebih
cepat, sementara yang berjuang melawan kondisi itu cenderung dapat bertahan
dihidup sedikit lebih lama. May menemukan bahwa penyembuhan adalah proses yang
aktif, bukannya pasif.
Selama sakit dan penyembuhannya, May
sanggup menyelesaikan sebuah buku tentang kecemasan. Setelah May sembuh dari
penyakitnya, dia menulis disertasi tentang kecemasan, dan tahun berikutnya
diterbitkan dengan judul The Meaning of
Anxiety. Karya paling terkenal May, Love
and Will, menjadi buku terlaris seluruh negeri dan memenangkan Ralph Waldo Emerson Award untuk kelompok
tulisan Humanistik.
Di sepanjang karirnya, May menjadi profesor
tamu di Harvard dan Princeton dan mengajar di banyak institut. Dia juga menjadi
profesor utama di University of New York
dan ketua di berbagai organisasi. Dalam hidup perkawinannya, May sempat
bercerai dua kali. Setelah 2 tahun menurun kesehatannya, ia menghabiskan
tahun-tahun terakhir hidupnya di Tiburon, California, sampai ia meninggal pada
22 Oktober 1994.
B.
Manusia dalam Pandangan Rollo May
Rollo May mengembangkan pemahaman manusia yang
didasarkan pada eksistensialisme. Secara umum, pandangan Rollo May mengenai
manusia terangkum dalam pandangan ontologisnya mengenai individu. Menurutnya,
setiap ahli psikologi yang mempelajari perilaku manusia seharusnya bertanya
mengenai sifat terbaik sebagai seorang pribadi dan bagaimana kita dapat
menjelaskan eksistensi terbaik dari manusia?
May terus mengakui bahwa ia membuat beberapa asumsi
ontologis dan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia.[2]
Pertama, ia mengungkapkan bahwa semua organisme hidup berpotensi
berpusat pada diri sendiri dan berusaha untuk mempertahankan pusat itu. Pada
psikoterapi pasien yang terlibat dalam upaya tersebut. Kedua, manusia memiliki kebutuhan dan kemungkinan
akan keluar dari keterpusatan untuk berpartisipasi dengan orang lain. Ini
mencakup resiko. Ilustrasinya dalam psikoterapi adalah ketika berjumpa dengan
terapis. Ketiga May menunjukkan bahwa penyakit adalah sebuah metode
untuk seorang individu agar berusaha mempertahankan dirinya untuk menjadi,
sebuah strategi untuk bertahan hidup, walaupun metode tersebut dapat membatasi
dan menutup potensinya untuk mengembangkan pengetahuan dan tindakannya. May
menegaskan bahwa manusia dapat berpartisipasi dalam tingkat self
consciousness, yang memungkinkan mereka untuk mengatasi situasi yang
mendesak serta mempertimbangkan dan mengaktualisasikan diri yang lebih luas.
Asumsi ontologis ini dapat memberikan kita struktural ilmu kepribadian. Mereka
mendahului aktifitas analisis, dan pada gilirannya, kegiatan analisis dapat
membantu kita untuk menerangi mereka.
Konsep psikologis harus berorientasi dalam kerangka
kerja ontologis. Jadi, may menunjukkan bahwa konsep pengalaman tak sadar dapat
dipahami dalam bentuk penipuan terhadap diri sendiri dan pengalaman, sehingga
seseorang tidak dapat aktual. May menafsirkan mitos dan konflik oedipus sebagai
indikasi dari masalah yang terjadi, hubungan seseorang dengan dunianya melalui
kemunculan kesadaran.
C.
Konsep Utama Eksistensialisme
Ada beberapa konsep yang digagas oleh May dalam teori
eksistensialisme, diantaranya sebagai berikut.[3]
1.
Sikap Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah gerakan filsafat dan
psikologi kontemporer di antara berbagai mazhab pemikiran yang muncul secara
spontan di Eropa. Gerakan ini berakar dari gerakan-gerakan perlawanan selama
Perang Dunia II yang dikembangkan oleh beberapa filosof, seperti Soren
Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean Paul Sartre
(1905-1980). Nama eksistensialisme berasrl dari bahasa Latin exsistere, yang
berarti berdiri keluar atau muncul. Pendekatan eksistensial memfokuskan pada
manusia ketika ia muncul dan menjadi sesuatu.
Di masa lalu, filsafat Barat secara tradisional
berusaha mencari hakikat ini, prinsip-prinsip yang tidak berubah serta hukum
yang mengatur eksistensi. Bentuk paling murni dari pendekatan tersebut adalah
matematika. Dalam psikologi, sikap para eksistensialis berupaya untuk memahami
kekuatan, drive, dan kondisi refleks manusia. Eksistensialisme menunjukkan
bahwa sebuah hukum harus benar dan nyata. "Dua kuda terbang ditambah dua
kuda terbang sama dengan empat kuda terbang" adalah suatu pernyataan
"benar" secara logika, tetapi bukan sesuatu yang nyata.
Eksistensialisme berusaha untuk menjembatani kesenjangan antara apa yang benar
secara abstrak dan apa yang eksis secara nyata.
Eksistensialisme menyatakan bahwa tidak ada kebenaran atau
kenyataan bagi kita sebagai manusia, kecuali kita berpartisipasi di dalamnya.
Pengetahuan bukan hanya kegiatan berpikir, melainkan melakukan suatu tindakan.
Eksistensialisme tidak harus mengesampingkan esensi, namun "eksistensi
mendahului esensi". Mungkin, tidak ada yang menyangkal mengenai validitas
dari konsep-konsep seperti pengondisian atau drive, namun hal ini hanya
menunjukkan bahwa kita tidak dapat menjelaskan secara tepat mengenai perilaku
seseorang, dan ini menjadi penyebab kita mencoba berbicara tentang abstraksi
kehidupan manusia. Walaupun secara konseptual benar, tetapi tidak menjelaskan
kehidupan yang nyata. Jadi, ketika kita menggunakan konsep tersebut, kita harus
menjelaskan bahwa kita telah mengabstraksikannya dari kehidupan personal, bukan
berbicara mengenai orang yang nyala keberadaannya
2.
Keadaan Sulit (Predicament)
Menurut May, masalah utama yang dihadapi manusia
pada pertengahan abad ke-20 adalah perasaan tidak berdaya, "keyakinan
bahwa individu tidak dapat berbuat secara efektif dalam menghadapi masalah yang
sangat besar dalam budaya, sosial,dan ekonomi". Perasaan tak berdaya ini
disebabkan oleh kecemasan dan hilangnya nilai-nilai tradisional.
3.
Ketidakberdayaan
Masalah ketidakberdayaan sekarang sudah makin nyata.
Zaman ini dianggap sebagai/aman ketidakpastian dan gejolak sosial. Kerusuhan
yang berkelanjutan di Timur Tengah, menggambarkan bahwa kita terjebak dalam
siluasi sejarah, yang tidak ada seorang pun atau sekelompok orang memiliki
kekuasaan yang signifikan. Kita mendengar bahwa perang dingin berakhir, namun
dunia lampak tidak aman. Negara maju sering bertindak seolab-olah tidak ada
masalah di negara berkembang. Padahal mereka tahu banyak masalah kemiskinan dan
penderitaan di sana. Peningkatan teknologi telah menjadikan kekuasaan sebagai
kekuatan impersonal yang otonom bertindak atas nama sendiri.
Pada awal tahun 1953, May mendapati bahwa banyak pasien
yang datang kepadanya karena mendeiita kekosongan batin. Ia mendapati bahwa
orang neurotik seringkali bertindak di luar kesadaran kebanyakan orang. May
menduga bahwa pengalaman kosong dan ketidakberdayaan yang dialami pasien akan
menjadi epidemi. Pada 1970-an banyak pembahasan mengenai potensi manusia, namun
sangat sedikit yang percaya pada kekuatan dalam diri individu yang membuat
perbedaan signifikan. Kelumpuhan perasaan ini banyak menghinggapi manusia
sepanjang tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Contoh yang paling mencolok dari
perasaan tidak penting dan tidak berdaya adalah impotensi terhadap ancaman
perang nuklir atau kecelakaan. Potensi bencana seperti itu meningkat dengan
cepat seiring dengan perasaan impotensi terhadap berkembangbiaknya kekerasan
dan permusuhan.
Ancaman perang nuklir dan keresahan sosial hanyalah
salah satu gejala dari masalah yang lebih mendalam. Sekarang ini banyak
manusia, baik pria maupun wanita yang merasa tidak berdaya dan tidak berarti.
Impotensi mengarah pada kecemasan dan represi, dan pada gilirannya akan menjadi
apatis. Impotensi dan apatis, serta berkembangnya kekerasan dan permusuhan
telah menjauhkan kita dari yang lain dan telah menyebabkan meningkatnya
isolasi.
4.
Kecemasan
Kecemasan menjadi istilah yang biasa digunakan untuk
menggambarkan zaman kegelisahan. Sebelum tahun 1950, hanya ada dua buku yang
secara khusus menampilkan gambaran yang objektif mengenai kecemasan dan
menyarankan cara-cara yang konstruktif untuk menanganinya. Masalah kecemasan
yang ditulis Freud dan konsep tentang kecemasan dari Kierkegaard. Setelah May
menulis The Meaning of Anxiety, yang diterbitkan pertama kali pada tahun
1950, ratusan topik sejenis kemudian mengikuti.
May mendorong upaya penelitian tentang hal ini. The
Meaning of Anxiety direvisi pada tahun 1977. Pada saat peluncurannya, May
menunjukkan minat yang besar terhadap anxiety. Dalam publikasinya, May
menunjukkan adanya kebutuhan manusia akan teori yang terpadu mengenai
kecemasan. Karya tersebut merupakan upayanya dalam mensintesis wawasan
psikologi dan filsafat. la telah menerapkan sintesis analisisnya terhadap
dilema cinta, kekuasaan dan kepolosan, kreadvitas, dan kebebasan, serta takdir.
Beberapa psikolog lebih suka menggunakan istilah
"stres" untuk menggambarkan kecemasan. Meskipun istilahnya tidak
akurat, tetapi kata stres lebih popular, karena berasal dari istilah teknik dan
fisika, sifatnya dapat diukur dengan mudah dan akurat. Sebenarnya, konsep stres
tidak cukup untuk menggambarkan kekhawatiran seperti yang dirasakan dalam
kecemasan. Selain itu, menunjukkan seperti adanya tekanan yang dirasakan
seseorang, sementara kecemasan terikat dengan kesadaran dan subjektivitas.
Kecemasan dalam eksistensialisme didefinisikan sebagai
"ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi yang disebabkan oleh ancaman
terhadap nilai-nilai yang dianggap penting oleh individu untuk menjaga
eksistensinya sebagai manusia". Kecemasan adalah ciri yang tak terelakkan
ketika menjadi manusia. Kecemasan merupakan sesuatu yang tanpa tujuan, karena
menyerang dasar dari struktur psikologis, dan persepsi diri seseorang berbeda
dengan dunia benda yang ada. Dengan demikian, dalam kecemasan terdapat jarak
antara diri dan objek yang rusak. Potensi kecemasan bersifat bawaan, walaupun
peristiwa-peristiwa tertentu merupakan ancaman yang dipelajari. Ketakutan
adalah ekspresi kecemasan dalam bentuk objek tertentu. Dalam budaya
kontemporer, terdapat kecenderungan bahwa kecemasan makin menggejala yang
disebabkan oleh isolasi dan alienasi interpersonal yang muncul dari pola tertentu.
Seorang individu dipandang sebagai objek dan validasi dirinya yang bergantung
pada kemenangan atas orang lain. Kecemasan di masa yang akan datang merupakan
salah satu gejala dari masalah yang lebih mendalam lagi.
Sekarang ini, banyak upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan kecemasan yang semakin meningkat. May mengingatkan kita bahwa
kita tidak bisa hidup dalam kondisi kosong secara berkelanjutan selama periode
waktu tertentu. Kita harus mengisi kekosongan, baik dari otoritas yang merusak,
narkoba, maupun alkohol. Pada awal abad ini, kevakuman emosional di Eropa
seperti diktator fasis diperbolehkan untuk meraih kekuasaan. Saat ini, banyak
anak muda yang menjadi korban alkohol dan obat-obatan. Masalahnya adalah
meskipun manusia sadar dan bertanggung jawab, tetapi mereka merasa tidak mampu
untuk mengikuti semua perubahan yang cepat dalam masyarakat kontemporer. Jika
kita mampu mengenali situasi historis yang memberikan implikasi psikologis,
kita mungkin dapat bergerak dari kegiatan merugikan diri sendiri kepada
kegiatan yang konstruktif.
5.
Nilai yang Hilang
Menurut May, sumber masalah yang kita alami
sekarang (di dunia Barat) ini terletak pada hilangnya pusat nilai-nilai dalam
masyarakat kita. Sejak zaman renaissance, nilai dominan dalarn masyarakat Barat
makin kompetitif. Prestise diukur dari pekerjaan dan kesuksesan finansial.
Padahal nilai-nilai tersebut tidak lagi efektif dalam dunia postmodern, karena
kita harus belajar untuk bekerja dengan orang lain agar dapat bertahan hidup.
Persaingan individu tidak lagi memberikan kebaikan untuk diri sendiri ataupun
bagi masyarakat, bahkan justru menimbulkan banyak masalah yang sebelumnya tidak
ada.
6.
Menemukan Kembali (Rediscovering) Perasaan
Dalam menemukan kembali kedirian,
kebanyakan orang harus mulai kembali ke awal dan menemukan kembali perasaan
mereka. Banyak dari kita hanya memiliki gagasan yang kabur dari apa yang kita
rasakan pada suatu waktu tertentu. Kita bereaksi terhadap tubuh kita
seolah-olah mereka terpisah dan berbeda. Sementara itu, kita menyangkal emosi
sendiri dan menganggap perasaan seperti mesin, menggambarkan mereka sebagai
"ramah", "sayang", dan sebagainya. Kita harus mengakui
bahwa kita memainkan peran aktif dalam menciptakan tubuh dan perasaan.
Kesadaran akan tubuh dan perasaan meletakkan dasar-dasar untuk mengetahui apa
yang diinginkan. Sangat sedikit orang yang
benar-benar mengetahui apa yang mereka inginkan. Menyadari keinginan seseorang
tidak berarti bahwa seseorang harus bertindak, tetapi kita tidak bisa memiliki
dasar apa pun untuk menilai apa yang kita ajcan dan tidak akan lakukan apabila
kita tahu apa yang ingin dilakukan.
Menjadi "seseorang" tidak memerlukan hubungan antara
perasaan dan keinginan, tetapi juga berjuang melawan hal-hal yang dapat
mencegah kita dari perasaan dan keinginan. Perkembangan manusia adalah proses
yang berbeda dari kesatuan asal bersarna ibu sampai menuju kebebasan sebagai
seorang ir.dividu. Memang betul bahwa tali pusat dipotong saat lahir, namun
saat itu bayi masih bergantung pada ibunya. Dalam rangka untuk memajukan dan
menjadi diri sendiri, seseorang harus menjadi dominan dan bebas dari kekuasaan
otoriter, bahkan jika perlu kembali mengambil peran oposisi terhadap orang tua
atau pihak lain yang berwenang. Kekanak-kanakan kita adalah ikatan kebergantungan
yang menjauhkan kita dari perasaan dan keinginan. Awal perjuangan melawan
otoritas eksternal, seperti saat kita tumbuh, masalah internal ada. Sebagai
orang dewasa, kita terus bertindak seolah-olah kita masih harus melawan
kekuatan-kekuatan yang memperbudak kita. meskiptm dalam kenyataannya kita yang
memperbudak diri sendiri.
7.
Empat Tahap Kesadaran Diri
May menjelaskan ada empat tahap kesadaran diri.
Pertama, adalah tahap kesadaran tidak bersalah sebelum diri lahir,
karakteristik tahap ini adalah bayi. Kedua, tahap pemberontakan individu yang
berusaha untuk membangun kekuatan batin. Para balita dan remaja digambarkan
sebagai orang yang berada pada tahap ini. Di sini, mungkin terdapat penentangan
dan permusuhan. Ketiga, tahap kesadaran diri, tahap ini mengacu pada keadaan
orang banyak, ketika mereka membahas kepribadian yang sehat. Dalam hal ini, melibatkan kemampuan untuk belajar, mengambil peran
dan hidup secara bertanggungjawab. Keempat, tahap kesadaran diri
kreatif, yang melibatkan kemampuan untuk melihat sesuatu yang luar biasa dari
seseorang, titik pandang yang tidak terbatas, dan mendapatkan kebenaran hakiki,
Tingkat ini terpotong melalui dikotomi antara subjektivitas dan objektivitas.
Tidak semua orang dapat mencapai tingkat kesadaran pada tahap ini. Hanya
sedikit orang yang mencapainya. Tahapan ini merupakan analog dari pengalaman
puncak Maslow. Hanya makna dari tindakan dan pengalamannya berada pada tingkat
yang lebih rendah..
8.
Tujuan Integrasi
Konsep May mengenai manusia adalah kesadaran
diri, mampu secara sadar, dan harus membuat pilihan. Dalam analisis
eksistensial kepribadian, May berusaha untuk melemahkan dualisme traditional,
yaitu antara subjek dan objekyang telah menghantui Barat. Pemahaman diri yarg
muncul sejak Descartes yang mengatakan bahwa kita sadar diri, baik sebagai
subjek maupun sebagai objek, mungkin menganggap diri sebagai satu kesatuan
dalam kaitan dengan tujuan dari integrasi. May mengungkapkan masalah-masalah
kunci dalam kepribadian dan berusaha menghindari kecenderungan abstrak yang
terjadi yang membawa kehidupan ke dalam dualisme dan konstruksi buatan.
9.
The Daimonic
May memperkenalkan konsep daimonic dan bersikeras
bahwa manusia harus berdamai dengannya. The daimonic adalah "setiap fungsi
alami yang memiliki kekuatan untuk mengambil alih seluruh pribadi". Seks,
kemarahan, hasrat untuk kekuasaan, semua ini mungkin menjadi jahat ketika
mereka mengambil alih diri tanpa memerhatikan integrasi diri. Kita dapat
menindas daimonic, tetapi kita tidak dapat menghindari akibatnya. Dalam menekan
itu, kita menjadi para budak.
Daimonic
berpotensi secara kreatif dan destruktif pada saat yang bersamaan.
Dengan menyadari hal itu, kita dapat mengintegrasikannya dalam diri kita. Kita
dapat belajar untuk menghargai setan internal dan mengizinkan mereka untuk
memberi kita garam kehidupan. The daimonic dimulai sebagai impersonal
dengan membawanya ke dalam kesadaran. Pemahaman akan lebih sensitif terhadap
kekuatan dalam satu tubuh dan kehidupan. Daimonic mendorong satu
struktur universal menuju realitas. Gerakan ini bergeser dari impersonal
pribadi ke dimensi transpersonal kesadaran
10.
Kekuasaan
Sebagaimana telah kita lihat, faktor dasar dalam
krisis kontemporer kita adalah perasaan ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan.
Kehidupan manusia dapat dilihat sebagai konflik antara mencapai rasa makna diri
seseorang di satu pihak, dan merasakan ketidakberdayaan di pihak lain. Kita
cenderung menghindari kedua belah pihak tersebut. Penyebabnya adalah karena
telah menjadi penyebab kejahatan dan karena ketidakberdayaan yang terlalu
menyakitkan untuk dipikul.
Kekerasan
menjadi tempat berkembang biak impotensi dan sikap apatis. Ketika kita membuat
orang-orang tidak berdaya, kita lebih suka mendorong kekerasan daripada
mengendalikannya. Tindak kekerasan seperti penyanderaan dilakukan oleh
orang-orang yang berusaha untuk meningkatkan harga diri mereka. Cara orang
tidak berdaya supaya merasa bermakna adalah dengan melakukan eksploitasi atau
membalas dendam dengan cara yang pasif-agresif, seperti penggunaan obat-obatan
dan alkohol.
Kekuasaan
adalah keadaan diri ontologisme, yang berpotensi untuk mengalami dan
mengekspresikan kehadiran kekuasaan dalam diri kita. Tidak seorang pun dapat
melarikan diri dari keinginan atau kekuasaan. Hal yangpenting dilakukan adalah
belajar untuk menggunakan kekuatan dalam situasi yang tepat, bersikap asertif,
bukan agresif. Kita harus menemukan cara-cara mendistribusikan kekuasaan agar
setiap orang dapat merasa bermakna.
D.
Penerapan Eksistensialisme dalam Konseling
Menurut
para eksistensialis, tujuan utama terapi adalah untuk membantu meningkatkan
pemahaman tentang diri dan cara seseorang berada di dunia. Konstruksi mengenai
pemahaman psikologis manusia ditempatkan di dasar ontologis, serta mengambil
makna dari situasi sekarang. Drive, dynamisme, atau pola perilaku
dipahami hanya dalam konteks struktur keberadaan orang tertentu. Sebagai
manusia, kita harus menyadari diri, akan keberadaan diri, bertanggung jawab
urituk diri sendiri, dan menjadi diri kita sendiri. "Untuk rnenjadi dan
tidak dapat" adalah sebuah pilihan yang kita buat setiap saat. Pengalaman
"Aku" adalah prasyarat untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu.
Menyadari
keberadaan diri sendiri tidak dapat dijelaskan dalam istilah sosial. Penerimaan
terapis untuk memfasilitasi "Aku" pengalaman, tetapi berarti secara
otomatis mengarah ke sana. Pertanyaan yang krusial adalah apa yang ada dalam
individu yang menerima kesadaran sendiri dan tanggung jawab atas keberadaannya,
apakah dalam kenyataannya ia dapat menerima. Kemunculan "Aku"
merupakan pengalaman yang identik dengan perkembangan ego. Terjadi pada tingkat
yang lebih mendasar dan merupakan prasyarat untuk mengembangkan ego berikutnya.
Dalam
rangka memahami apa artinya ada perlu memahami pilihan ketidakberadaan.
Kematian adalah suatu bentuk nyata ancaman ketidakberadaan. Tetapi sesuai
modus, ia merupakan alternatif yang lazim di zaman ini. Orang menyerahkan
identitas mereka sendiri agar dapat diterima oleh orang lain dan menghindari
kesepian. Tetapi dengan begitu, mereka kehilangan kekuasaan dan keunikan.
Sedangkan represi dan hambatan yang umum dalam pola-pola neurotik Freud menjadi
konformisme yang lebih umum, seperti penyangkalan terhadap potensi seseorang
yang mengarah pada pengalaman rasa bersalah. Bersalah ontologis tidak datang
dari budaya yang menghamoat, tetapi timbul dari fakta kesadaran diri dan
pengakuan bahwa seseorang belum memenuhi potensi dirinya. Dengan menghadapi
perasaan bersalah seperti dalam proses terapi telah menyebabkan efek konstruktif.
Dengan demikian, tugas utama terapis adalah memahami pasien dalam
"keberadaan" dan "ketidakberadaan" di dunia ini. Konteks
ini yang rnembedakan pendekatan eksistensial dengan teknik-teknik yang lain.
Manusia bukanlah suatu objek yang dikelola atau dianalisis. Berbagai teknik
psikoterapi dapat digunakan, bergantung pada metode mana yang terbaik yang
dapat mengungkap keberadaan pasien tertentu pada waktu tertentu.
May
percaya bahwa asosiasi bebas sangat berguna dalam mengungkapkan
intensionalitas. Hubungan antara terapis dan pasien dianggap nyata,
transferensi terjadi karena ada distorsi pertemuan terapeutik. Terapis berusaha
untuk membantu pasien dalam keberadaannya, sehingga terapi bukan untuk membantu
menyesuaikan diri dengan budaya tertentu atau bertujuan untuk menghilangkan
kecemasan, tetapi untuk mengalami satu eksistensi atau cara berada di dunia. May
memperingatkan terhadap penggunaan obat dalam psikoterapi. Ia percaya bahwa
obat memiliki efek dalam menghilangkan kecemasan pasien, tetapi juga menghilangkan
motivasi untuk berubah, sehingga menghilangkan kesempatan untuk belajar dan
menghancurkan sumber daya vital. Kadang-kadang, May menggunakan teknik yang
dikembangkan oleh terapis gestalt, seperti Fritz Peris. May menekankan
pada perilaku nonverbal untuk menunjukkan ketidakkonsistenan antara pernyataan
verbal dan non-verbal. Jika seorang pasien menyatakan bahwa dia takut tapi
sambil tersenyum, maka seharusnya orang yang ketakutan tidak tersenyum,
sehingga ia berusaha untuk mengeksplorasi makna tersenyum. Seorang pasien
mungkin akan diminta untuk berfantasi mengenai sesuatu yang bermakna, sementara
terapis duduk di kursi yang berlawanan sambil berkomunikasi dengan pasien
tersebut, kemudian berganti peran. Teknik seperti ini bertujuan untuk membantu
pasien menghadapi dan mengalami perasaan-perasaan yang sebenarnya. Akhirnya,
pendekatan May yang menekankan komitmen, karena ia percaya bahwa pasien tidak
dapat menerima wawasan sampai mcreka siap untuk mengambil keputusan yang
menentukan orientasi hidupnya.
KESIMPULAN
Psikologi
Eksistensial yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha perilaku manusia
untuk memahami manusia dengan mengatasi jurang pemisah antara subjek dan objek.
Psikologi Eksistensial sangat menekankan implikasi-implikasi falsafah hidup
dalam menghayati makna kehidupan manusia di dunia ini.
Eksistensialis percaya
bahwa psikolog keasyikan dengan keabsahan dan prediktabilitas yang berdiri di
jalan pemahaman yang sebenarnya. Mereka berusaha untuk mempelajari struktur
eksistensi manusia dan untuk melihat kesatuan per anak sebelum setiap
terpecahkan masalahnya menjadi subjek dan objek.
May mendefinisikan
kecemasan sebagai kekhawatiran akan ancaman. Kondisi ini mengalami peningkatan
dalam budaya kontemporer karena adanya isolasi dan alienasi interpersonal
DATAR PUSTAKA
Hidayat
Dede Rahmat. 2011. Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia
Indonesia
[1] Dede Rahmat
Hidayat, Psikologi Kepribadian dalam Konseling, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), hlm. 189.
[2] Ibid.,
hlm. 191.
[3] Ibid.,
hlm. 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar