Ajaran dan Ritual Dalam Tarekat





Ajaran dan Ritual Dalam Tarekat
Penulis: M. KHUZAIFAH

A.      Syekh, Mursyid, Atau Guru Dalam Tarekat
1.    Pengertian Syekh, Guru, Mursyid dan Kedudukannya Dalam Tarekat
Dalam ajaran Tarekat makna atau istilah guru mempunyai artian yang berbeda dan tingkatan yang berbeda. Dalam Tarekat istilah Mursyid atau guru ialah orang-orang yang mengajarkan dan memberi contoh segala bentuk kepribadian, baik keduniaan maupun akhirat kepada murid-muridnya.[1] Diatas seorang Mursyid atau guru masih ada satu jabatan tinggi lagi yang dinamakan dengan syekh. Syekh adalah seorang pimpinan dari anggota para tarekat.
Jabatan guru dalam aliran tarekat ini tidak boleh dijabat oleh sembarangan orang. Guru atau Syekh dalam tarekat merupakan orang pilihan yang telah berhasil dalam menjalankan keempat ajaran pokok atau sudah menguasai pokok ajaran terakhir yaitu makrifat. Seorang guru dalam aliran ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dan benar-benar merupakan pimpinan yang dihormati, dipatuhi atau yang tak boleh ditentang.
Guru dalam Tarekat  dan pada aliran Sufi ini tidak seperti guru pada umumnya. Meskipun ilmu pengetahuan tentang tarekat mereka memadai, ilmu syariatnya juga memadai tetapi jika hati dan jiwanya tidak bersih maka ia takkan dapat menjabat sebagai guru bagi murid-murid tarekat.[2] Guru dalam tarekat bertindak sebagai pemimpin yang bukan hanya mengajar serta mengawasi kehidupan lahiriah belaka, juga bukan hanya membimbing dalam kehidupan lahiriah dan bertarekat saja. Orang tarekat menganggap seorang guru telah mempunyai hati, rohani, jiwa yang tingkat makrifatnya tinggi. Mungkin itulah sebabnya hingga seorang guru dalam hal ini dijadikan murid-muridnya sebagai perantara hubungan ibadah dengan tuhan.
Murid-murid dalam tarekat telah memandang bahkan meyakini bahwa gurunya selalu berhubungan dengan tuhan secara dekat, sedangkan mereka sendiri belum dapat melakukannya. Oleh sebab itu persoalan dosa,  atau maksiat keduniaan, nafsu serakah atau dosa kecil dan besar lainnya yang diperbuat oleh murid akan segera mendapat teguran dari gurunya. Guru bagi seorang murid dalam bertarekat bagaikan sebuah jembatan peribadahan antara mereka dengan tuhan.
2.    Tanggung Jawab Mursyid Dalam Tarekat
Tanggung jawab seorang Mursyid dalam tarekat sangat berat, tidak sembarangan orang dapat menduduki jabatan sebagai Mursyid dalam tarekat. Adapun tanggung jawab Mursyid di tengah-tengah tarekat adalah sebagai berikut:
a.    Seorang Mursyid harus alim, bijaksana dan arif terhadap suasana batin.
b.    Seorang Mursyid harus pandai menyimpan hal rahasia muridnya.
c.    Seorang Mursyid harus disiplin dan tiak boleh menyalahgunakan kesempatan sebagai seorang guru.
d.   Seorang Mursyid harus menjaga lisan dan nafsu keduniaan.
e.    Seorang Mursyid harus mempunyai hati yang ikhlas.
f.     Selalu menjaga jarak antara dia dan muridnya dan memelihara harga diri.
g.    Seorang Mursyid selalu mengawasi muridnya dalam pergaulan.
h.    Seorang Mursyid harus menyediakan tempat berkhalwat.

B.            Bai’at
Pembai’atan adalah sebuah prosesi perjanjian, antara seorang murid terhadap seorang mursyid. Seorang murid menyerahkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan selanjutnya seorang mursyid menerimannya dengan mengajarkan dzikr talqin al-dzikr, kepadanya.
Upacara pembai’atan merupakan langkah awal yang harus dilalui oleh seorang salik, khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesufian melalui tarekat.
Bentuk pembai’atan itu ada dua macam. Kedua macam pembaiatan ini dipraktekkan dalam tarekat ini, yaitu pembai’atan fardiyyah (individual), dan pembai’atan jam’iyyah (kolektif). Baik bai’at secara individual maupun kolektif, keduanya dilaksanakan dalam rangka melestarikan tradisi Rasul.


Prosesi pembai’atan itu adalah sebagai berikut:
1.       Dalam Keadaan suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk ‘aks tawarruk (kebalikan duduk tawarruk tasyahud akhir). Dengan penuh kekhusukan, taubat dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.
2.       Selanjutnya mursyid membimbing murid untuk membaca kalimat berikut ini; Basmalah; Do’a yang artinya “Ya Allah bukakan untukku dengan keterbukaan para arifin” tujuh kali; Basmalah, hamdalah dan sholawat; Basmalah dan istighfar tiga kali; Sholawat tiga kali.
3.       Kemudian syekh atau mursyid mengajarkan dzikr, dan selanjutnya murid menirukan: Laa ilaha illaa Allaah, tiga kali dan ditutup dengan ucapan Sayyiduna Muhammadun Shollallahu ‘alaihi wa sallam.
4.       Kemudian keduanya membaca shalawat munjiat
5.       Kemudian mursyid menuntun murid untuk membaca ayat bai’at: Surat al-fath ayat 10, dengan diawali ta’awud dan basmalah, yang artinya; “Aku berlindung kepada Allah, dari setan yang terku-tuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
6.       Kemudian berhadiah fatihah kepada: Rasulullah SAW. para masyayikh ahl silsila al-Qadiriyah wa Naqsya¬bandiyah, khsusunya syekh Abd. Qadir al-Jailani dan Syekh Abu al-Qasim Junaidi al-Bagdadi satu kali.
7.       Kemudian syekh atau mursyid berdo’a untuk muridnya sekedarnya.
8.       Selanjutnya mursyid memberikan tawajjuh kepada murid seribu kali, atau lebih

C.           Washilah dan Rabithah Dalam Tarekat
Washilah atau tawashul adalah salah satu kepercayaan yang khas di kalagan pengamal tarekat. Kata ini mempunyai makna “hubungan” atau “penghubung”, yang dalam hal ini dimaknai “yang menghubungkan seseorang agar dapat bertemu dengan Allah”.[3] Keyakinan adanya washilah ini adalah berdasarkan pemahaman analogis terhadap peristiwa mi’raj Nabi muhammad SAW, yang pada kejadian itu beliau didampingi atau dihubungkan oleh malaikat Jibril. Kisah tersebut dijadikan sebagai penafsiran kata washilah yang termaktub di dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah 35.
Rabithah, pengertian dan fungsi istilah ini hampir sama dengan washilah, yakni “ikatan” atau “pertalian”. Secara fungsional, pengertian rabithah pada tiga macam, yaitu: rabithah wajib, rabithah sunnat, dan rabithah mubah.
Rabithah wajib adalah rabithah yang mesti dilakukan, kalau tidak maka amalan itu tidak sah. Menghadap Ka’bah waktu shalat adalah wajib, padahal yang disembah adalah Allah bukan ka’bah, fungsinya hanya sebagai rabithah. Rabithah sunnat adalah suatu amalan akan lebih sempurna apabila dilakukan dengan rabithah. Shalat berjamaah adalah sunnat, yang dalam tata tertibnya disunnatkan memperhatikan imam. Yang disembah makmum ataupun imam adalah sama-sama Allah, sehingga fungsi imam dalam shalat itu adalah rabithah. Sedangkan rabithah mubah bisa diartikan sebagai “meniru”, yakni meniru guru dalam “perjumpaan” dengan Allah. Dengan demikian, makna esensial dari istilah ini adalah “bersahabat intim” antara murid dan mursyid.
Namun demikian, sejalan dengan pemekaran dan penyebaran tarekat ke berbagai kawasan yang berbeda kultur dan tradisi, maka makna operasionak kedua istilah tersebut mengalami perubahan pula. Secara singkat dapat dicatat antara lain:
·      Jalan yang menghantarkan untuk berjumpa dengan Allah.
·      Menyatukan murid dengan mursyid secara imajiner untuk secara bersama menuju Allah.
·      Fana dengan mursyid sebagai awal dari fana fi’llah.
·      Masa ghaibah, sirna dari ingatan yang selain Allah, yang disebut “wushul” dan “syuhud”.
Adapun teknis pelaksanaan rabithah, ada beberapa pilihan, antara lain:
·      Menghadirkan figur mursyid dalam hati secara imajiner dan bertawajuh kepadanya sehingga seluruh jiwa raganya manunggal dengan mursyid.
·      Menempatkan mursyid secara khayali duduk berdampingan dengan murid untuk kemudian secara bersama berangkat menuju Allah.
·      Membayangkan mursyid berada pada titik tengah dahinya atau pada titik pusat qalbunya.
Rabithah dilaksanakan apabila seseorang secara sendiri belum bisa mendekatkan diri pada Allah. Tetapi apabila murid telah mampu melakukan sendirian, maka ia tidak boleh lagi ber-rabithah. Dalam kaitan ini, menurut ajaran tarekat ada empat jalan yang dapat mencapai ke maqam wushul, yaitu rabithah, fana pada syekh al;kamil, dzikir dan tawajuh.
D.           Suluk dan Khalwat Dalam Tarekat
Suluk artinya adalah jalan, sama saja dengan thariq yang artinya juga jalan.[4] Namun penggunaan istilah itu makin lama makin mengalami perubahan arti. Akhirnya orang tarekat menggunakan istilah suluk untuk mengartikan suatu pelajaran atau latihan pada kurun waktu tertentu.
Orang yang berlatih, baik dalam berdo’a, zikir, berpuasa maupun mengurangi tidur hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, meminta ampunan atas kesalahannya dinamakan “Salik”. Tarekat pada dasarnya bertujuan untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada allah. Agar dapat mencapai jalan tersebut, maka penganutnya harus mempelajari kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat dan kemudian melakukan perbuatan yang selanjutnya yaitu memeinta ampunan kepada Allah.
1.      Suluk dalam bentuk ibadah
Suluk atau dapat dikatakan sebagai latian dalam bentuk ibadah ini caranya ialah dengan memperbanyak bentuk syari’at serta proses yang dimulai dari wudlu, shalat dan berzikir. Serta mengisi hari-harinya dengan melaksanakan perintah yang wajib dan yang sunnatvlayaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang islam pada umumnya. Selebihnya ia melakukan dzikir dan wirid seakan-akan dzikir dan wirid dianggapnya suatu ibadah yang wajib. Semua itu dilakukan atas perintah guru. Ia tak mau melakukan ibadah lain jika gurunya tidak memerintahkan, apa yang diperintahkan sang guru itulah yang diamalkan setiap waktu.
Proses dan latihan suluk semacam itu dilakukan secara rutin dan berlangsung terus-menerus setiap hari. Ia akan merasa berdosa dan gagal jika pada suatu hari atau pada suatu waktu ia tidak mengerjakan suluk ibadah yang diperintahkan gurunya. Suluk yang demikian itu jika dilakukan secara teus-menerus dengan tenang, dengan ikhlas dan penuh konsentrasi maka dalam waktu yang tidak ditentukan akan datang petunjuk dari Allah yang dibawa oleh Malaikat, baik dalam bentuk mimpi atau secara langsung.
Demikianlah anggapan mereka dan menurut petuah dari gurunya. Antara murid yang satu dengan yang lain dalam menjalankan suluk akan mengalami proses kurun waktu yang berbeda. Maksudnya petunjuk yang didapati dari Tuhan terhadap murid yang satu dengan yang lainnya itu berbeda, ada yang cepat dan ada yang bertahun-tahun lamanya petunjuk itu baru muncul. Namun demikian bagi murid yang masih belum mendapat petunjuk harus sabar dan tetap melakuka latihan atau suluk ibadah itu terus menerus.
2.      Suluk Dalam Bentuk Riadhah
Latihan riadhah berbeda dengan suluk ibadah, jika suluk ibadah seorang murid diperintahkan untuk mengamalkan peribadahan seperti shalat, baik yang wajib atau yang sunnat, wirid atau dzikir. Tapi suluk riadhah ini bentuk dan pengamalannya ialah meliputi meditasi, bertapa, berpuasa, menyepi, menjauhkan diri dari pergaulan kehidupan sehari-hari, mengurangi tidur, mengurangi bicara, mengurangi segala berhubungan dengan kepentingan duniawi, termasuk memisahkan diri dengan anak dan istri.[5] Ini bagi murid merupakan satu-satunya jalan untuk mensucikan jiwa, menerangkan mata hati. Jika jiwa sudah lepas dari nafsu-nafsu maka dengan mudah akan bisa bersambug dan dekat dengan Allah Ta’ala.
Latihan riadhah ini diperintahkan oleh seorang Mursyid ketika melihat bahwa murid-muridnya mulai melakukan kesalahan-kesalahan dan tertutup debu-debu nafsu mata hatinya. Suluk riadhah ini dilakukan semata-mata untuk mensucikan jiwa dan menhindari kesalahan. Dengan melakukan riadhah diharapkan Tuhan akan menghapus segala kesalahan dan debu hati yang selanjutnya akan mendapat ampunan, petunjuk dan barakah-Nya.
Pada suluk riadhah seorang murid akan mengakhiri latihannya jika telah sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, misalnya seorang murid diperintahkan mengurangi makan , mengurangi tidur, menahan nafsu syahwat dan menahan untuk tidak berbicara dalam waktu empat puluh hari empat puluh malam. Jika sudah sampai empat puluh hari dan empat puluh malam, maka sang murid harus mengakhiri suluknya.
3.      Suluk Penderitaan Dalam Tarekat
Pada dasarnya semua ajaran tarekat, baik syari’at maupun suluknya mencerminkan bahwa mereka senantiasa menghindari keinginan yang bersifat duniawi. Untuk itu suluk dalam bentuk penderitaan merupakan suatu rangkaian ajaran tarekat yang perlu diamalkan, jika sang guru memerintahkannya begitu.
Bagi golongan sufi dan para ahlinya memandang bahwa penderitaan dalam hidup memang perlu dan harus dialami. Alasan yang dijadikan dasar bahwa orang tanpa merasakan penderitaan hidup dan kesengsaraan, maka ia akan lupa diri dan timbul perasaan tinggi hati, sombong yang kemudian melupakan siapa dan bagaimana peranan Tuhan dalam alam nyata ini. Suluk ini sangat berguna untuk membina akhlak yang kurang terpuji, misalnya sikap kikir terhadap sesama, sikap sombong terhadap sesama, sikap congkak terhadap Tuhan dan kesalahan-kesalahan lain.
Perintah untuk melakukan suluk penderitaan akan keluar dari bibir sang guru atau mursyid jika melihat ada muridnya yang mempunyai akhlak kurang baik dimana menurut guru tersebut akhlak itu akan menghalang-halangi diri muridnya untuk mencapai kesempurnaan amalan tarekat.
Adapun bentukamalan suluk penderitaan yang dimaksud gurunya adalah sebagai berikut:
a.    Melakukan perjalanan panjang untuk masuk hutan dalam waktu yang ditetapkan oleh sang guru.
b.    Melakukan perjalanan ke bukit dan turun naik jurang serta gunung yang sunyi.
c.    Melakukan perjalanan ke negeri atau daerah yang jauh dan sama sekali belum pernah dirambahnya.
d.   Melakukan amalan terhadap orang-orang pada daerah-daerah yang membutuhkan pertolongan, misalnya membuka pengobatan secara cuma-cuma bagi mereka yang menderita sakit dengan karamah Allah.
e.    Melakukan amalan sebagai seorang pengemis. Tidak boleh bekerja serta minum selain yang didapat dari hasil mengemis itu.
Menurut mereka bahwa suluk penderitaan itu akan menghasilkan suatu petunjuk dari Allah dan membawa perubahan akhlak yang dimiliki oleh murid sebelumnya. Adapun kewajiban murid dalam menjalankan suluk ialah:
a.       Bertaubat di depan mursyidnya.
b.      Melaksanakan ibadah taqwa.
c.       Melakukan amalan zikir.
d.      Berniat melakukan latihan sepenuh hati.
e.       Mengurangi makan dan menahan lapar.
f.       Mengurangi tidur dan beribadah malam.
g.      Mengurangi berbicara dan mendiam diri.
h.      Melaksanakan amalan berkhalwat.
Adapun Khalwat pada golongan sufi ialah belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati itu berkekalan ingat kepada Allah dan dengan demikian tetap berkepanjangan memperhambakan diri kepada Allah.[6] Dengan berkhalwat diharapkan seseorang senantiasa ingat dan taqwa terhadap Tuhan dengan tiada putus-putusnya.
Tata cara berkhalwat secara umum adalah sebagai berikut[7]:
a.       Khalwat harus dilaksanakan dengan i’tikaf.
b.      Dalam berkhalwat seseorang harus memelihara wudlu.
c.       Dalam berkhalwat seseorang harus diam dalam zikir.
d.      Memisahkan hati dan jasad, artinya membatasi jurang pemisah antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat.
e.       Mengurangi kepentingan jasad.
f.       Mengenakan pakaian serba putih.
g.      Tidak diperbolehkan makan daging atau makanan yang mengandung daging.
h.      Senantiasa menghadap kiblat.
i.        Hendaknya memakai kelambu ruangan.
j.        Harus belajar berqanaah dan sabar.

E.            Zikir dan Do’a Dalam Tarekat
Salah satu bahagian yang terpenting dalam tarekat, yang hampir selalu kelihatan dikerjakan ialah zikir. Di dalam tarekat mengingat kepada Tuhan itu dibantu dengan bermacam-macam ucapan yang menyebut nama Allah atau sifatnya, atau kata-kata yang mengingatkan mereka kepada Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat-tarekat tiap-tiap manusia tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat taat, dan keempat berbuat dosa. Selama manusia itu mempunyai nafsu yang turun naik, mestilah ia mengerjakan salah satu dari pekerjaan yang dari empat macam tersebut. Jika pada waktu itu lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong, takabur, dan tinggi hati pada-Nya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan pada waktu ia menerima nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur kepada tuhan, yang akan membawa lebih baik kelakuannya.
Maka dengan alasan-alasan itulah golongan tarekat mempertahankan zikir, tidak saja arti mengingat Allah dalam hati, tetapi mengingat Allah senantiasa kala dengan lidahnya untuk melatih segala anggotanya. Menurut anggapan mereka segala ibadat yang dikerjakan tidak disertai dengan mengingat Allah atau tidak karena Allah, maka ibadat itu akan kosong, akan hampa dari pahala yang sebenarnya.
1.       Istighfar
Tujuan melakukan istighfar bagi umat Islam ialah untuk memohon ampunan kepada Allah atas segala kesalahan, segala dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Bagi orang-orang sufi istighfar ini memang dipentingkan karena mereka telah benar-benar menyadari bajwa dalam dirinya terdapat debu-debu kotor berupa dosa dan kesalahan.

2.      Tahlil dan Tasbih
Tahlil yang berupa kata “laa ilaha illallah” merupakan suatu pernyataan, suatu kesaksian dan suatu janji. Mengucapkan kalimat tahlil jika dilakukan dengan penuh keyakinan diri dan konsentrasi maka hal tersebut termasuk suatu amalan dan pernyataan keimanan. Bagi orang-orang sufi, tahlil ini selalu diucapkan dengan bibir bergetar, sementara jiwa dan qalbunya tertuju hanya kepada Allah semata.
Tasbih adalah suatu kalimat pengakuan bahwa Tuhan itu maha suci. Bagi orang sufi khususnya dalam tarekat, tasbih memang tak pernah ditinggalkan, bahkan tasbih merupakan suatu kebutuhan yang juga merupakan suatu prinsip dalam amalan ibadah. Mereka selalu melakukannya dengan mesra dan melantunkannya dengan penuh kerinduan, tentunya kerinduan kepada Allah Ta’ala.
3.      Tahmid dan Takbir
Tahmid adalah bacaan atau kalimat “alhamdulillah” adapun takbir adalah membaca “Allahu akbar”. Tahmid merupakan suatu pernyataan orang Islam dimana dibalik pernyataan tersebut  tersimpan suatu rasa syukur bahwa segala puji hanyalah bagi Allah semata. Perasaan syukur tersebut sebagai suatu pertanda bahwa seseorang telah mengakui semua nikmat Allah, karunia dan semua yang telah dirasakan semata-mata karena pemberian Allah semata.
Sedangkan takbir merupakan suatu amalan ibadah yang dibaliknya mengandung pengakuan secara seyakin-yakinnya bahwa Allah itu Maha Esa dan yang paling besar.
4.      Ritual Wirid Dalam Tarekat
Wirid atau do’a sebenarnya mempunyai arti yang senada. Dalam ajaran tarekat, wirid dan do’a merupakan suatu kebutuhan kedua setelah ibadah wajib dan hal itu merupakan ciri khas orang-orang sufi.[8] Bahkan bentuk do’a dan zikir antara waktu yang satu dengan waktu yang lain kadang-kadang tidak sama. Misalnya pada hari-hari Arafah mereka lebih mengutamakan untuk melakukan ritual ini.
Demikian juga mengenai tempat berdoa yang baik, seorang sufi harus dapat memilih tempat yang dianggapnya sangat menguntungkan untuk melakukan ibadah do’a, sebab tempat yang menguntungkan akan mendukung konsentrasi penuh dalam melakukan permohonan, menyesali perbuatan dan memuja Allah SWT.
Dalam ajaran Tassawuf tarekat do’a ini dikenal dengan istilah “munajah” dan “munadah”. Kedua istilah itu artinya ialah meratapi diri dan berseru, memanggil atau menyebut Allah.
Munadah secara etimologi artinya berseru. Munadah dapat diartikan sebagai menyeru kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Kata munadah yang dipergunakan dalam do’a pada umumnya merupakan suatu sebutan kepada Allah misalnya: Allahumma, ya rabbana, ya Allah, ya Rabbi dan sebagainya yang mana semua itu dapat diartikan memangil “ya Allah”. Ucapan dan kata-kata yang semacam itu disebut pada awal do’a dan disisipkan di sela-sela kalimat.
Munajah secara etimologi adalah mengeluh, merintih atau meratap. Dalam doa munajah ini diartikan rintihan atau keluhan atau penyesalan diri atas dosa-dosa yang telah dilakukan dan dengan harapan agar Allah sudi memberikan ampunan sehingga terlepas dari dosa-dosa tersebut. Munajah tersebut juga merupakan suatu bentuk kalimat atau kata-kata do’a yang tertata bagus, mesra dan indah.
F.            Silsilah Tarekat
Silsilah bagi seorang syeikh atau guru tarekat merupakan syarat penting untuk mengajarkan atau memimpin sesuatu tarekat. Mereka yang akan menggabungkan diri kepada sesuatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah atau hubungan guru-gurunya itu sambung bersambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi.[9] Karena yang demikian itu dianggap perlu dan tidak boleh tidak, sebab bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya itu harus benar, dan jika tidak benar tidak berhubungan sampai kepada Nabi, maka bantuan itu dianggap terputus dan tidak merupakan earisan dari pada Nabi. Murid tarekat hanya membuat bai’at, sumpah setia atau janji, dan tidak mnerima ijazah dan khirqah, tanda kesunggupan, kecuali kepada mursyid yang mempunyai silsilah yang baik.
Silsilah itu merupakan hubungan nama-nama yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain, biasanya tertulisbrapi dengan bahasa Arab di atas sepotong kertas, yang diserahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amal-amal dan sesudah menerima petunjuk-petunjuk, irsyad, dan peringatan-peringatan, talqin, dan sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat-maksiat yang dilarang oleh gurunya, ahd, dan menerima ijazah atau khirqah, sebagai tanda boleh meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang lain.
Sebagai contoh yang saya sebutkan oleh Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh (1996). Silsilah Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi, salah seorang Syeikh tarekat Naqsyabandiyah terkenal, tngl. 1332 H. Pengarang “Kitab Tanwirul Qulub”, yang menerangkan, bahwa ia mengambil tarekat Naqsabandiyah itu dari Syeikh Umar, yang mengambil dari ayahnya Usman, selanjutnya sambung-menyambung mengambil dari Syeikh Khalid, Syeikh Abdullah Ad-Dahlawi, dari Habibullah Jan Janan Mazhur, dari nur Muhammad Al-Badwani, dari Muhammad Saifuddin, dari Muhammad Ma’sum, dari ayahnya Ahmad Al-Faruqi As Sarhandi, dari Muhammad Al-Baqi Billah, dari Muhammad Khawajiki As-Samarqandi, dari ayahnya Darwis Muhammad As-Samarqandi, dari Muhammad Az-Zahid, dari Ubaidillah As-Samarqandi, dari Ya’kub Al-Jarkhi, dari Muhammad bin Muhammad Ala’uddin Al-Akhtar Al-Bukhari Al-Khawarizmi, yang mengambil dari pencipta tarekat Naqsabandiyah sendiri, bernama Syah Naqsaband Baha’uddin Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisi Al-Bukhari, yang mengambil pula dari Amir Kalal, dari Muhammad Baba As-Samasi, dari Ali Ar-Ramitani, yang termasyhur dengan nama Syeikh Azinan, dari Syeikh Mahmud Al-Anjir Faghnawi, dari Syeikh Arif Ar-Riyuki, dari syeikh Abdul Khaliq Al-Khajduwani, dari Syeikh Abu Ya’kub Yusuf Al-Hamdani, dari Syeikh Abu Ali Al-Fadhal At-Thusni, dari Syeikh Abdul Hasan Ali bin Ja’far Al-Kharqani dari Syeikh Abu Yazid Thaifur Al-Bitsthami, dari Imam Ja’far As-Sadiq, dari Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq, dari Sulaiman Al-Farisi, sahabat Nabi dan Khalifah yang pertama, yang akhirnya mengambil dari Nabi Muhammad SAW, yang menerima pula melalui Jibril dari Allah SWT.
Demikianlah jalannya silsilah itu, ada yang melalui Abu Bakar, ada yang melalui Ali bin Abi Thalib, atau salah seorang sahabat yang lain, yang akhirnya sampai kepada Nabi. Kepada Jibril dan kepada Tuhan, beberapa ajaran-ajarannya.


[1] Drs. Moch. Siddiq, Mengenal Ajaran Tarekat Dalam Aliran Tasawuf, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001), hlm. 27.
[2] Ibid., hlm. 26.
[3] Prof. H. A . Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 278.
[4] Drs. Moch. Siddiq, op.cit., hlm. 56.
[5] Ibid., hlm. 59.
[6] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo:  Ramadhani, 1996), hlm. 140.
[7] Drs. Moch. Siddiq, op.cit., hlm. 97.
[8] Ibid., hlm. 210.
[9] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, op.cit., hlm. 97.

Tidak ada komentar: