Tuhan Asingkah Aku?
Bagian 1: Terompet Tahun Baru
Writen: Huzai
“05:00 AM” mata ku menatap tajam kearah sebuah
jam dinding, tak ada satu suara di heningnya pagi selain suara jarum jam itu. Rasa
dingin membelai sekujur tubuh ku. Perlahan ku turunkan kaki ku dari tempat
tidur, lemas dan ngantuk masih melekat pada ku. Sejenak aku terdiam,
menghentikan gerakan ku. Pandangan ku kini
terarah ke sudut ruangan, pintu yang terbuka memperlihatkan gelapnya ruang
dalam kamar mandi. Meskipun mata ku terbuka, remangnya lampu ruangan mengurangi pandangan ku melihat ke arah itu.
Sejenak ku kembali menggerakkan tubuh ku, kaki ku mulai meraba mencari sendal
dibawah tempat tidur. Aku mulai melangkah ke arah kamar mandi itu, selangkah ku
melangkah terdengar suara dering handphone di atas ranjang. Kaki ku kembali
melangkah ke tempat tidur. Aku pun duduk sejenak di pinggiran kasur untuk
membaca pesan masuk itu. ‘Lisa’ mata ku melihat nama pengirim pesan itu, salah
seorang teman kuliah ku. “Jangan lupa ya, entar malem. Awas kalo ga ada”. Dalam
heningnya suasana aku mulai mengingat tanggal hari ini. “31 Desember”. Ya, 31 Desember, aku mulai
sadar jika hari ini adalah hari penghujung tahun. Ternyata pesta yang dimaksud
Lisa adalah pesta perayaan tahun baru. Aku merasa baru saja melewati perayaan
ritual itu, ritual yang dilakukan banyak manusia disetiap akhir Desember. Tidak
terasa besok adalah awal tahun 2016.
“Umaaam...” panggilan dengan nada keras itu
membuat aku terkejut. Ternyata aku ketiduran stelah membaca pesan dari Lisa,
mungkin karena memikirkan pesta itu. Aku bergegas bangun untuk mandi dan
menghampiri meja makan untuk sarapan pagi, namun hari ini suasana meja makan
terasa berbeda dari biasanya. Kini hanya ada aku dan ibu ku saja, mungkin karna
aku terlambat bangun sehingga ayah dan adik ku sudah sarapan dan berangkat
duluan. Kami hanya tinggal berempat di rumah. Aku mempunyai adik perempuan
berusia 16 tahun yang sekarang duduk di bangku kelas 2 SMA. Seperti biasa
setelah sarapan pagi aku segera berangkat pergi kuliah. Aku seorang mahasiswa
teknik disalah satu perguruan tinggi di daerah ku. Suara keras mesin motor tua selalu
mengawali pagi ku, menjadi pertanda bahwa aku akan berangkat pergi. Perlahan
aku keluar dari garasi menuju gerbang depan rumah, tercium oleh ku wanginya
aroma parfum wanita. “Angel Heart”. Ya Angel Heart, seperti aroma parfum yang
sering dipakai oleh ibu ku. Aroma itu sepertinya berasal dari wanita yang mengenakan
dress putih dan celana hitam yang sedang berdiri di depan gerbang, ternyata itu
memang ibu ku. “pagi gini udah rapi mau kemana bu?” tanya ku. “ibu mau belanja,
hari ini lebih awal kan buat persiapan acara nanti malam”. “yauda yok, bareng
Umam aja sekalian mau pergi kuliah”. “ga usah, ibuk bareng tante kamu perginya,
tu dia udh nongol”. “yaudah Umam pergi duluan ya”. Karna sudh agak terlambat
aku langsung bergegas berangkat dengan motor ku. Dalam perjalannan menuju
kampus aku memikirkan hal yang tidak sempat aku tanyakan tadi, acara apa yang
akan dibuat ibuk?. Ah mungkin perayaan tahun baru, nanti malamkan malam tahun
baru. Keluarga ku tidak pernah ketinggalan mengadakan perayaan untuk menyambut
tahun baru, biasanya kami membuat acara makan-makan bersama keluarga dan
tetangga, yang kebetulan di kompleks perumahan itu hampir seluruhnya keluarga
ku semua. Kecuali tetangga sebelah kanan depan rumah ku.
Setiba dikampus aku langsung masuk ke ruang
kelas, ternyata mata kuliah telah dimulai 15 menit yang lalu. “komesaris.. sini
kamu”. Panggil pak Tohang, ya pak Ardi Sitohang, salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Teknelogi Informasi.
Orang asli Medan yang mempunyai ukuran badan lebih besar dari ku, orangnya
keras, namun lucu dan ramah. “lambat kali kau datang, banyak kali anak kau
rupanya”. Dengan rasa malu aku perlahan masuk ke kelas, semua teman satu
ruangan menatap dan menertawai ku. “sudah cepat kau ambil dulu projector sana,
sudah mau pulang tadi kami, kau datang tak jadi lah kami pulang, belajarlah
kita”. Ujarnya. Ya itulah resiko menjadi seorang komesaris, mempersiapkan keperluan
belajar di ruang kelas sudah menjadi tugas harian di kampus. Entah mengapa aku yang
terpilih menjadi komesaris diantara 18 orang mahasiswa di kelas itu.
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat,
ya mungkin karena aku yang terlambat sehingga perkuliahan terasa cepat selesai.
Satu-persatu mahasiswa sudah mulai meninggalkan ruangan kelas. Dalam sekejap
ruangan sudah kosong, hanya tinggal aku yang sedang merapikan kabel projector,
dan seorang lelaki yang sedang cengar-cengir yang sudah lama berdiri di depan
pintu. ya, itu Alfajri salah seorang teman ku. Ku rasa ia memang sedang
menunggu ku. “Buruan, cepat lah”. “iya, udah ni”. Kami mulai turun dari lantai
3. “nanti malam pergi bareng ya !”. “pergi kemana?” jawab ku. “new year party
lah, kyaknya tahun ini lebih meriah deh”. “ke tempatnya Lisa aja Al, sekalian
pesta ulang tahunnya nanti malam”. “terserahlah, yang penting happy” .
Dalam perjalanan pulang aku memikirkan
anehnya tahun baru. Ya “Tahun Baru” itu selalu menjadi pertanyaan kecil dalam
fikiran ku, apa istimewanya malam 31 Desember itu, menjadi moment yang tak
pernah terlewatkan oleh kalangan pemuda, bahkan orang tua juga tak kalah
ketinggalan. Padahal hanya malam biasa seperti malam-malam lainnya. Ledakan
kembang api, tiupan terompet, topi keruncut, itu sudah menjadi ciri khas dan
menjadi isyarat akan datangnya malam pergantian tahun. Semua orang berkumpul
hanya untuk menantikan waktu tengah malam. Suara terompet dan teriakan
mempertandakan waktu telah menunjukkan pukul 00:00 am. Ya “1 Januari”, satu malam
yang paling ribut dari 365 hari. Semua orang berantusias dalam menyemarakkan
malam 31 Desember, ya termasuk aku. Mungkin berawal dari ikut-ikutan sehingga
menjadi kebiasaan.
“20:30 wib”. aku sudah bersiap-siap untuk
pergi. Malam ini aku sengaja tidak membawa motor tua ku, karena akan pergi
bareng si Al yang sudah menunggu di depan gerbang rumah ku. Malam yang meriah.
Ya, sangat meriah. Setiap halaman rumah di kompleks ini menyalakan api, termasuk
rumah ku. Bakar ayam, ikan, kambing, sudah mentradisi di malam tahun baru.
Kecuali tetangga sebelah kanan depan rumah. Ya, hanya rumah itu yang terlihat
sepi, suasana rumah yang berbeda dari rumah yang lain. Tak pernah ada kembang
api, apa lagi bakar ayam di malam tahun baru. Hanya terdengar suara orang
mengaji dari dalam. Entah bagi ku, suara itu kesannya seperti ada kematian. Aku
segera berangkat pergi ke tempat tujuan ku malam ini. Seperti tahun sebelumnya,
sepanjang lalulintas terlihat ramai. Tua, muda, dewasa, remaja bahkan anak-anak
semua orang keluar untuk menyaksikan pesta tahun baru.
Semua teman-teman ku sudah berkumpul. Aku
dan Al berencana mengahdiri pesta di rumah Lisa hanya sampai pukul 23:30 saja.
Kami selanjutnya berencana menghabiskan sisa malam tahun baru untuk prayaan
yang diadakan di kota. Tak terasa waktu sudah hampir tengah malam. Tidak seperti
rencana, malam ini aku merasa begitu lelah. Mungkin karna seharian ini aku
kurang istirahat. Aku berniat untuk pulang, namun Al mengajak ku meninggalkan
pesta.
Suara keras kenalpot motor menambah ricuh
suasana malam ini. Waktu semakin larut malam, namun suasana kota semakin ramai.
Kini kami menepi ke sebuah kedai di persimpangan jalan untuk membeli rokok. Rasa
ngantuk semakin kuat, aku mengambil kesempatan ini untuk menghilangkan rasa
lelah ku. Aku duduk di kursi depan kedai itu. Kini pandanagan ku mengarah pada
anak yang sedang menemani ayahnya berjualan. Duduk tenang dengan tatapan
mengarah kepada orang yang melintas melewati jalan itu. Pandangannya tidak
tertuju pada orang yang sedang melintasi jalan. Pandangannya hanya mengikuti
setiap orang yang membawa terompet dan topi kerucut. Ya, mungkin topi dan
terompet itu yang menarik perhatiannya. Sekali-kali ia menundukkan pandangannya
saat pelintas jalan menatap balik kearahnya. Hal itu terjadi berulang-ulang.
Diam-diam ternyata sang ayah memperhatikannya. Setelah selesai melayani pembeli
sang ayah menghamirinya. “anak ayah kok masih disini, Umam belum nagntuk?”. Anak
itu bernama umam, ternyata banyak juga orang yang memiliki nama seperti ku.
“belum Abi”, anak itu tersenyum sambil mengoyangkan kakinya. “Kita masuk yuk”.
“Nanti dulu Abi”. Anak itu masi menikmati suasana malam itu. Sang ayah hanya
tersenyum dan ikut duduk menemani anaknya. Kini matanya kembali tertuju kepada
pengguna jalan. Kini tidak lagi pemakai topi kerucut dan terompet yang ia
lihat. Pandangannya mengarah pada penjual topi dan terompet yang sedang
melintasi jalan itu. “Umam mau terompet ya?” sang ayah bertanya sambil mengelus
kepala anaknya. “tidak Abi, kata Umi itu bukan untuk kita Abi”. Dengan polos
anak itu menjawab tawaran ayahnya. Ayahnya hanya tersenyum kembali dan
merangkul anaknya. “Ma’afkan ayah ya nak, jika ayah tidak membelikan mu
terompet. Mungkin orang akan bersenag-senang dengan terompet. Tapi kita harus
tau jika terompet itu akan menjadikan kita sama dengan orang-orang kafir.
Jangan pernah malu ya nak, jika kamu tidak sama dan terlihat asing dengan mereka.
Sesungguhnya Islam itu muncul dalam keadaan asing. Dan di akhir zaman akan
menjadi asing pula”. “iya Abi”, jawab anak itu.
Pembicaraan ayah dan anak itu seakan
menampar keras batin ku. Rasa malu dan bersalah tiba-tiba muncul dalam benak
ku. Aku tak pernah memikirkan apa yang pernah aku lakukan setiap tahun. Mungkin
karna melihat banyak orang yang merayakannya hingga aku juga ikut merayakannya,
tanpa mempedulikan ada apa dibalik hari itu.
“oy.. Malah bengong lagi, yok lah cabut
kita”. Suara si Al mengejutkan ku. Kini kami melanjutkan perjalanan. Rasa
kantuk yang amat tadinya kurasakan, kini sudah hilang entah kemana. Kini
pikiran ku terus dirasuki perkataan si bapak dan anak itu tadi. Kamipun
akhirnya tiba di alun-alun kota. Malam ini banyak manusia yang berkumpul
merayakan malam tahun baru. Ledakan kembang api mewarnai langit malam ini.
Ditambah lagi meriahnya kongser musik band yang menyemarakkan malam ini. “Itukan
bukan punya kita Abi...Jangan malu jika kamu tidak sama dengan orang lain..”
lagi-lagi kata-kata itu berbisik di telinga ku. Aku tak mengerti mengapa aku
terus terbayang perkataan si Umam kecil. Aku merasa dalam kepala ku seakan-akan
ada sound player yang terus memperdengarkan suara si Umam kecil. Kini waktu
menunjukkan pukul 23:55. 5 menit lagi orang-orang yang ada di sini,
masing-masing akan meniup terompetnya. Namun yang kurasakan sekarang aku mulai
mengantuk kembali. Aku berusaha menemukan si Al, entah kemana perginya anak
itu. Kepalaku pun semakin pusing, aku memutuskan untuk meninggalkan suasana
ricuh itu dan mencari angkutan untuk pulang. ‘apa ada angkutan jam segini,
malah malam tahun baru lagi’ pikir ku. Dari pada semakin bingung mencari
Alfajri, aku mulai berjalan kaki meninggalkan tempat itu, dengan harapan ada
angkutan yang satu arah dengan ku.
Setelah 10 menit berjalan kaki, akhirnya
ada angkutan umum yang lewat dan menepi. ‘Untung masih ada angkutan jam segini’
pikir ku. “BL 5799 UB” sempat ku melihat nomor plat kendaraan itu. Tanpa peduli
aku langsung masuk dan duduk di sebelah wanita, mungkin dia berusia 25 tahun.
Akhirnya aku bisa tenang bersandar di bangku mobil angkutan merasakan badan ku
yang pegel semua. “Kata Umi itu bukan untuk kita Abi.. tdiak apa-apa Abii.....
Abiii..” suara si Umam kecil kembali mengejutkan ku. Kini aku terpaku memandang
seluruh dalam mobil. “Kemana semua orang, kok tiba-tiba aku tinggal sendiri”
pikir ku aneh. Aku berusaha bangun dari tempat duduk. Tapi usaha ku nihil. Kaki
ku terasa berat sekali untuk digerakkan. Aku memandang kearah luar jendela.
Sunyi. Tak ada seorang manusiapun yang kulihat. Aku tak tahu kemana semua orang
dalam mobil ini pergi. Bahkan sopir mobil ini pun entah kemana. Aku mengenali
jalan ini, tiang listrik dengan lampu remang itu adalah jalan menuju rumah ku.
Ternyata mobil ini sudah menepi di sebrang jalan depan gang kompleks perumahan
ku. Aku kembali berusaha menggerakkan kakiku, amat sulit untuk diangkat. Aku
berusaha bangun dengan memegang head rest, akhirnya aku dapat berdiri. Aku
terjatuh saat mengankan kaki kiri ku untuk berjalan. “Itu bukan untuk kita
Abi..” suara itu muncul kembali. Kini suara itu semakin jelas ku dengar.
“Abi..”. ya, suara itu sangat dekat. Seakan suara itu bersumber dari pintu
depan mobil. Aku berusaha berdiri. Tapi badan ku sangat berat sekali untuk
digerakkan. Kini tangan ku mulai bergetaran. Aku mulai memaksakan diri untuk
berdiri. “Gbreek” bunyi keras muncul dari belakang mobil. Suara itu seperti
suara pintu mobil yang dibanting. Aku mulai takut dengan situasi ini. Akhirnya
aku dapat eluar dari mobil aneh ini, setelah bersusah payah untuk keluar. Aku
berlari menjauhi mobil aneh itu, ya aneh. ‘Mobil berhantu’ itu kata yang tepat
untuk menamakan mobil itu. Aku berhenti sejenak melihat mobil itu dari
kejauhan. Tak ada orang yang memainkan pintu, atau anak kecil di depannya.
Tubuh ku semakin merinding. Aku melanjutkan langkah kaki ku untuk pulang
kerumah. Rumah ku sudah tidak jauh lagi dari jalan ini, mungkin sekitar 50 M
lagi.
Langkah demi langkah aku melewati jalan
kompleks perumahan. Tidak hanya di jalan, bahkan gang ini pun juga terlihat
sepi. Aneh pikir ku, biasanya selalu ramai pemuda yang bermain gitar, tapi
malam ini tak ada satu orangpun yang terlihat di gang ini. “Tidak apa-apa Abi”,
suara itu kembali lagi, aku mulai risih dengan suara yang terus mengikuti ku.
Aku mempercepat langkah ku agar cepat sampai ke rumah. Dari kejauhan aku sudah
dapat melihat rumah ku, akhirnya aku dapat kembali melihat orang ramai. Ya,
depan rumah ku terlihat ramai. ‘Mungkin semua orang di kompleks ini berkumpul
dirumah ku untuk merayakan malam tahun baru’, pikir ku. Aku mulai melangkah
dengan tenang, kini aku sudah hampir sampai. Tidak ada panggangan api yang
menyala, tidak ada kembang api atau terompet yang aku lihat. Mereka hanya
berdiri di halaman rumah ku. “kok mereka berdiri diam gitu saja ya, apa ayam
bakarnya kehabisan” pikir ku. Kini aku sudah sampai di depan gerbang. Tak ada
suara terompet atau ledakan yang ku dengar, kali ini aku mendengar orang
mengaji. Suara itu bersumber dari dalam rumah ku. Banyak hal yang membuat aku
heran malam ini. Bukankah malam ini dirumah ku sedang merayakan malam tahun
baru. Apa mereka punya cara baru untuk merayakan malam tahun baru, tidak lagi
dengan terompet, tapi dengan doa dan mengaji. Bagus juga pikir ku ada orang
mengaji, tapi kesannya seperti ada kematian. Aku semakin penasaran dengan suara
yang jarang ku dengar di rumah ku. Aku segera masuk dan menutup gerbang, kini
tidak hanya suara orang mengaji, aku mulai mendengar suara isak tangis. ‘siapa
yang menangis’ pikir ku. Aku terus berjalan menuju pintu masuk rumah ku, aku
sempat menyapa orang-orang yang ada di halaman rumah ku, tetapi semua yang ku
sapa terlihat acuh pada ku. Mungkin mereka asik mengobrol. Tanpa
memperdulikannya aku langsung masuk kerumah. Aku terkejut melihat si Al ada di
rumah ku. ‘Pantesan aku tidak menemukannya di keramaian kota, ternyata dia yang
meninggalkan aku di sana. Cepat juga dia sampai kemari’ pikir ku. Aku melihat
adik ku sedang berjalan cepat dari luar masuk ke rumah. “ada apa sih Ra? Kok
pada ramai” tanya ku. Namun dia juga acuh pada ku, dia terus berjalan tanpa
menjawab sepatah katapun pertanyaan ku. Bahkan tidak menatap ku. “ni anak ga
ada sopannya sih, ditanyain juga..” kata ku. Aku mengampiri si Al yang lagi
termenung duduk di kursi. “oy songong, hebat kali kau ya, ninggalin aku segala
lagi”.. “oooy, denger ga sih”. “kuping lu abis kena petasan ya?”. “yee, malah
bengong lagi, mirip orang bego lo kalo gitu songong”. Aku mulai kesal dengan
situasi malam ini, semua orang pada abaikan aku. Belum puas dengan kejadian
aneh yang ku alami di luar, malah ditambah dengan tingkah orang-orang yang pada
aneh di rumah ini. Adik ku kembali mendatangi aku, “ada apa sih” tanya ku. “kok
bisa bang, gimana kejadiannya? Bukannya tadi dia pergi sama abang?” tanya adik
ku gak nyambung dengan tangisannya. “bisa apanya sih, pergi siapa apanya coba?”
kata ku agak keras. “abang juga gak tau dek, tadi abang cariin dia di sana,
abang gak tau kalo dia pulang duluan”, perkataan si Al semakin membuat aku
bingung. Mereka semakin membuat aku kesal, aku langsung pergi meninggalkan
mereka berdua. Aku mencari ibu ku. Ternyata dia ada di kamar ku. Aku terkejut,
kamar ku dipenuhi orang yang sedang mengaji. Dari luar pintu kamar aku melihat
orang tidur yang ditutupi selendang dan kain putih. Aku sudah tidak tahan
dengan semua yang ku alami malam ini. Rasanya inging ku teriak sekeras mungkin
di rumah ini. Ada apa lagi ini. Mengapa semuanya tidak ada yang mendengarkan
aku. Aku perlahan masuk dan menghampiri ibu ku yang duduk di samping pemuda
yang tidur itu. “Siapa itu” kata ku. Perlahan aku mendekat, betapa terkejutnya
aku ketika melihat wajah di balik kain selendang itu. Wajah itu seperti diri
ku, siapa dia. Apakah itu aku. Aku menangis karena tidak tahan dengan
kebingungan yang kurasakan. Aku menatap lama ke arah pemuda itu, “apakah itu
aku, kenapa dengan dia, mengapa kepalanya berdarah. Apakah itu aku”. Aku terus
mempertanyakan itu.
Perlahan aku meninggalkan kamar.
“Umaam....” suara lembut ibu memanggil ku. Kembali aku menoleh ke belakang. Ibu
ku terus memanggil nama ku sembari memegang pemuda itu. Aku lemas dan berlutut
menyaksikan semua itu, aku mulai yakin bahwa pemuda itu memang aku. Aku tak
mengerti dengan semua ini. Aku tak tau apa yang telah terjadi pada ku. Aku
hanya bisa menangis menyaksikan semua ini.
“Oooy Umam, tidur ko. Jatoh nanti kita
ini”. Teriakan si Al mengejutkan ku, aku menoleh kiri dan kanan. Ternyata aku
masih di atas motor bersama si Al. “untung cuma mimpi”. Kata ku dalam hati. Aku
tak mengerti apa yang telah aku mimpikan. Meskipun di atas motor, mimpi itu
sukses membuat aku berkeringat. “anget dah, orang malam tahun baru pada dipeluk
cewek. Ni aku malah Umam yang peluk, pakek ngiler lagi” ocehan si Al. “bacrit
lo Al. Balik yok balik, ngantuk gua”. Pinta ku untuk pulang. Aku merasa sangat
tidak nyaman malam ini. “jadi gini doang ni, cuman muter-muter? Payah lo Mam..”
“udaah, yok ah. Nagntuk ni gua”. Aku memaksa si Al untuk pulang. Akhirnya kami
putar arah untuk pulang, dalam hening suasana aku terus memikirkan apa yang
telah aku mimpikan tadi. Aku mengingat apa yang telah aku lakukan hari ini,
entah kesalahan apa yang aku lakukan sehingga aku ditimpa mimpi buruk.
Kini kami melewati jalan yang sama sperti
saat pergi tadi. Al memperlambat jalan motornya, di depan kami terlihat banyak
orang yang sedang berkrumun di persimpangan jalan. “ada kecelakaan ya tu?”
tanya ku. “iya tu mungkin”. Ketika sudah sangat dekat aku mengingat tempat ini.
Ya, tempat kami berhenti untuk membeli rokok beberapa jam yang lalu. “umaaam,
umam”, teriak bapak yang memiliki kedai itu. Sebuah mobil angkutan hilang
kendali dan menabrak bagian depan kedai itu dan mengenai anaknya. Aku ingat
anak itu. Ya, anak itu yang ada dalam mimpi ku. Aku menyaksikan kejadian itu
dengan sangat prihatin. Darah terus mengalir di bagian kepala anak itu. “umam,
umam” teriak orang tuanya. “loh, kau tu Mam dipanggilnya” oceh si Al. “namanya
sama bego”. Jawab ku kesel. Kami perlahan melewati keramaian itu, “BL 5799 UB”
sepintas aku melihat nomor plat kendaraan itu. Sepertinya aku pernah mengingat
nomor itu. Nomor yang sama dengan mimpi aneh ku. Kejadian malam ini sangat
membuat ku takut. Aku terus mengingat kata-kata yang pernah diucapkan si Umam
kecil dan bapaknya.
Aku akhirnya sampai depan gerbang rumah,
acara bakar-bakar ayam ternyata belum berakhir. “ga nginap di sini saja Al?”
“gak lah Mam, lain kali aja, aku pulang ya”. “ok, terimakasih”. Aku langsung
berjalan menuju rumah ku. “bang, mau kemana, gak mau ikutan?” sapa Mura, adik
ku. “gak. Abang mau tidur, udah ngantuk”.
Sesampai di kamar, aku merenungkan apa yang
sudah aku alami malam ini, aku tak mengerti atas apa yang telah aku mimpikan,
aku tak tau mengapa aku mengalaminya. Aku mencoba mengingat kesalahan apa yang
telah aku perbuat. Mungkinkah karena dosa ku selama ini. Aku mencoba berwudhu
untuk shalat malam, aku berharap agar bisa lepas dari kegelisahan. Usai shalat
aku merasa ada yang sedang melihat ku diam-diam di balik pintu kamar yang
berada di belakang ku. Ya, dia Mura adik ku. Mungkin dia melihat suatu hal yang
tak biasa di lihatnya. Begitu juga dengan ku, suatu hal yang tak biasa ku alami
malam ini.
“Kata umi itu bukan untuk kita abi...”
tobe continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar