Tuhan Asingkah Aku?


Tuhan Asingkah Aku?
Bagian 1: Terompet Tahun Baru

Writen: Huzai


“05:00 AM” mata ku menatap tajam kearah sebuah jam dinding, tak ada satu suara di heningnya pagi selain suara jarum jam itu. Rasa dingin membelai sekujur tubuh ku. Perlahan ku turunkan kaki ku dari tempat tidur, lemas dan ngantuk masih melekat pada ku. Sejenak aku terdiam, menghentikan gerakan ku. Pandangan ku  kini terarah ke sudut ruangan, pintu yang terbuka memperlihatkan gelapnya ruang dalam kamar mandi. Meskipun mata ku terbuka, remangnya lampu ruangan  mengurangi pandangan ku melihat ke arah itu. Sejenak ku kembali menggerakkan tubuh ku, kaki ku mulai meraba mencari sendal dibawah tempat tidur. Aku mulai melangkah ke arah kamar mandi itu, selangkah ku melangkah terdengar suara dering handphone di atas ranjang. Kaki ku kembali melangkah ke tempat tidur. Aku pun duduk sejenak di pinggiran kasur untuk membaca pesan masuk itu. ‘Lisa’ mata ku melihat nama pengirim pesan itu, salah seorang teman kuliah ku. “Jangan lupa ya, entar malem. Awas kalo ga ada”. Dalam heningnya suasana aku mulai mengingat tanggal hari ini.  “31 Desember”. Ya, 31 Desember, aku mulai sadar jika hari ini adalah hari penghujung tahun. Ternyata pesta yang dimaksud Lisa adalah pesta perayaan tahun baru. Aku merasa baru saja melewati perayaan ritual itu, ritual yang dilakukan banyak manusia disetiap akhir Desember. Tidak terasa besok adalah awal tahun 2016.
“Umaaam...” panggilan dengan nada keras itu membuat aku terkejut. Ternyata aku ketiduran stelah membaca pesan dari Lisa, mungkin karena memikirkan pesta itu. Aku bergegas bangun untuk mandi dan menghampiri meja makan untuk sarapan pagi, namun hari ini suasana meja makan terasa berbeda dari biasanya. Kini hanya ada aku dan ibu ku saja, mungkin karna aku terlambat bangun sehingga ayah dan adik ku sudah sarapan dan berangkat duluan. Kami hanya tinggal berempat di rumah. Aku mempunyai adik perempuan berusia 16 tahun yang sekarang duduk di bangku kelas 2 SMA. Seperti biasa setelah sarapan pagi aku segera berangkat pergi kuliah. Aku seorang mahasiswa teknik disalah satu perguruan tinggi di daerah ku. Suara keras mesin motor tua selalu mengawali pagi ku, menjadi pertanda bahwa aku akan berangkat pergi. Perlahan aku keluar dari garasi menuju gerbang depan rumah, tercium oleh ku wanginya aroma parfum wanita. “Angel Heart”. Ya Angel Heart, seperti aroma parfum yang sering dipakai oleh ibu ku. Aroma itu sepertinya berasal dari wanita yang mengenakan dress putih dan celana hitam yang sedang berdiri di depan gerbang, ternyata itu memang ibu ku. “pagi gini udah rapi mau kemana bu?” tanya ku. “ibu mau belanja, hari ini lebih awal kan buat persiapan acara nanti malam”. “yauda yok, bareng Umam aja sekalian mau pergi kuliah”. “ga usah, ibuk bareng tante kamu perginya, tu dia udh nongol”. “yaudah Umam pergi duluan ya”. Karna sudh agak terlambat aku langsung bergegas berangkat dengan motor ku. Dalam perjalannan menuju kampus aku memikirkan hal yang tidak sempat aku tanyakan tadi, acara apa yang akan dibuat ibuk?. Ah mungkin perayaan tahun baru, nanti malamkan malam tahun baru. Keluarga ku tidak pernah ketinggalan mengadakan perayaan untuk menyambut tahun baru, biasanya kami membuat acara makan-makan bersama keluarga dan tetangga, yang kebetulan di kompleks perumahan itu hampir seluruhnya keluarga ku semua. Kecuali tetangga sebelah kanan depan rumah ku.
Setiba dikampus aku langsung masuk ke ruang kelas, ternyata mata kuliah telah dimulai 15 menit yang lalu. “komesaris.. sini kamu”. Panggil pak Tohang, ya pak Ardi Sitohang, salah seorang dosen  mata kuliah Pengantar Teknelogi Informasi. Orang asli Medan yang mempunyai ukuran badan lebih besar dari ku, orangnya keras, namun lucu dan ramah. “lambat kali kau datang, banyak kali anak kau rupanya”. Dengan rasa malu aku perlahan masuk ke kelas, semua teman satu ruangan menatap dan menertawai ku. “sudah cepat kau ambil dulu projector sana, sudah mau pulang tadi kami, kau datang tak jadi lah kami pulang, belajarlah kita”. Ujarnya. Ya itulah resiko menjadi seorang komesaris, mempersiapkan keperluan belajar di ruang kelas sudah menjadi tugas harian di kampus. Entah mengapa aku yang terpilih menjadi komesaris diantara 18 orang mahasiswa di kelas itu.
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, ya mungkin karena aku yang terlambat sehingga perkuliahan terasa cepat selesai. Satu-persatu mahasiswa sudah mulai meninggalkan ruangan kelas. Dalam sekejap ruangan sudah kosong, hanya tinggal aku yang sedang merapikan kabel projector, dan seorang lelaki yang sedang cengar-cengir yang sudah lama berdiri di depan pintu. ya, itu Alfajri salah seorang teman ku. Ku rasa ia memang sedang menunggu ku. “Buruan, cepat lah”. “iya, udah ni”. Kami mulai turun dari lantai 3. “nanti malam pergi bareng ya !”. “pergi kemana?” jawab ku. “new year party lah, kyaknya tahun ini lebih meriah deh”. “ke tempatnya Lisa aja Al, sekalian pesta ulang tahunnya nanti malam”. “terserahlah, yang penting happy” .
Dalam perjalanan pulang aku memikirkan anehnya tahun baru. Ya “Tahun Baru” itu selalu menjadi pertanyaan kecil dalam fikiran ku, apa istimewanya malam 31 Desember itu, menjadi moment yang tak pernah terlewatkan oleh kalangan pemuda, bahkan orang tua juga tak kalah ketinggalan. Padahal hanya malam biasa seperti malam-malam lainnya. Ledakan kembang api, tiupan terompet, topi keruncut, itu sudah menjadi ciri khas dan menjadi isyarat akan datangnya malam pergantian tahun. Semua orang berkumpul hanya untuk menantikan waktu tengah malam. Suara terompet dan teriakan mempertandakan waktu telah menunjukkan pukul 00:00 am. Ya “1 Januari”, satu malam yang paling ribut dari 365 hari. Semua orang berantusias dalam menyemarakkan malam 31 Desember, ya termasuk aku. Mungkin berawal dari ikut-ikutan sehingga menjadi kebiasaan.
“20:30 wib”. aku sudah bersiap-siap untuk pergi. Malam ini aku sengaja tidak membawa motor tua ku, karena akan pergi bareng si Al yang sudah menunggu di depan gerbang rumah ku. Malam yang meriah. Ya, sangat meriah. Setiap halaman rumah di kompleks ini menyalakan api, termasuk rumah ku. Bakar ayam, ikan, kambing, sudah mentradisi di malam tahun baru. Kecuali tetangga sebelah kanan depan rumah. Ya, hanya rumah itu yang terlihat sepi, suasana rumah yang berbeda dari rumah yang lain. Tak pernah ada kembang api, apa lagi bakar ayam di malam tahun baru. Hanya terdengar suara orang mengaji dari dalam. Entah bagi ku, suara itu kesannya seperti ada kematian. Aku segera berangkat pergi ke tempat tujuan ku malam ini. Seperti tahun sebelumnya, sepanjang lalulintas terlihat ramai. Tua, muda, dewasa, remaja bahkan anak-anak semua orang keluar untuk menyaksikan pesta tahun baru.
Semua teman-teman ku sudah berkumpul. Aku dan Al berencana mengahdiri pesta di rumah Lisa hanya sampai pukul 23:30 saja. Kami selanjutnya berencana menghabiskan sisa malam tahun baru untuk prayaan yang diadakan di kota. Tak terasa waktu sudah hampir tengah malam. Tidak seperti rencana, malam ini aku merasa begitu lelah. Mungkin karna seharian ini aku kurang istirahat. Aku berniat untuk pulang, namun Al mengajak ku meninggalkan pesta.
Suara keras kenalpot motor menambah ricuh suasana malam ini. Waktu semakin larut malam, namun suasana kota semakin ramai. Kini kami menepi ke sebuah kedai di persimpangan jalan untuk membeli rokok. Rasa ngantuk semakin kuat, aku mengambil kesempatan ini untuk menghilangkan rasa lelah ku. Aku duduk di kursi depan kedai itu. Kini pandanagan ku mengarah pada anak yang sedang menemani ayahnya berjualan. Duduk tenang dengan tatapan mengarah kepada orang yang melintas melewati jalan itu. Pandangannya tidak tertuju pada orang yang sedang melintasi jalan. Pandangannya hanya mengikuti setiap orang yang membawa terompet dan topi kerucut. Ya, mungkin topi dan terompet itu yang menarik perhatiannya. Sekali-kali ia menundukkan pandangannya saat pelintas jalan menatap balik kearahnya. Hal itu terjadi berulang-ulang. Diam-diam ternyata sang ayah memperhatikannya. Setelah selesai melayani pembeli sang ayah menghamirinya. “anak ayah kok masih disini, Umam belum nagntuk?”. Anak itu bernama umam, ternyata banyak juga orang yang memiliki nama seperti ku. “belum Abi”, anak itu tersenyum sambil mengoyangkan kakinya. “Kita masuk yuk”. “Nanti dulu Abi”. Anak itu masi menikmati suasana malam itu. Sang ayah hanya tersenyum dan ikut duduk menemani anaknya. Kini matanya kembali tertuju kepada pengguna jalan. Kini tidak lagi pemakai topi kerucut dan terompet yang ia lihat. Pandangannya mengarah pada penjual topi dan terompet yang sedang melintasi jalan itu. “Umam mau terompet ya?” sang ayah bertanya sambil mengelus kepala anaknya. “tidak Abi, kata Umi itu bukan untuk kita Abi”. Dengan polos anak itu menjawab tawaran ayahnya. Ayahnya hanya tersenyum kembali dan merangkul anaknya. “Ma’afkan ayah ya nak, jika ayah tidak membelikan mu terompet. Mungkin orang akan bersenag-senang dengan terompet. Tapi kita harus tau jika terompet itu akan menjadikan kita sama dengan orang-orang kafir. Jangan pernah malu ya nak, jika kamu tidak sama dan terlihat asing dengan mereka. Sesungguhnya Islam itu muncul dalam keadaan asing. Dan di akhir zaman akan menjadi asing pula”. “iya Abi”, jawab anak itu.
Pembicaraan ayah dan anak itu seakan menampar keras batin ku. Rasa malu dan bersalah tiba-tiba muncul dalam benak ku. Aku tak pernah memikirkan apa yang pernah aku lakukan setiap tahun. Mungkin karna melihat banyak orang yang merayakannya hingga aku juga ikut merayakannya, tanpa mempedulikan ada apa dibalik hari itu.
“oy.. Malah bengong lagi, yok lah cabut kita”. Suara si Al mengejutkan ku. Kini kami melanjutkan perjalanan. Rasa kantuk yang amat tadinya kurasakan, kini sudah hilang entah kemana. Kini pikiran ku terus dirasuki perkataan si bapak dan anak itu tadi. Kamipun akhirnya tiba di alun-alun kota. Malam ini banyak manusia yang berkumpul merayakan malam tahun baru. Ledakan kembang api mewarnai langit malam ini. Ditambah lagi meriahnya kongser musik band yang menyemarakkan malam ini. “Itukan bukan punya kita Abi...Jangan malu jika kamu tidak sama dengan orang lain..” lagi-lagi kata-kata itu berbisik di telinga ku. Aku tak mengerti mengapa aku terus terbayang perkataan si Umam kecil. Aku merasa dalam kepala ku seakan-akan ada sound player yang terus memperdengarkan suara si Umam kecil. Kini waktu menunjukkan pukul 23:55. 5 menit lagi orang-orang yang ada di sini, masing-masing akan meniup terompetnya. Namun yang kurasakan sekarang aku mulai mengantuk kembali. Aku berusaha menemukan si Al, entah kemana perginya anak itu. Kepalaku pun semakin pusing, aku memutuskan untuk meninggalkan suasana ricuh itu dan mencari angkutan untuk pulang. ‘apa ada angkutan jam segini, malah malam tahun baru lagi’ pikir ku. Dari pada semakin bingung mencari Alfajri, aku mulai berjalan kaki meninggalkan tempat itu, dengan harapan ada angkutan yang satu arah dengan ku.
Setelah 10 menit berjalan kaki, akhirnya ada angkutan umum yang lewat dan menepi. ‘Untung masih ada angkutan jam segini’ pikir ku. “BL 5799 UB” sempat ku melihat nomor plat kendaraan itu. Tanpa peduli aku langsung masuk dan duduk di sebelah wanita, mungkin dia berusia 25 tahun. Akhirnya aku bisa tenang bersandar di bangku mobil angkutan merasakan badan ku yang pegel semua. “Kata Umi itu bukan untuk kita Abi.. tdiak apa-apa Abii..... Abiii..” suara si Umam kecil kembali mengejutkan ku. Kini aku terpaku memandang seluruh dalam mobil. “Kemana semua orang, kok tiba-tiba aku tinggal sendiri” pikir ku aneh. Aku berusaha bangun dari tempat duduk. Tapi usaha ku nihil. Kaki ku terasa berat sekali untuk digerakkan. Aku memandang kearah luar jendela. Sunyi. Tak ada seorang manusiapun yang kulihat. Aku tak tahu kemana semua orang dalam mobil ini pergi. Bahkan sopir mobil ini pun entah kemana. Aku mengenali jalan ini, tiang listrik dengan lampu remang itu adalah jalan menuju rumah ku. Ternyata mobil ini sudah menepi di sebrang jalan depan gang kompleks perumahan ku. Aku kembali berusaha menggerakkan kakiku, amat sulit untuk diangkat. Aku berusaha bangun dengan memegang head rest, akhirnya aku dapat berdiri. Aku terjatuh saat mengankan kaki kiri ku untuk berjalan. “Itu bukan untuk kita Abi..” suara itu muncul kembali. Kini suara itu semakin jelas ku dengar. “Abi..”. ya, suara itu sangat dekat. Seakan suara itu bersumber dari pintu depan mobil. Aku berusaha berdiri. Tapi badan ku sangat berat sekali untuk digerakkan. Kini tangan ku mulai bergetaran. Aku mulai memaksakan diri untuk berdiri. “Gbreek” bunyi keras muncul dari belakang mobil. Suara itu seperti suara pintu mobil yang dibanting. Aku mulai takut dengan situasi ini. Akhirnya aku dapat eluar dari mobil aneh ini, setelah bersusah payah untuk keluar. Aku berlari menjauhi mobil aneh itu, ya aneh. ‘Mobil berhantu’ itu kata yang tepat untuk menamakan mobil itu. Aku berhenti sejenak melihat mobil itu dari kejauhan. Tak ada orang yang memainkan pintu, atau anak kecil di depannya. Tubuh ku semakin merinding. Aku melanjutkan langkah kaki ku untuk pulang kerumah. Rumah ku sudah tidak jauh lagi dari jalan ini, mungkin sekitar 50 M lagi.
Langkah demi langkah aku melewati jalan kompleks perumahan. Tidak hanya di jalan, bahkan gang ini pun juga terlihat sepi. Aneh pikir ku, biasanya selalu ramai pemuda yang bermain gitar, tapi malam ini tak ada satu orangpun yang terlihat di gang ini. “Tidak apa-apa Abi”, suara itu kembali lagi, aku mulai risih dengan suara yang terus mengikuti ku. Aku mempercepat langkah ku agar cepat sampai ke rumah. Dari kejauhan aku sudah dapat melihat rumah ku, akhirnya aku dapat kembali melihat orang ramai. Ya, depan rumah ku terlihat ramai. ‘Mungkin semua orang di kompleks ini berkumpul dirumah ku untuk merayakan malam tahun baru’, pikir ku. Aku mulai melangkah dengan tenang, kini aku sudah hampir sampai. Tidak ada panggangan api yang menyala, tidak ada kembang api atau terompet yang aku lihat. Mereka hanya berdiri di halaman rumah ku. “kok mereka berdiri diam gitu saja ya, apa ayam bakarnya kehabisan” pikir ku. Kini aku sudah sampai di depan gerbang. Tak ada suara terompet atau ledakan yang ku dengar, kali ini aku mendengar orang mengaji. Suara itu bersumber dari dalam rumah ku. Banyak hal yang membuat aku heran malam ini. Bukankah malam ini dirumah ku sedang merayakan malam tahun baru. Apa mereka punya cara baru untuk merayakan malam tahun baru, tidak lagi dengan terompet, tapi dengan doa dan mengaji. Bagus juga pikir ku ada orang mengaji, tapi kesannya seperti ada kematian. Aku semakin penasaran dengan suara yang jarang ku dengar di rumah ku. Aku segera masuk dan menutup gerbang, kini tidak hanya suara orang mengaji, aku mulai mendengar suara isak tangis. ‘siapa yang menangis’ pikir ku. Aku terus berjalan menuju pintu masuk rumah ku, aku sempat menyapa orang-orang yang ada di halaman rumah ku, tetapi semua yang ku sapa terlihat acuh pada ku. Mungkin mereka asik mengobrol. Tanpa memperdulikannya aku langsung masuk kerumah. Aku terkejut melihat si Al ada di rumah ku. ‘Pantesan aku tidak menemukannya di keramaian kota, ternyata dia yang meninggalkan aku di sana. Cepat juga dia sampai kemari’ pikir ku. Aku melihat adik ku sedang berjalan cepat dari luar masuk ke rumah. “ada apa sih Ra? Kok pada ramai” tanya ku. Namun dia juga acuh pada ku, dia terus berjalan tanpa menjawab sepatah katapun pertanyaan ku. Bahkan tidak menatap ku. “ni anak ga ada sopannya sih, ditanyain juga..” kata ku. Aku mengampiri si Al yang lagi termenung duduk di kursi. “oy songong, hebat kali kau ya, ninggalin aku segala lagi”.. “oooy, denger ga sih”. “kuping lu abis kena petasan ya?”. “yee, malah bengong lagi, mirip orang bego lo kalo gitu songong”. Aku mulai kesal dengan situasi malam ini, semua orang pada abaikan aku. Belum puas dengan kejadian aneh yang ku alami di luar, malah ditambah dengan tingkah orang-orang yang pada aneh di rumah ini. Adik ku kembali mendatangi aku, “ada apa sih” tanya ku. “kok bisa bang, gimana kejadiannya? Bukannya tadi dia pergi sama abang?” tanya adik ku gak nyambung dengan tangisannya. “bisa apanya sih, pergi siapa apanya coba?” kata ku agak keras. “abang juga gak tau dek, tadi abang cariin dia di sana, abang gak tau kalo dia pulang duluan”, perkataan si Al semakin membuat aku bingung. Mereka semakin membuat aku kesal, aku langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Aku mencari ibu ku. Ternyata dia ada di kamar ku. Aku terkejut, kamar ku dipenuhi orang yang sedang mengaji. Dari luar pintu kamar aku melihat orang tidur yang ditutupi selendang dan kain putih. Aku sudah tidak tahan dengan semua yang ku alami malam ini. Rasanya inging ku teriak sekeras mungkin di rumah ini. Ada apa lagi ini. Mengapa semuanya tidak ada yang mendengarkan aku. Aku perlahan masuk dan menghampiri ibu ku yang duduk di samping pemuda yang tidur itu. “Siapa itu” kata ku. Perlahan aku mendekat, betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah di balik kain selendang itu. Wajah itu seperti diri ku, siapa dia. Apakah itu aku. Aku menangis karena tidak tahan dengan kebingungan yang kurasakan. Aku menatap lama ke arah pemuda itu, “apakah itu aku, kenapa dengan dia, mengapa kepalanya berdarah. Apakah itu aku”. Aku terus mempertanyakan itu.
Perlahan aku meninggalkan kamar. “Umaam....” suara lembut ibu memanggil ku. Kembali aku menoleh ke belakang. Ibu ku terus memanggil nama ku sembari memegang pemuda itu. Aku lemas dan berlutut menyaksikan semua itu, aku mulai yakin bahwa pemuda itu memang aku. Aku tak mengerti dengan semua ini. Aku tak tau apa yang telah terjadi pada ku. Aku hanya bisa menangis menyaksikan semua ini.
“Oooy Umam, tidur ko. Jatoh nanti kita ini”. Teriakan si Al mengejutkan ku, aku menoleh kiri dan kanan. Ternyata aku masih di atas motor bersama si Al. “untung cuma mimpi”. Kata ku dalam hati. Aku tak mengerti apa yang telah aku mimpikan. Meskipun di atas motor, mimpi itu sukses membuat aku berkeringat. “anget dah, orang malam tahun baru pada dipeluk cewek. Ni aku malah Umam yang peluk, pakek ngiler lagi” ocehan si Al. “bacrit lo Al. Balik yok balik, ngantuk gua”. Pinta ku untuk pulang. Aku merasa sangat tidak nyaman malam ini. “jadi gini doang ni, cuman muter-muter? Payah lo Mam..” “udaah, yok ah. Nagntuk ni gua”. Aku memaksa si Al untuk pulang. Akhirnya kami putar arah untuk pulang, dalam hening suasana aku terus memikirkan apa yang telah aku mimpikan tadi. Aku mengingat apa yang telah aku lakukan hari ini, entah kesalahan apa yang aku lakukan sehingga aku ditimpa mimpi buruk.
Kini kami melewati jalan yang sama sperti saat pergi tadi. Al memperlambat jalan motornya, di depan kami terlihat banyak orang yang sedang berkrumun di persimpangan jalan. “ada kecelakaan ya tu?” tanya ku. “iya tu mungkin”. Ketika sudah sangat dekat aku mengingat tempat ini. Ya, tempat kami berhenti untuk membeli rokok beberapa jam yang lalu. “umaaam, umam”, teriak bapak yang memiliki kedai itu. Sebuah mobil angkutan hilang kendali dan menabrak bagian depan kedai itu dan mengenai anaknya. Aku ingat anak itu. Ya, anak itu yang ada dalam mimpi ku. Aku menyaksikan kejadian itu dengan sangat prihatin. Darah terus mengalir di bagian kepala anak itu. “umam, umam” teriak orang tuanya. “loh, kau tu Mam dipanggilnya” oceh si Al. “namanya sama bego”. Jawab ku kesel. Kami perlahan melewati keramaian itu, “BL 5799 UB” sepintas aku melihat nomor plat kendaraan itu. Sepertinya aku pernah mengingat nomor itu. Nomor yang sama dengan mimpi aneh ku. Kejadian malam ini sangat membuat ku takut. Aku terus mengingat kata-kata yang pernah diucapkan si Umam kecil dan bapaknya.
Aku akhirnya sampai depan gerbang rumah, acara bakar-bakar ayam ternyata belum berakhir. “ga nginap di sini saja Al?” “gak lah Mam, lain kali aja, aku pulang ya”. “ok, terimakasih”. Aku langsung berjalan menuju rumah ku. “bang, mau kemana, gak mau ikutan?” sapa Mura, adik ku. “gak. Abang mau tidur, udah ngantuk”.
Sesampai di kamar, aku merenungkan apa yang sudah aku alami malam ini, aku tak mengerti atas apa yang telah aku mimpikan, aku tak tau mengapa aku mengalaminya. Aku mencoba mengingat kesalahan apa yang telah aku perbuat. Mungkinkah karena dosa ku selama ini. Aku mencoba berwudhu untuk shalat malam, aku berharap agar bisa lepas dari kegelisahan. Usai shalat aku merasa ada yang sedang melihat ku diam-diam di balik pintu kamar yang berada di belakang ku. Ya, dia Mura adik ku. Mungkin dia melihat suatu hal yang tak biasa di lihatnya. Begitu juga dengan ku, suatu hal yang tak biasa ku alami malam ini.


“Kata umi itu bukan untuk kita abi...”

tobe continued....


Tidak ada komentar: