MAKALAH MUNASABAH AL-QUR’AN






MUNASABAH AL-QUR’AN


A.      Pengertian Munasabah

Secara etimologi Munasabah berasal dari kata  ناَسَبَ , يُنَاسِبُ , مُنَاسَبَةً  yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. الْمُنَاسَبَة sama artinya dengan المُقَارَبَة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya. Annasib juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan[1] Sedangkan dalam bahasa Inggris secara leksikal diartikan suitability, correlation, analogy, namun sebagai instrumen analisis Al-Qur’an, munasabah dimaksudkan sebagai langkah analisis Al-Qur’an dengan jalan musyakah (mencari persamaan) dan muqarabah (mencari kedekatan) makna yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an[2].
Secara terminologi munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an. Munasabah ialah keterkaitan antara satu ayat dan ayat lain atau satu surah dengan surah lain, yang umum dengan yang khusus, yang kongkrit dengan yang abstrak, atau adanya hubungan keseimbangan, adanya segi-segi keserasian informasi Al-Qur’an dalam bentuk kalimat berita tentang alam semesta.
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaikan lafaz umum dan lafaz khusus, atau hubungan antara ayat yang terkait dengan sebab dan akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling terkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
Al-Qaththan berkata, munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam satu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antar surah dengan sura.
Menurut Ibnu Al-‘Arabi munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Sebagai kesimpulannya, munasabah adalah pengetahuan tentang berbagai hubungan unsur-unsur dalam Al-Qur’an, seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah pada suatu ayat, ayat dengan ayat pada suatu surah, surah dengan surah pada sekumpulan surah, surah dengan surah, termasuk hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah, antara fawatih Al-suwar dengan isi surah, fashilah (pemisah) dengan isi ayat, dan fawatih Al-suar dengan khawatim Al-suwar.

B.       Urgensi Munasabah
Ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang baku. Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, maka ilmu munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an.
Ilmu munasabah cukup erat korelasinya dengan ilmu tafsir. Karena itu kegunaannya juga tidak dapat dipisahkan dengan penafsiran ayat Al-Qur’an yang sangat berpengaruh dengan hasil penafsiran tersebut[3]. Sebagaimana asbab Al-nuzul, Munasabah dapat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Jika ilmu tentang asbab Al-nuzul mengaitkan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ilmu munasabah melampaui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan surah menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.
Menurut Al-Zarkasyi seperti dikutip Manna’ Khalil Al-Qattan menyatakan bahwa manfaat ilmu Munasabah adalah untuk menguatkan suatu pembicaraan yang dibahas sehingga bentuk susunan menjadi kukuh dan saling bersesuaian. Sedangkan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi menambahkan bahwa mengetahui munasabat akan menjadikan pembahasan seperti satu kata, memberi makna yang serasi serta maknanya yang teratur. Sedangkan manfaat lainnya adalah untuk menanggapi makna yang terkandung, merasakan nilai-nilai kemukjizatan, dapat memahami hukum yang terkandung didalam ayat yang dibahas dan mengetahui susunan kalimat yang serasi aerta ketinggian uslub yang dipergunakan. Selain itu manfaat ilmu munasabah juga dapat mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Dalam hal penafsiran bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya[4].
Jadi, sudah jelas bahwa memahami munasabah dalam al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat urgen, terutama dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan rasio demi memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim. Selain kaguanaan mempelajari munasabah dianggap penting, maka seseorang yang ingin menemukan korelasi/hubungan antar ayat atau antar surat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan rasio, agar terhindar dari kesalahan penafsiran, serta membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan membantu menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.
C.      Macam-Macam Munasabah
Dalam pembagian munasabah ini, para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokan munasabah dan jumlahnya, hal ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat, dari segi berbeda. Menurut Drs. H. A. Chaerudji Abd Chalik dalam ‘Ulum Al-Qur’an (Jakarta : Diadit Media, 2007), munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi sifat dan materi.
1.        Sifat
Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Zhahir Al-irtibath (ظـاهـرالإرتــبــــاط)
Zhahir Al-irtibath (persesuaian yang nyata) yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat satu dengan yang lain erat sekai sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat yang lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya, dapat kita cermati pada ayat 1 dan 2 surah Al-Isra yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul[5]:
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uŽó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 šÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÈ  
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
$oY÷s?#uäur ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# çm»oYù=yèy_ur Wèd ûÓÍ_t6Ïj9 Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) žwr& (#räÏ­Gs? `ÏB ÎTrߊ WxÅ2ur ÇËÈ  
“dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku”

Munasabah antara kedua ayat tersebut nampak jelas, yaitu bahwa kedua Nabi (Muhammad Saw dan Musa As) diangkat oleh Allah Swt sebagai Nabi dan Rasul, dan keduanya di-isra’-kan. Nabi Muhammad dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.
b.      Khafiy Al-irtibath (الإرتــبــــاط خــفـي)
Khafi Al-irtibath (persesuaian yang tidak nyata) yaitu persesuaian atau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan ayat lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di’Athaf-kan kepada yang lain, maupun yang satu bertentangan dengan yang lain[6]. Misalnya dapat kita cermati pada surah Al-Baqarah ayat 189 dan 190:
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ  
“ mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ムŸwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =ÅsムšúïÏtG÷èßJø9$# ÇÊÒÉÈ  
“dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”

Ayat 189 di atas menjelaskantentang bulan sabit (hilal), tanggal untuk tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Padahal kalaulah dicermati dapat diketahui munasabahnya, yaitu pada waktu haji umat islam dilarang berperang. Kecuali kalau diserang musuh, maka dalam kondisi demikian mereka boleh bahkan perlu melakukan balasan[7].
2.        Materi
Munasabah dari segi materinya terbagi menjadi dua, yaitu minasabah antar ayat dan munasabah antar surah.
a.              Munasabah Antar ayat
Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat, meliputi, pertama di-’athaf-kannya ayat yang satu kepada ayat yang lain, kedua tidak di-’athaf-kannya, ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi, kelima dipindahkannya satu pembicaraan kepembicaraan yang lain. Munasabah antar ayat dapat dilihat, misalnya antara ayat 2 dan 3 surah Al-Baqarah:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ  
“ (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Munasabah antara kedua ayat tersebut adalah pada ayat pertama menjelaskan peranan Al-Qur’an dan hakikatnya bagi orang bertakwa, sedangkan ayat kedua menjelaskan karakteristik dari orang-orang bertakwa.
Munasabah antar ayat mencakup beberapa bentuk, yaitu:
1)             Munasabah antar nama surah dan tujuan turunnya
Setiap surah mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tecermin pada namanya masing-masing, seperti surah Al-Baqarah (2), dan surah Yusuf (18), surah Al-Naml (27), dan surah Al-Jinn (72).
Seperti dapat dilihat pada pada firman Allah berikut:

“ dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (Al-Baqarah [2]: 67)

“ mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (Al-Baqarah [2]: 68)

“ mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." (Al-Baqarah [2]: 69)

“ mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." (Al-Baqarah [2]: 70)

“ Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu”. (Al-Baqarah [2]:71)

Cerita yang ada pada ayat tersebut adalah tentang sapi betina (Al-Baqarah) yang selanjutnya dijadikan nama surah, yaitu Al-Baqarah. Cerita tersebut mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah yang membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surah ini berkaitan dengan kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian, sedangkan salah satu bukti keimanan orang-orang dala surah itu harus ditunjukkan dengan sifat taat melaksanakan perintah Alah dengan ikhlas melalui Rasulnya, yaitu Musa As, antara lain dengan penyembelihan sapi.
2)             Munasabah antar bagian surah
Munasabah antar bagian surah (ayat atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh (perlawanan) seperti terlihat pada firman Allah berikut ini:
uqèd Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# 4 ÞOn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÍÈ  
“ Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[1453] Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid [57]: 4)

Pada ayat tersebut terdapat kata “yaliju” (masuk) dan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dan kata “ya’ruju” (naik)yang memiliki korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-‘adzab dan Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.
3)             Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid, tafsir, i’tiradh.
Munasabah antar ayat yang menngunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak disampingnya. Contohnya pada surah Al-fatihah ayat 1-2, yang dimana pada ungkapan rabb al’amin pada ayat ke dua memperkuat kata Al-rahman dan Al-Rahim pada ayat pertama.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ  
“ Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Fatihah [1]: 2)
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ  
“ Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-Fatihah [1]: 2)

Munasabah antar ayat yang menggunakan pola tafsir apabila makna satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Seperti pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2-4, kata muttaqin pada ayat ke dua ditafsirkan maknanya oleh ayat ketiga dan keempat.
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ  
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ  
“dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.

Munasabah antara ayat yang menggunakan pola i’tiradh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya. Misalnya pada firman Allah surah An-Nahl ayat 57, kata subhanahu pada ayat diatas merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.
tbqè=yèøgsur ¬! ÏM»oYt7ø9$# ¼çmoY»ysö7ß   Nßgs9ur $¨B šcqåktJô±tƒ ÇÎÐÈ  
“ dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan[831]. Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (Yaitu anak-anak laki-laki)”.

4)             Munasabah antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surah Al-Baqarah ayat 1-20 misalnya, Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orng bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
5)             Munasabah antara fashilah (pemisah) dan isi ayat
Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya memantapkan (tamkin) makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya pada surah An-Naml ayat 80, kalimat idza wallau mudbirin merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
y7¨RÎ) Ÿw ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# Ÿwur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sŒÎ) (#öq©9ur tûï̍Î/ôãB ÇÑÉÈ  
“ Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”.

6)             Munasabah antara awal dengan akhir surah yang sama
Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali diakhir surah ini. Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyir, munasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang ada baik di langit maupun di bumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya.
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÊÈ  
” telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
uqèd ª!$# ß,Î=»yø9$# äÍ$t7ø9$# âÈhq|ÁßJø9$# ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡ßsø9$# 4 ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇËÍÈ  
“ Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

b.             Munasabah antar surah
Munasabah antar surah tidak lepas dari pandangan holistik Al-Qur’an yang menyatakan Al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnyaterkait secara integral”. Pembahasan tentang munasabah antar surah dimluai dengan memposisikan surah Al-Fatihah sebagai Ummul qur’an, sehingga penempatan surah tersebut sebagai surah pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al-Qur’an.
Munasabah antar surah meliputi:
1)             Hubungan antara nama-nama surat
Misalnya surat Al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat An-Nur, lalu diteruskan dengan surat Al-Furqan. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka, sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil[8].
2)             Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya
Misalnya permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-waqi’ah memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.
ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ  
“ Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar”. (QS. Al-Waqi’ah [56]:96)
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ  
“ semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Hadid [57]: 1)
3)             Hubungan antara awal surat dan akhir surat
Misalnya munasabah antar permulaan surat Shad dan penutupannya yang menceritakan kisah orang kafir. Demikian halnya dengan surat Al-Qashash, dimulai dengan kisah Nabi Musa dan Fir’aun serta kaum kafir, sedang ayat yang terakhir menggambartkan pernyataan Allah agar umat islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengerti tentang hidayah[9].
4)             Hubungan antara dua surat dalam perihal materinya
Yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain. Misalnya munasabah antara isi kandungan surat Al-Baqarah sama-sama menjelaskan tentang aqidah, ibadah, mua’malah, kisah, janji, dan ancaman. Bedanya kandungan tersebut dalam surat Al-Fatihah dijelaskan secara umum sedangkan dalam surat Al-Baqarah dijelaskan secara perinci.


[1] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia,2006), hlm. 37.
[2] Zenrif MF, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, (Malang: UIN MALANG, 2008), hlm. 227.
[3] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an suatu pengantar, (Banda Aceh: YAYASAN PeNA BANDA ACEH, 2005), hlm. 79.
[4] ] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm. 173-174
[5] Ade Jamarudin, Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Hakim,2011), hlm. 182.
[6] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 161.
[7] Ade Jamarudin, op.cit, hlm. 182-183.
[8] Usman, op.cit, hlm. 188.
[9] Ade Jamarudin, op.cit, hlm. 185-186.

Tidak ada komentar: