Ajaran dan Ritual Dalam Tarekat
Penulis: M. KHUZAIFAH
A.
Syekh, Mursyid, Atau Guru Dalam Tarekat
1.
Pengertian Syekh, Guru, Mursyid dan Kedudukannya Dalam Tarekat
Dalam ajaran Tarekat makna atau istilah guru mempunyai artian yang
berbeda dan tingkatan yang berbeda. Dalam Tarekat istilah Mursyid atau guru
ialah orang-orang yang mengajarkan dan memberi contoh segala bentuk
kepribadian, baik keduniaan maupun akhirat kepada murid-muridnya.[1] Diatas
seorang Mursyid atau guru masih ada satu jabatan tinggi lagi yang dinamakan
dengan syekh. Syekh adalah seorang pimpinan dari anggota para tarekat.
Jabatan guru dalam aliran tarekat ini tidak boleh dijabat oleh
sembarangan orang. Guru atau Syekh dalam tarekat merupakan orang pilihan yang
telah berhasil dalam menjalankan keempat ajaran pokok atau sudah menguasai pokok
ajaran terakhir yaitu makrifat. Seorang guru dalam aliran ini mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan benar-benar merupakan pimpinan yang
dihormati, dipatuhi atau yang tak boleh ditentang.
Guru dalam Tarekat dan pada
aliran Sufi ini tidak seperti guru pada umumnya. Meskipun ilmu pengetahuan
tentang tarekat mereka memadai, ilmu syariatnya juga memadai tetapi jika hati
dan jiwanya tidak bersih maka ia takkan dapat menjabat sebagai guru bagi
murid-murid tarekat.[2]
Guru dalam tarekat bertindak sebagai pemimpin yang bukan hanya mengajar serta
mengawasi kehidupan lahiriah belaka, juga bukan hanya membimbing dalam
kehidupan lahiriah dan bertarekat saja. Orang tarekat menganggap seorang guru
telah mempunyai hati, rohani, jiwa yang tingkat makrifatnya tinggi. Mungkin
itulah sebabnya hingga seorang guru dalam hal ini dijadikan murid-muridnya
sebagai perantara hubungan ibadah dengan tuhan.
Murid-murid
dalam tarekat telah memandang bahkan meyakini bahwa gurunya selalu berhubungan
dengan tuhan secara dekat, sedangkan mereka sendiri belum dapat melakukannya.
Oleh sebab itu persoalan dosa, atau
maksiat keduniaan, nafsu serakah atau dosa kecil dan besar lainnya yang
diperbuat oleh murid akan segera mendapat teguran dari gurunya. Guru bagi
seorang murid dalam bertarekat bagaikan sebuah jembatan peribadahan antara
mereka dengan tuhan.
2.
Tanggung Jawab Mursyid Dalam Tarekat
Tanggung jawab seorang Mursyid dalam
tarekat sangat berat, tidak sembarangan orang dapat menduduki jabatan sebagai
Mursyid dalam tarekat. Adapun tanggung jawab Mursyid di tengah-tengah tarekat
adalah sebagai berikut:
a.
Seorang
Mursyid harus alim, bijaksana dan arif terhadap suasana batin.
b.
Seorang
Mursyid harus pandai menyimpan hal rahasia muridnya.
c.
Seorang
Mursyid harus disiplin dan tiak boleh menyalahgunakan kesempatan sebagai
seorang guru.
d.
Seorang
Mursyid harus menjaga lisan dan nafsu keduniaan.
e.
Seorang
Mursyid harus mempunyai hati yang ikhlas.
f.
Selalu
menjaga jarak antara dia dan muridnya dan memelihara harga diri.
g.
Seorang
Mursyid selalu mengawasi muridnya dalam pergaulan.
h.
Seorang
Mursyid harus menyediakan tempat berkhalwat.
B.
Bai’at
Pembai’atan
adalah sebuah prosesi perjanjian, antara seorang murid terhadap seorang
mursyid. Seorang murid menyerahkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam
rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan
selanjutnya seorang mursyid menerimannya dengan mengajarkan dzikr talqin
al-dzikr, kepadanya.
Upacara pembai’atan merupakan langkah awal yang harus dilalui oleh seorang salik, khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesufian melalui tarekat.
Upacara pembai’atan merupakan langkah awal yang harus dilalui oleh seorang salik, khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesufian melalui tarekat.
Bentuk
pembai’atan itu ada dua macam. Kedua macam pembaiatan ini dipraktekkan dalam
tarekat ini, yaitu pembai’atan fardiyyah (individual), dan pembai’atan
jam’iyyah (kolektif). Baik bai’at secara individual maupun kolektif, keduanya
dilaksanakan dalam rangka melestarikan tradisi Rasul.
Prosesi
pembai’atan itu adalah sebagai berikut:
1.
Dalam
Keadaan suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk ‘aks tawarruk
(kebalikan duduk tawarruk tasyahud akhir). Dengan penuh kekhusukan, taubat dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.
2.
Selanjutnya
mursyid membimbing murid untuk membaca kalimat berikut ini; Basmalah; Do’a yang
artinya “Ya Allah bukakan untukku dengan keterbukaan para arifin” tujuh kali;
Basmalah, hamdalah dan sholawat; Basmalah dan istighfar tiga kali; Sholawat
tiga kali.
3.
Kemudian
syekh atau mursyid mengajarkan dzikr, dan selanjutnya murid menirukan: Laa
ilaha illaa Allaah, tiga kali dan ditutup dengan ucapan Sayyiduna Muhammadun
Shollallahu ‘alaihi wa sallam.
4.
Kemudian
keduanya membaca shalawat munjiat
5.
Kemudian
mursyid menuntun murid untuk membaca ayat bai’at: Surat al-fath ayat 10, dengan
diawali ta’awud dan basmalah, yang artinya; “Aku berlindung kepada Allah, dari
setan yang terku-tuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barangsiapa yang melanggar janjinya, akibat ia melanggar janji itu akan menimpa
dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah
akan memberinya pahala yang besar”.
6.
Kemudian
berhadiah fatihah kepada: Rasulullah SAW. para masyayikh ahl silsila
al-Qadiriyah wa Naqsya¬bandiyah, khsusunya syekh Abd. Qadir al-Jailani dan
Syekh Abu al-Qasim Junaidi al-Bagdadi satu kali.
7.
Kemudian
syekh atau mursyid berdo’a untuk muridnya sekedarnya.
8.
Selanjutnya
mursyid memberikan tawajjuh kepada murid seribu kali, atau lebih
C.
Washilah dan Rabithah Dalam Tarekat
Washilah atau
tawashul adalah salah satu kepercayaan yang khas di kalagan pengamal tarekat.
Kata ini mempunyai makna “hubungan” atau “penghubung”, yang dalam hal ini
dimaknai “yang menghubungkan seseorang agar dapat bertemu dengan Allah”.[3]
Keyakinan adanya washilah ini adalah berdasarkan pemahaman analogis terhadap
peristiwa mi’raj Nabi muhammad SAW, yang pada kejadian itu beliau didampingi
atau dihubungkan oleh malaikat Jibril. Kisah tersebut dijadikan sebagai
penafsiran kata washilah yang termaktub di dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah 35.
Rabithah,
pengertian dan fungsi istilah ini hampir sama dengan washilah, yakni “ikatan”
atau “pertalian”. Secara fungsional, pengertian rabithah pada tiga macam,
yaitu: rabithah wajib, rabithah sunnat, dan rabithah mubah.
Rabithah wajib
adalah rabithah yang mesti dilakukan, kalau tidak maka amalan itu tidak sah.
Menghadap Ka’bah waktu shalat adalah wajib, padahal yang disembah adalah Allah
bukan ka’bah, fungsinya hanya sebagai rabithah. Rabithah sunnat adalah suatu
amalan akan lebih sempurna apabila dilakukan dengan rabithah. Shalat berjamaah
adalah sunnat, yang dalam tata tertibnya disunnatkan memperhatikan imam. Yang
disembah makmum ataupun imam adalah sama-sama Allah, sehingga fungsi imam dalam
shalat itu adalah rabithah. Sedangkan rabithah mubah bisa diartikan sebagai
“meniru”, yakni meniru guru dalam “perjumpaan” dengan Allah. Dengan demikian,
makna esensial dari istilah ini adalah “bersahabat intim” antara murid dan
mursyid.
Namun demikian,
sejalan dengan pemekaran dan penyebaran tarekat ke berbagai kawasan yang
berbeda kultur dan tradisi, maka makna operasionak kedua istilah tersebut
mengalami perubahan pula. Secara singkat dapat dicatat antara lain:
· Jalan yang menghantarkan untuk berjumpa dengan Allah.
· Menyatukan murid dengan mursyid secara imajiner untuk secara
bersama menuju Allah.
· Fana dengan mursyid sebagai awal dari fana fi’llah.
· Masa ghaibah, sirna dari ingatan yang selain Allah, yang disebut
“wushul” dan “syuhud”.
Adapun teknis
pelaksanaan rabithah, ada beberapa pilihan, antara lain:
· Menghadirkan figur mursyid dalam hati secara imajiner dan
bertawajuh kepadanya sehingga seluruh jiwa raganya manunggal dengan mursyid.
· Menempatkan mursyid secara khayali duduk berdampingan dengan murid
untuk kemudian secara bersama berangkat menuju Allah.
· Membayangkan mursyid berada pada titik tengah dahinya atau pada
titik pusat qalbunya.
Rabithah
dilaksanakan apabila seseorang secara sendiri belum bisa mendekatkan diri pada
Allah. Tetapi apabila murid telah mampu melakukan sendirian, maka ia tidak
boleh lagi ber-rabithah. Dalam kaitan ini, menurut ajaran tarekat ada empat
jalan yang dapat mencapai ke maqam wushul, yaitu rabithah, fana pada syekh
al;kamil, dzikir dan tawajuh.
D.
Suluk dan Khalwat Dalam Tarekat
Suluk artinya
adalah jalan, sama saja dengan thariq yang artinya juga jalan.[4]
Namun penggunaan istilah itu makin lama makin mengalami perubahan arti.
Akhirnya orang tarekat menggunakan istilah suluk untuk mengartikan suatu
pelajaran atau latihan pada kurun waktu tertentu.
Orang yang
berlatih, baik dalam berdo’a, zikir, berpuasa maupun mengurangi tidur hanya
untuk mendekatkan diri kepada Allah, meminta ampunan atas kesalahannya
dinamakan “Salik”. Tarekat pada dasarnya bertujuan untuk mencari jalan
mendekatkan diri kepada allah. Agar dapat mencapai jalan tersebut, maka
penganutnya harus mempelajari kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat dan
kemudian melakukan perbuatan yang selanjutnya yaitu memeinta ampunan kepada
Allah.
1.
Suluk dalam bentuk ibadah
Suluk atau
dapat dikatakan sebagai latian dalam bentuk ibadah ini caranya ialah dengan
memperbanyak bentuk syari’at serta proses yang dimulai dari wudlu, shalat dan
berzikir. Serta mengisi hari-harinya dengan melaksanakan perintah yang wajib
dan yang sunnatvlayaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang islam pada
umumnya. Selebihnya ia melakukan dzikir dan wirid seakan-akan dzikir dan wirid
dianggapnya suatu ibadah yang wajib. Semua itu dilakukan atas perintah guru. Ia
tak mau melakukan ibadah lain jika gurunya tidak memerintahkan, apa yang
diperintahkan sang guru itulah yang diamalkan setiap waktu.
Proses dan
latihan suluk semacam itu dilakukan secara rutin dan berlangsung terus-menerus
setiap hari. Ia akan merasa berdosa dan gagal jika pada suatu hari atau pada
suatu waktu ia tidak mengerjakan suluk ibadah yang diperintahkan gurunya. Suluk
yang demikian itu jika dilakukan secara teus-menerus dengan tenang, dengan
ikhlas dan penuh konsentrasi maka dalam waktu yang tidak ditentukan akan datang
petunjuk dari Allah yang dibawa oleh Malaikat, baik dalam bentuk mimpi atau
secara langsung.
Demikianlah
anggapan mereka dan menurut petuah dari gurunya. Antara murid yang satu dengan
yang lain dalam menjalankan suluk akan mengalami proses kurun waktu yang
berbeda. Maksudnya petunjuk yang didapati dari Tuhan terhadap murid yang satu
dengan yang lainnya itu berbeda, ada yang cepat dan ada yang bertahun-tahun
lamanya petunjuk itu baru muncul. Namun demikian bagi murid yang masih belum
mendapat petunjuk harus sabar dan tetap melakuka latihan atau suluk ibadah itu
terus menerus.
2.
Suluk Dalam Bentuk Riadhah
Latihan riadhah
berbeda dengan suluk ibadah, jika suluk ibadah seorang murid diperintahkan
untuk mengamalkan peribadahan seperti shalat, baik yang wajib atau yang sunnat,
wirid atau dzikir. Tapi suluk riadhah ini bentuk dan pengamalannya ialah
meliputi meditasi, bertapa, berpuasa, menyepi, menjauhkan diri dari pergaulan
kehidupan sehari-hari, mengurangi tidur, mengurangi bicara, mengurangi segala
berhubungan dengan kepentingan duniawi, termasuk memisahkan diri dengan anak
dan istri.[5]
Ini bagi murid merupakan satu-satunya jalan untuk mensucikan jiwa, menerangkan
mata hati. Jika jiwa sudah lepas dari nafsu-nafsu maka dengan mudah akan bisa
bersambug dan dekat dengan Allah Ta’ala.
Latihan riadhah
ini diperintahkan oleh seorang Mursyid ketika melihat bahwa murid-muridnya
mulai melakukan kesalahan-kesalahan dan tertutup debu-debu nafsu mata hatinya. Suluk
riadhah ini dilakukan semata-mata untuk mensucikan jiwa dan menhindari
kesalahan. Dengan melakukan riadhah diharapkan Tuhan akan menghapus segala
kesalahan dan debu hati yang selanjutnya akan mendapat ampunan, petunjuk dan
barakah-Nya.
Pada suluk
riadhah seorang murid akan mengakhiri latihannya jika telah sampai pada batas
waktu yang telah ditentukan, misalnya seorang murid diperintahkan mengurangi
makan , mengurangi tidur, menahan nafsu syahwat dan menahan untuk tidak
berbicara dalam waktu empat puluh hari empat puluh malam. Jika sudah sampai
empat puluh hari dan empat puluh malam, maka sang murid harus mengakhiri
suluknya.
3.
Suluk Penderitaan Dalam Tarekat
Pada dasarnya
semua ajaran tarekat, baik syari’at maupun suluknya mencerminkan bahwa mereka
senantiasa menghindari keinginan yang bersifat duniawi. Untuk itu suluk dalam
bentuk penderitaan merupakan suatu rangkaian ajaran tarekat yang perlu
diamalkan, jika sang guru memerintahkannya begitu.
Bagi golongan
sufi dan para ahlinya memandang bahwa penderitaan dalam hidup memang perlu dan
harus dialami. Alasan yang dijadikan dasar bahwa orang tanpa merasakan
penderitaan hidup dan kesengsaraan, maka ia akan lupa diri dan timbul perasaan
tinggi hati, sombong yang kemudian melupakan siapa dan bagaimana peranan Tuhan
dalam alam nyata ini. Suluk ini sangat berguna untuk membina akhlak yang kurang
terpuji, misalnya sikap kikir terhadap sesama, sikap sombong terhadap sesama,
sikap congkak terhadap Tuhan dan kesalahan-kesalahan lain.
Perintah untuk
melakukan suluk penderitaan akan keluar dari bibir sang guru atau mursyid jika
melihat ada muridnya yang mempunyai akhlak kurang baik dimana menurut guru
tersebut akhlak itu akan menghalang-halangi diri muridnya untuk mencapai
kesempurnaan amalan tarekat.
Adapun
bentukamalan suluk penderitaan yang dimaksud gurunya adalah sebagai berikut:
a.
Melakukan
perjalanan panjang untuk masuk hutan dalam waktu yang ditetapkan oleh sang
guru.
b.
Melakukan
perjalanan ke bukit dan turun naik jurang serta gunung yang sunyi.
c.
Melakukan
perjalanan ke negeri atau daerah yang jauh dan sama sekali belum pernah
dirambahnya.
d.
Melakukan
amalan terhadap orang-orang pada daerah-daerah yang membutuhkan pertolongan,
misalnya membuka pengobatan secara cuma-cuma bagi mereka yang menderita sakit
dengan karamah Allah.
e.
Melakukan
amalan sebagai seorang pengemis. Tidak boleh bekerja serta minum selain yang
didapat dari hasil mengemis itu.
Menurut mereka
bahwa suluk penderitaan itu akan menghasilkan suatu petunjuk dari Allah dan
membawa perubahan akhlak yang dimiliki oleh murid sebelumnya. Adapun kewajiban
murid dalam menjalankan suluk ialah:
a.
Bertaubat
di depan mursyidnya.
b.
Melaksanakan
ibadah taqwa.
c.
Melakukan
amalan zikir.
d.
Berniat
melakukan latihan sepenuh hati.
e.
Mengurangi
makan dan menahan lapar.
f.
Mengurangi
tidur dan beribadah malam.
g.
Mengurangi
berbicara dan mendiam diri.
h.
Melaksanakan
amalan berkhalwat.
Adapun Khalwat
pada golongan sufi ialah belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati itu
berkekalan ingat kepada Allah dan dengan demikian tetap berkepanjangan
memperhambakan diri kepada Allah.[6]
Dengan berkhalwat diharapkan seseorang senantiasa ingat dan taqwa terhadap
Tuhan dengan tiada putus-putusnya.
Tata cara
berkhalwat secara umum adalah sebagai berikut[7]:
a.
Khalwat
harus dilaksanakan dengan i’tikaf.
b.
Dalam
berkhalwat seseorang harus memelihara wudlu.
c.
Dalam
berkhalwat seseorang harus diam dalam zikir.
d.
Memisahkan
hati dan jasad, artinya membatasi jurang pemisah antara kepentingan dunia
dengan kepentingan akhirat.
e.
Mengurangi
kepentingan jasad.
f.
Mengenakan
pakaian serba putih.
g.
Tidak
diperbolehkan makan daging atau makanan yang mengandung daging.
h.
Senantiasa
menghadap kiblat.
i.
Hendaknya
memakai kelambu ruangan.
j.
Harus
belajar berqanaah dan sabar.
E.
Zikir dan Do’a Dalam Tarekat
Salah satu
bahagian yang terpenting dalam tarekat, yang hampir selalu kelihatan dikerjakan
ialah zikir. Di dalam tarekat mengingat kepada Tuhan itu dibantu dengan
bermacam-macam ucapan yang menyebut nama Allah atau sifatnya, atau kata-kata
yang mengingatkan mereka kepada Tuhan.
Pada keyakinan
golongan tarekat-tarekat tiap-tiap manusia tidak terlepas dari empat perkara.
Pertama manusia itu kedatangan nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat
taat, dan keempat berbuat dosa. Selama manusia itu mempunyai nafsu yang turun
naik, mestilah ia mengerjakan salah satu dari pekerjaan yang dari empat macam
tersebut. Jika pada waktu itu lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa
sombong, takabur, dan tinggi hati pada-Nya. Tetapi jika ia teringat kepada
Tuhan pada waktu ia menerima nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur
kepada tuhan, yang akan membawa lebih baik kelakuannya.
Maka dengan
alasan-alasan itulah golongan tarekat mempertahankan zikir, tidak saja arti
mengingat Allah dalam hati, tetapi mengingat Allah senantiasa kala dengan
lidahnya untuk melatih segala anggotanya. Menurut anggapan mereka segala ibadat
yang dikerjakan tidak disertai dengan mengingat Allah atau tidak karena Allah,
maka ibadat itu akan kosong, akan hampa dari pahala yang sebenarnya.
1.
Istighfar
Tujuan
melakukan istighfar bagi umat Islam ialah untuk memohon ampunan kepada Allah
atas segala kesalahan, segala dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Bagi
orang-orang sufi istighfar ini memang dipentingkan karena mereka telah benar-benar
menyadari bajwa dalam dirinya terdapat debu-debu kotor berupa dosa dan
kesalahan.
2.
Tahlil dan Tasbih
Tahlil yang
berupa kata “laa ilaha illallah” merupakan suatu pernyataan, suatu kesaksian
dan suatu janji. Mengucapkan kalimat tahlil jika dilakukan dengan penuh
keyakinan diri dan konsentrasi maka hal tersebut termasuk suatu amalan dan
pernyataan keimanan. Bagi orang-orang sufi, tahlil ini selalu diucapkan dengan
bibir bergetar, sementara jiwa dan qalbunya tertuju hanya kepada Allah semata.
Tasbih adalah
suatu kalimat pengakuan bahwa Tuhan itu maha suci. Bagi orang sufi khususnya
dalam tarekat, tasbih memang tak pernah ditinggalkan, bahkan tasbih merupakan
suatu kebutuhan yang juga merupakan suatu prinsip dalam amalan ibadah. Mereka
selalu melakukannya dengan mesra dan melantunkannya dengan penuh kerinduan,
tentunya kerinduan kepada Allah Ta’ala.
3.
Tahmid dan Takbir
Tahmid adalah
bacaan atau kalimat “alhamdulillah” adapun takbir adalah membaca “Allahu
akbar”. Tahmid merupakan suatu pernyataan orang Islam dimana dibalik pernyataan
tersebut tersimpan suatu rasa syukur
bahwa segala puji hanyalah bagi Allah semata. Perasaan syukur tersebut sebagai
suatu pertanda bahwa seseorang telah mengakui semua nikmat Allah, karunia dan
semua yang telah dirasakan semata-mata karena pemberian Allah semata.
Sedangkan
takbir merupakan suatu amalan ibadah yang dibaliknya mengandung pengakuan
secara seyakin-yakinnya bahwa Allah itu Maha Esa dan yang paling besar.
4.
Ritual Wirid Dalam Tarekat
Wirid atau do’a
sebenarnya mempunyai arti yang senada. Dalam ajaran tarekat, wirid dan do’a
merupakan suatu kebutuhan kedua setelah ibadah wajib dan hal itu merupakan ciri
khas orang-orang sufi.[8]
Bahkan bentuk do’a dan zikir antara waktu yang satu dengan waktu yang lain
kadang-kadang tidak sama. Misalnya pada hari-hari Arafah mereka lebih
mengutamakan untuk melakukan ritual ini.
Demikian juga
mengenai tempat berdoa yang baik, seorang sufi harus dapat memilih tempat yang
dianggapnya sangat menguntungkan untuk melakukan ibadah do’a, sebab tempat yang
menguntungkan akan mendukung konsentrasi penuh dalam melakukan permohonan,
menyesali perbuatan dan memuja Allah SWT.
Dalam ajaran
Tassawuf tarekat do’a ini dikenal dengan istilah “munajah” dan “munadah”. Kedua
istilah itu artinya ialah meratapi diri dan berseru, memanggil atau menyebut
Allah.
Munadah secara
etimologi artinya berseru. Munadah dapat diartikan sebagai menyeru kepada Tuhan
dengan sepenuh hati. Kata munadah yang dipergunakan dalam do’a pada umumnya
merupakan suatu sebutan kepada Allah misalnya: Allahumma, ya rabbana, ya
Allah, ya Rabbi dan sebagainya yang mana semua itu dapat diartikan memangil
“ya Allah”. Ucapan dan kata-kata yang semacam itu disebut pada awal do’a dan
disisipkan di sela-sela kalimat.
Munajah secara
etimologi adalah mengeluh, merintih atau meratap. Dalam doa munajah ini
diartikan rintihan atau keluhan atau penyesalan diri atas dosa-dosa yang telah
dilakukan dan dengan harapan agar Allah sudi memberikan ampunan sehingga
terlepas dari dosa-dosa tersebut. Munajah tersebut juga merupakan suatu bentuk
kalimat atau kata-kata do’a yang tertata bagus, mesra dan indah.
F.
Silsilah Tarekat
Silsilah bagi
seorang syeikh atau guru tarekat merupakan syarat penting untuk mengajarkan
atau memimpin sesuatu tarekat. Mereka yang akan menggabungkan diri kepada
sesuatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah atau hubungan
guru-gurunya itu sambung bersambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi.[9]
Karena yang demikian itu dianggap perlu dan tidak boleh tidak, sebab bantuan
kerohanian yang diambil dari guru-gurunya itu harus benar, dan jika tidak benar
tidak berhubungan sampai kepada Nabi, maka bantuan itu dianggap terputus dan
tidak merupakan earisan dari pada Nabi. Murid tarekat hanya membuat bai’at,
sumpah setia atau janji, dan tidak mnerima ijazah dan khirqah, tanda
kesunggupan, kecuali kepada mursyid yang mempunyai silsilah yang baik.
Silsilah itu
merupakan hubungan nama-nama yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang
lain, biasanya tertulisbrapi dengan bahasa Arab di atas sepotong kertas, yang
diserahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amal-amal dan
sesudah menerima petunjuk-petunjuk, irsyad, dan peringatan-peringatan, talqin,
dan sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat-maksiat yang dilarang
oleh gurunya, ahd, dan menerima ijazah atau khirqah, sebagai tanda boleh
meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang lain.
Sebagai contoh
yang saya sebutkan oleh Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh (1996). Silsilah Syeikh
Muhammad Amin Al-Kurdi, salah seorang Syeikh tarekat Naqsyabandiyah terkenal,
tngl. 1332 H. Pengarang “Kitab Tanwirul Qulub”, yang menerangkan, bahwa ia
mengambil tarekat Naqsabandiyah itu dari Syeikh Umar, yang mengambil dari
ayahnya Usman, selanjutnya sambung-menyambung mengambil dari Syeikh Khalid,
Syeikh Abdullah Ad-Dahlawi, dari Habibullah Jan Janan Mazhur, dari nur Muhammad
Al-Badwani, dari Muhammad Saifuddin, dari Muhammad Ma’sum, dari ayahnya Ahmad
Al-Faruqi As Sarhandi, dari Muhammad Al-Baqi Billah, dari Muhammad Khawajiki
As-Samarqandi, dari ayahnya Darwis Muhammad As-Samarqandi, dari Muhammad
Az-Zahid, dari Ubaidillah As-Samarqandi, dari Ya’kub Al-Jarkhi, dari Muhammad
bin Muhammad Ala’uddin Al-Akhtar Al-Bukhari Al-Khawarizmi, yang mengambil dari
pencipta tarekat Naqsabandiyah sendiri, bernama Syah Naqsaband Baha’uddin
Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisi Al-Bukhari, yang mengambil pula dari Amir Kalal,
dari Muhammad Baba As-Samasi, dari Ali Ar-Ramitani, yang termasyhur dengan nama
Syeikh Azinan, dari Syeikh Mahmud Al-Anjir Faghnawi, dari Syeikh Arif
Ar-Riyuki, dari syeikh Abdul Khaliq Al-Khajduwani, dari Syeikh Abu Ya’kub Yusuf
Al-Hamdani, dari Syeikh Abu Ali Al-Fadhal At-Thusni, dari Syeikh Abdul Hasan
Ali bin Ja’far Al-Kharqani dari Syeikh Abu Yazid Thaifur Al-Bitsthami, dari
Imam Ja’far As-Sadiq, dari Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq, dari
Sulaiman Al-Farisi, sahabat Nabi dan Khalifah yang pertama, yang akhirnya
mengambil dari Nabi Muhammad SAW, yang menerima pula melalui Jibril dari Allah
SWT.
Demikianlah
jalannya silsilah itu, ada yang melalui Abu Bakar, ada yang melalui Ali bin Abi
Thalib, atau salah seorang sahabat yang lain, yang akhirnya sampai kepada Nabi.
Kepada Jibril dan kepada Tuhan, beberapa ajaran-ajarannya.
[1]
Drs. Moch. Siddiq, Mengenal Ajaran Tarekat Dalam Aliran Tasawuf,
(Surabaya: Putra Pelajar, 2001), hlm. 27.
[2]
Ibid., hlm. 26.
[3]
Prof. H. A . Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 278.
[4]
Drs. Moch. Siddiq, op.cit., hlm. 56.
[5]
Ibid., hlm. 59.
[6]
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1996), hlm. 140.
[7]
Drs. Moch. Siddiq, op.cit., hlm. 97.
[8]
Ibid., hlm. 210.
[9]
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, op.cit., hlm. 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar