Ads block
TEORI CARL ROGER (BERPUSAT PADA DIRI) (Psikologi Kepribadian)
By
Aile Pixel
TEORI CARL ROGER (BERPUSAT PADA DIRI) (Psikologi Kepribadian) PENDAHULUAN Pendekatan client centered memandang manusia sebagai makhluk yang dilah…
Baca selengkapnya »
EKSISTENSIALISME (Rollo May) (Psikologi Kepribadian)
By
Aile Pixel
EKSISTENSIALISME (Rollo May) (Psikologi Kepribadian) PENDAHULUAN Rollo May adalah seorang psikolog amerika yang terkenal dengan teori eksistensia…
Baca selengkapnya »
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Artikel (2)
- dinasti syafawi (1)
- makalah (21)
- Makalah Model Bimbingan dan Konseling (1)
- Novel (2)
- Puisi Kesedihan (2)
- slide (5)
About us
Total Pageviews
TEORI CARL ROGER (BERPUSAT PADA DIRI) (Psikologi Kepribadian)
TEORI CARL ROGER
(BERPUSAT PADA DIRI)
(Psikologi
Kepribadian)
PENDAHULUAN
Pendekatan client centered memandang
manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan pembawaan dasar yang baik, memiliki
kecenderungan yang bertujuan positif, konstruktif, rasional, sosial,
berkeinginan untuk maju, realistis, memiliki kapasitas untuk menilai diri dan
mampu membawa dirinya untuk bertingkah laku sehat dan seimbang, cenderung
berusaha mengaktualisasikan diri, memperoleh sesuatu dan mempertahankannya.
Teori Carl Rogers yang berpusat pada
diri atau yang dikenal dengan istilah client centere ini sering
digunakan sebagai pendekatan atau metode terapi dalam konseling. hal ini
dikarenakan jenis terapi klient centere memberi kesempatan dan kebebasan
kepada individu untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya, berkembang dan
terealisasi potensinya. Pada tulisan ini akan dibahas lebih mendetail mengenai
pandangan Rogers terhadap kepribadian manusia, dan implementasi teorinya dalam
bimbingan dan konseling.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Carl R Rogers
Carl
Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di oak Park, Illionis. Carl
Rogers merupakan anak ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Walter dan
Julia Cushing Rogers. Ayahnya merupakan seorang insinyur sipil, sehingga Carl
Rogers lebih dekat dengan ibunya. Orang tua Rogers merupakan orang yang taat
dalam beragama, sehingga Carl Rogers menjadi tertarik terhadap kitab Injil
serta buku-buku lain.
Ketika
Carl berusia 12 tahun, keluarga nya pindah ke daerah peternakan sekitar 30 mil
sebelah barat Chicago, dan disinilah ia menghabiskan masa remajanya. Dengan pendidikan
yang ketat dan banyak tugas yang harus diselesaikan, Carl menjadi remaja yang
agak terisolasi, tetapi mandiri dan memiliki disiplin diri yang kuat.
Mulai
memasuki masa kuliah, awalnya kuliah di Universitas Wisconsin Jurusan pertanian,
tapi kemudian berpindah ke jurusan Teologi untuk belajar pelayanan. Pada saat
itulah, dia terpilih sebagai salah satu dari sepuluh mahasiswa yang pergi ke
Beijing untuk mengikuti “Konferensi Federasi Mahasiswa Kristen se-Dunia” selama
enam bulan. Dengan mengikuti kegiatan tersebut Rogers merasa mendapatkan banyak
pengalaman baru yang memperluas pikirannya, dan dari sini juga dia mulai
meragukan sebagian dari sebagian dasar pandangan agama kristen.
Setelah
lulus, ia menikah dengan Helen Elliot (yang sebenarnya tidak disetujui orang
tuanya), kemudian pindah ke New York City, dan mulai menghadiri Union Theological
Seminary, yang terkenal sebagai lembaga keagamaan liberal. Di sana, ia
mengambil sebuah seminar yang diselenggarakan mahasiswa yang menyoal “mengapa saya memasuki pelayanan?”
Dari seminar tersebut, dia mengatakan kepada kita bahwa sebagian besar cara
kita berpikir peserta keluar dari kerangka agama. Rogers kemudian beralih ke
program psikologi klinis dan belajar di Columbia University. Dia mendapatkan
gelar Ph.D (doktor) pada tahun 1931. Mulai kerja dalam bidang klinis di
Rochester Society untuk program pencegahan kekerasan terhadap anak. Di klinik
ini, ia belajar tentang teori Otta Rank
dan teknik terapi, dan mulai mengembangkan pendekatan sendiri.
Pada
tahun 1940, Carl Rogers ditawari professor penuh di Ohio State. Pada tahun
1942, ia menulis buku pertamanya, “Counseling and Psychotherapy”.
Kemudian, pada tahun 1945, ia diminta untuk mendirikan sebuah pusat konseling
di University of Chicago saat masih bekerja di sana, pada tahun 1951 ia
menerbitkan karya besarnya, “Client Centered Therapy”, sebuah karya yang
menguraikan teori dasarnya.[1]
B.
Teori
Carl R Roger
Tokoh
psikologi humanistik selain Abraham Maslow, adalah Carl Rogers. Rogers menjadi
terkenal berkat metode terapi yang dikembangkannya, yaitu terapi yang berpusat
pada klien (client-centered therapy). Tekniknya tersebar luas di
kalangan pendidikan, bimbingan, dan pekerja sosial. Rogers sangat kuat memegang
asumsinya bahwa manusia itu bebas, rasional, utuh, mudah berubah, subjektif,
proaktif, heterostatis, dan sukar dipahami.[2]
1.
Struktur
Kepribadian
Dalam teori Carl Rogers, ada tiga
konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya yaitu self, organisme dan
medan fenomena. Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self,
sehingga dapat dikatakan self merupakan struktur kepribadian yang sebenarnya.
Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang terorganisir tersusun dari
persepsi ciri -ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai subyek
atau aku sebagai obyek) dan persepsi hubungan “I” atau “me”
dengan orang lain dan berbagai aspek kehidupan, berikut nilai-nilai yang
terlibat dalam persepsi itu. Konsep Self menggambarkan konsepsi orang tentang
dirinya sendiri, ciri-ciri yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep
self juga menggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai perannya
dalam kehidupan dan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.
Carl Rogers mendeskripsikan the self
atau self-structure sebagai sebuah konstruk yang menunjukan bagaimana setiap
individu melihat dirinya sendiri. Self ini dibagi menjadi 2 yaitu real self
dan ideal self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini, Ideal
self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu
sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut.
Perhatian Rogers yang utama adalah
bagaimana organisme dan self dapat dibuat lebih kongruen/sebidang. Artinya ada
saat dimana self berada pada keadaan inkongruen, kongruensi self ditentukan
oleh kematangan, penyesuaian, dan kesehatan mental, self yang kongruen adalah
yang mampu untuk menyamakan antara interpretasi dan persepsi self “I”
dan self “me” sesuai dengan realitas dan interpretasi self yang lain. Semakin
lebar jarak antara keduanya, semakin lebar ketidak sebidangan ini. Semakin besar
ketidak sebidangan, maka semakin besar pula penderitaan yang dirasakan. Jika tidak
mampu maka akan terjadi ingkongruensi atau maladjustment atau neurosis.
Selanjutnya adalah organisme.
Pengertian organisme mencakup tiga hal, yaitu:[3]
a.
Makhluk hidup.
Organisme adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya, tempat
semua pengalaman dan segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam
kesadar setiap saat.
b.
Realitas
subyektif. Organisme menanggapi dunia seperti yang diamati atau dialaminya.
Jadi realita bukan masalah benar atau salah melainkan masalah persepsi yang
sifatnya subjekstif.
c.
Holisme. Organisme
adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan pada satu bagian akan
mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi atau
bertujuan, yakni tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan
diri.
Dan
yang terakhir adalah medan fenomena. Keseluruhan pengalaman itu, baik yang
internal maupun eksternal, disadari maupun tidak disadari dinamakan medan
fenomena. Medan fenomena adalah seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang
hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.
2.
Dinamika
Kepribadian Manusia
Pendekatan client centered
memandang kepribadian manusia secara positif. Rogers bahkan menekankan bahwa
manusia dapat dipercaya karena pada dasarnya koperatif dan konstruktif. Setiap
individu memiliki kemampuan menuju keadaan psikologis yang sehat secara sadar
dan terarah dari dalam dirinya.[4]
Karena lebih menonjolkan aspek self
pada teorinya, pendektan client centered juga dianggap sebagai self-theory.
Untuk menjadi individu yang memiliki self yang sehat, klien memerlukan
penghargaan yang positif, kehangatan, cinta, kepedulian, dan penerimaan. Self
merupakan konsep mengenai diri dan hubungan diri dengan orang lain. Individu
akan bertingkah laku selaras dengan konsep self yang dimilikinya.
Self terbentuk
dengan sendirinya. Menurut Rogers self terbentuk melalui proses
asimilasi dan proses introyeksi. Asimilasi adalah pembentukan self akibat dari
pengalaman langsung individu. Sementara introyeksi adalah proses pembentukan self
karena adanya interaksi induvidu dengan orang lain atau lingkungan sekitar.
Proses asimilasi dan introyeksi yang terbentuk sebagai struktur self
adalah pengalaman yang sesuai dengan struktur self tersebut, sedangkan
pengalaman yang tidak sesuai akan ditolak atau dikaburkan.
Selanjutnya, Rogers mengungkapkan
bahwa dinamika kepribadian manusia adalah unik dan positif. Setiap individu
memiliki kecendrungan untuk mengaktualisasikan dirinya secara terarah dan
konstruktif. Kecendrungan ini bersifat inheren dan telah ada sejak individu
dilahirkan. Apabila individu memperoleh penghargaan positif dari lingkungannya,
ia akan dapat berkembang secara positif. Hal ini menandakan bahwa lingkungan
sosial sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian individu. Individu yang
telah terpenuhi kebutuhan afeksinya akan mampu berfungsi secara utuh yang dapat
ditandai dengan keterbukaan terhadap pengalaman, percaya kepada orang lain,
dapat mengekspresikan perasaan secara bebas, bertindak mandiri dan kreatif.
Tidak semua individu dapat memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga munculah
individu yang memiliki perilaku masalah.
C.
Client
Centered Sebagai Metode dalam Konseling
Carl R. Rogers mengembangkan client
sentered untuk diaplikasikan pada kelompok, keluarga, masyarakat dan lebih
kepada individu. Pendekatan ini dikembangkan atas anggapannya mengenai
keterbatasan dari psikoanalisis. Berbeda halnya dengan psikoanalisis yang
mengatakan bahwa manusia cendrung deterministik, Rogers menyatakan bahwa
manusia adalah pribadi-pribadi yang memiliki potensi untuk memecahkan
permasalahannya sendiri.
Willis mengatakan bahwa client
centered sering juga disebut dengan psikoterapi non-directive yang
merupakan metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog dengan
klien agar tercapai gambaran antara ideal self (diri ideal) dengan actual
self (diri sebenarnya). Ciri-ciri pendekatan client centered adalah:[5]
·
Ditujukan kepda
klien mampu memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.
·
Sasaran konseling
adalah aspek emosi dan perasaan, bukan aspek intelektualnya.
·
Titik tolak
konseling adalah masa sekarang (here and now) bukan masa lalu
·
Tujuan konseling
adalah menyesuaikan antara ideal self dan actual self.
·
Klien berperan
paling aktif dalam proses konseling, sedangkan konselor hanya bertindak pasif-reflektif
(konselor bukan hanya diam, tetapi membantu klien aktif memecahkan masalahnya).
1.
Peran
dan Fungsi Konselor
Menrut Rogers pada hakikatnya
konselor dalam client centered lebih menekankan aspek sikap daripada
teknik konseling, sehingga yang lebih diutamakan dalam konseling adalah sikap
konselor. Sikap konselor ialah yang memfasilitasi perubahan pada diri klien.
Konselor menjadikan dirinya sebgai instrumen perubahan. Konselor bertindak
sebagai fasilitator dan mengutamakan kesabaran dalam proses konselingnya.
Konselor berfungsi membangun iklim
konseling yang menunjang pertumbuhan klien. Iklim konseling yang menunjang akan
menciptakan kebebasan dan keterbukaan pada diri klien untuk mengeksplorasi
masalahnya. Hal terpenting yang harus ada adalah seorang konselor bersedia
untuk memasuki dunia klien dan memberikan perhatian tulus, kepedulian,
penerimaan, dan pengertian. Apabila ini dilakukan, klien diharapkan dapat
menghilangkan pertahanan dan persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf
fungsi pribadi yang lebih tinggi.
2.
Tujuan
Klient Centered
Tujuan dasar client centered
adalah menciptakan suasana konseling yang kondusif untuk membantu klien menjadi
pribadi yang dapat berfungsi secara utuh dan positif . titik berat dari tujuan client
centered adalah menjadikan tingkah laku klien kongruen atau autentik (klien
tidak lagi berpura-pura dalam kehidupannya). Klien yang tingkah lakunya
bermasalah cendrung mengembangkan kepura-puraan yang digunakan sebagai
pertahanan terhadap hal-hal yang dirasakannya mengancam. Kepura-puraan ini akan
menghambatnya tampil secara utuh dihadapan orang lain sehingga ia menjadi asing
terhadap dirinya sendiri.
Memalui terapi client centered
ini diharapkan klien yang mengembangkan kepura-puraan tersebut dapat mencapai
tujuan terapi, antara lain:[6]
a.
Keterbukaan pada
pengalaman.
b.
Kepercayaan
terhadap diri sendiri.
c.
Menghilangkan
sikap dan perilaku yang kaku.
d.
Bersikap lebih
matang dan teraktualisasi.
Hal penting lainnya yang ingin
dicapay dari client centered adalah menjadikan klien sebagai pribadi
yang berfungsi sepenuhnya (fully fungsctioning person) yang memiliki
arti sama dengan aktualisasi diri. Shakian dikutip dari Namora Lumongga Lubis,
menjelaskan secara detail yang dimaksud dengan fully fungsctioning person
sebagai berikut:
a.
Klien terbuka
terhadap pengalamannya dan keluar dari kebiasaan defenisinya.
b.
Seluruh
pengalamannya dapat disadari sebagai sebuah kenyataan.
c.
Tindakan dan
pengalaman yang dinyatakan akurat sebagaimana pengalaman yang sebenarnya.
d.
Struktur self-nya
kongruensi dengan pengalamannya.
e.
Struktur self-nya
dapat berubah secara fleksibel sejalan dengan pengalaman baru.
f.
Klien memiliki
pengalaman self-regard.
g.
Klien dapat
bertingkah laku kreatif untuk beradaptasi terhadap peristiwa baru.
h.
Dapat hidup dengan
orang lain secara harmonis karena menghargai perbedaan individual.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
konselor dan klien diharuskan untuk dapat membangun kerja sama yang baik. Sikap
dan keterampilan konselor adalah yang utama untuk menciptakan peran serta klien
secara aktif terlibat dalam konseling secara keseluruhan.nfaktor intelegensi
juga mempengaruhi apakah tujuan konseling dapat tercapai atau tidak. Hal ini
disebabkan karena klien lah yang bertindak paling banyak dalam menentukan
pilihan atau keputusan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. pemahaman dan
penalaran yang baik dari klien akan mempermudah pemecahan masalah sekaligus
proses aktualisasi dirinya.
3.
Teknik-Teknik
Client Centered
Berbeda dengan pendekatan konseling
lainnya, client centered sama sekali tidak memiliki teknik-teknik yang khusus dirancang untuk menangani klien.
Teknik yang digunakan lebih kepada sikap konselor yang menunjukkan kehangatan
dan penerimaan yang tulus sehingga klien dapat mengemukakan masalahnya atas
kesadarannya sendiri. adakalanya seorang konselor juga mengomunikasikan
penerimaan, kepedulian, dan pengertiannya kepada klien. Hal ini akan
memperjelas kedudukan klien sebagai orang yang dapat dimengerti.
Rogers mengemukakan beberapa sifat
konselor yang dijadikan sebgai teknik dalam client centered sebagai
berikut:[7]
a.
Empathy
adalah kemampuan untuk sama-sama merasakan kondisi klien dan menyampaikan
kembali perasaan tersebut.
b.
Positive regard
(acceptance) adalah menerima keadaan klien apa adanya secara netral.
c.
Congruence.
Konselor menjadi pribadi yang terintegrasi antara apa yang dikatakan dan yang
dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,
Dede Rahmat. 2011. Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia
Indonesia
Kuntjojo.
2009. Psikologi Kepribadian, Kediri: UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI
Lubis,
Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar konseling dalam Teori dan
Praktik, Jakarta: Kencana
Willis,
Sofyan S. 2014. Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung:
ALFABETA
[1] Dede Rahmat Hidayat, Psikologi
Kepribadian dalam Konseling, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 175-176.
[2] Awisol dalam Kuntjojo, Psikologi
Kepribadian, (Kediri: UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI, 2009), hlm. 40.
[3] FKIP Bimbingan dan Konseling –
Universitas Syiah Kuala, Teori Kepribadian Carl Roger (http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/48233123/Carl_Rogers_-_Teori_Kepribadian.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1492268074&Signature=u6%2FMvxt0DBkfSIMJegNOBik%2F%2FOY%3D&response-content-disposition=attachment%3B%20filename%3DTEORI_KEPRIBADIAN_CARL_ROGERS_-_CLIENT_C.pdf
Diakses: 16 April 2017)
[4] Namora Lumongga Lubis, Memahami
Dasar-Dasar konseling dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011),
hlm. 155.
[5] Sofyan S. Willis, Konseling
Individual Teori dan Praktek, (Bandung: ALFABETA, 2014), hlm. 63.
[6] Namora Lumongga Lubis, Op.cit.,
hlm. 157.
[7] Ibid., hlm. 159.
EKSISTENSIALISME (Rollo May) (Psikologi Kepribadian)
EKSISTENSIALISME
(Rollo May)
(Psikologi Kepribadian)
PENDAHULUAN
Rollo May
adalah seorang psikolog amerika yang terkenal dengan teori eksistensial
fenomenologi dan takdir. Dia percaya bahwa manusia itu adalah makhluk yang
bebas namun tetap saja ada keterbatasan yang tidak bisa dijangkaunya seperti
kematian, dan itulah yang disebut dengan takdir. Rollo May mencetus teori ini
berdasarkan masalah kehidupan yang ia rasakan dan menjelaskan bahwa ada prinsip
dasar (kecemasan, Rasa Bersalah, Intensionalitas, kebebasan & takdir, Love
& Will, dan Mitos) dan tahap perkembangan (Kepolosan, Pemerontakan, Awan
dan Kreatif) dari eksistensial fenomenologi dan takdir. Pada tulisan ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai teori eksistensial yang digagas oleh Rollo May.
A.
Biografi Rollo May
Rollo May lahir pada 21 April 1909 di Ohio, dan dibesarkan di
Mariane City, Michigan, Amerika Serikat. Ia hidup ditengah sikap anti
intelektual dari sang ayah. Ayahnya berkali-kali berkomentar bahwa gangguan
psikotik yang dialami oleh kakak Rollo May adalah karena terlalu banyak
belajar. Mungkin karena merasa bahwa pernyataan ayahnya “tidak manusiawi dan
merusak”, ia pun membenci penyakit anti intelektualisme, meskipun ia melihat
bahwa untuk hal-hal lain ayahnya adalah laki-laki yang sangat simpatik.[1]
Setelah belajar di Michigan State
University jurusan sastra Inggris singkat (ia diminta untuk meninggalkan kampus
karena menjadi editor sebuah majalah mahasiswa yang radikal), dia pindah ke
Oberlin College di Ohio, tempat menerima gelar sarjana muda pada 1930. Tiga
tahun kemudian, May menjelajahi Eropa bagian timur dan selatan sebagai seniman,
membuat lukiasan, dan mempelajari seni-seni lokal. Tujuan asli perjalanan May
adalah untuk menjadi pengajar bahasa inggris di Anatolia College di Saloniki,
Yunani. Memasuki tahun kedua, May mulai merasa kesepian dan memutuskan
menenggelamkan diri ke dalam pekerjaannya sebagai guru. Sejak saat itu, May
mulai mendengarkan suara hatinya, suara hatinya yang berbicara kepadanya
tentang keindahan. Pengalaman kedua di Eropa, dia menghadiri seminar musim
panas Alfred Adler pada 1932 di sebuah tempat peristirahatan di sebuah
pegunungan dekat Wina.
May kembali ke Amerika Serikat, 1933, May
masuk Union Theological seminary di
New York. May tidak masuk seminari untuk menjadi pendeta tetapi untuk mencari
jawaban terakhir bagi hakikat manusia. May berteman sampai lebih 30 tahun
dengan salah seorang guru, Paul Tillich, teolog eksistensialis, yang akan
memiliki dampak besar pada pemikirannya.
Dia melanjutkan studi psikoanalisis di William Alanson White Institute of
psychiatry, psychoanalysis dan psychology saat bekerja sebgai konselor bagi
siswa-siswa laki-laki di City College New York. Disini ia bertemu orang-orang
seperti Harry Stack Sullivan dan Erich Fromm. Tahun 1946, May membuka praktik
privatnya sendiri dan dua tahun sebagai pengajar di Insitut Wlliam Allason
White. Tahun 1949, kira-kira
diusianya 40 tahun, dia mendapat gelar Ph. D dalam psikologi klinis dari University of Columbia. Sebelum menerima
gelarnya, May terkena TBC di awal usia 30 tahun dan menghabiskan waktu 3 tahun
di Sanitarium Saranac New York. Pada waktu itu, belum ada obat untuk TBC, May
tidak tahu apakah dia kan hidup atau mati. Dia merasa tidak berdaya sama sekali
dan tidak bisa melakukan apapun kecuali menunggu diagnosa.
Di titik ini, dia mulai mengembangkan
sejumlah wawasan tentang hakikat penyakitnya. Dia mengamati bahwa pasien yang
menerima kondisi penyakitnya adalah orang-orang yang cenderung mati lebih
cepat, sementara yang berjuang melawan kondisi itu cenderung dapat bertahan
dihidup sedikit lebih lama. May menemukan bahwa penyembuhan adalah proses yang
aktif, bukannya pasif.
Selama sakit dan penyembuhannya, May
sanggup menyelesaikan sebuah buku tentang kecemasan. Setelah May sembuh dari
penyakitnya, dia menulis disertasi tentang kecemasan, dan tahun berikutnya
diterbitkan dengan judul The Meaning of
Anxiety. Karya paling terkenal May, Love
and Will, menjadi buku terlaris seluruh negeri dan memenangkan Ralph Waldo Emerson Award untuk kelompok
tulisan Humanistik.
Di sepanjang karirnya, May menjadi profesor
tamu di Harvard dan Princeton dan mengajar di banyak institut. Dia juga menjadi
profesor utama di University of New York
dan ketua di berbagai organisasi. Dalam hidup perkawinannya, May sempat
bercerai dua kali. Setelah 2 tahun menurun kesehatannya, ia menghabiskan
tahun-tahun terakhir hidupnya di Tiburon, California, sampai ia meninggal pada
22 Oktober 1994.
B.
Manusia dalam Pandangan Rollo May
Rollo May mengembangkan pemahaman manusia yang
didasarkan pada eksistensialisme. Secara umum, pandangan Rollo May mengenai
manusia terangkum dalam pandangan ontologisnya mengenai individu. Menurutnya,
setiap ahli psikologi yang mempelajari perilaku manusia seharusnya bertanya
mengenai sifat terbaik sebagai seorang pribadi dan bagaimana kita dapat
menjelaskan eksistensi terbaik dari manusia?
May terus mengakui bahwa ia membuat beberapa asumsi
ontologis dan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia.[2]
Pertama, ia mengungkapkan bahwa semua organisme hidup berpotensi
berpusat pada diri sendiri dan berusaha untuk mempertahankan pusat itu. Pada
psikoterapi pasien yang terlibat dalam upaya tersebut. Kedua, manusia memiliki kebutuhan dan kemungkinan
akan keluar dari keterpusatan untuk berpartisipasi dengan orang lain. Ini
mencakup resiko. Ilustrasinya dalam psikoterapi adalah ketika berjumpa dengan
terapis. Ketiga May menunjukkan bahwa penyakit adalah sebuah metode
untuk seorang individu agar berusaha mempertahankan dirinya untuk menjadi,
sebuah strategi untuk bertahan hidup, walaupun metode tersebut dapat membatasi
dan menutup potensinya untuk mengembangkan pengetahuan dan tindakannya. May
menegaskan bahwa manusia dapat berpartisipasi dalam tingkat self
consciousness, yang memungkinkan mereka untuk mengatasi situasi yang
mendesak serta mempertimbangkan dan mengaktualisasikan diri yang lebih luas.
Asumsi ontologis ini dapat memberikan kita struktural ilmu kepribadian. Mereka
mendahului aktifitas analisis, dan pada gilirannya, kegiatan analisis dapat
membantu kita untuk menerangi mereka.
Konsep psikologis harus berorientasi dalam kerangka
kerja ontologis. Jadi, may menunjukkan bahwa konsep pengalaman tak sadar dapat
dipahami dalam bentuk penipuan terhadap diri sendiri dan pengalaman, sehingga
seseorang tidak dapat aktual. May menafsirkan mitos dan konflik oedipus sebagai
indikasi dari masalah yang terjadi, hubungan seseorang dengan dunianya melalui
kemunculan kesadaran.
C.
Konsep Utama Eksistensialisme
Ada beberapa konsep yang digagas oleh May dalam teori
eksistensialisme, diantaranya sebagai berikut.[3]
1.
Sikap Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah gerakan filsafat dan
psikologi kontemporer di antara berbagai mazhab pemikiran yang muncul secara
spontan di Eropa. Gerakan ini berakar dari gerakan-gerakan perlawanan selama
Perang Dunia II yang dikembangkan oleh beberapa filosof, seperti Soren
Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean Paul Sartre
(1905-1980). Nama eksistensialisme berasrl dari bahasa Latin exsistere, yang
berarti berdiri keluar atau muncul. Pendekatan eksistensial memfokuskan pada
manusia ketika ia muncul dan menjadi sesuatu.
Di masa lalu, filsafat Barat secara tradisional
berusaha mencari hakikat ini, prinsip-prinsip yang tidak berubah serta hukum
yang mengatur eksistensi. Bentuk paling murni dari pendekatan tersebut adalah
matematika. Dalam psikologi, sikap para eksistensialis berupaya untuk memahami
kekuatan, drive, dan kondisi refleks manusia. Eksistensialisme menunjukkan
bahwa sebuah hukum harus benar dan nyata. "Dua kuda terbang ditambah dua
kuda terbang sama dengan empat kuda terbang" adalah suatu pernyataan
"benar" secara logika, tetapi bukan sesuatu yang nyata.
Eksistensialisme berusaha untuk menjembatani kesenjangan antara apa yang benar
secara abstrak dan apa yang eksis secara nyata.
Eksistensialisme menyatakan bahwa tidak ada kebenaran atau
kenyataan bagi kita sebagai manusia, kecuali kita berpartisipasi di dalamnya.
Pengetahuan bukan hanya kegiatan berpikir, melainkan melakukan suatu tindakan.
Eksistensialisme tidak harus mengesampingkan esensi, namun "eksistensi
mendahului esensi". Mungkin, tidak ada yang menyangkal mengenai validitas
dari konsep-konsep seperti pengondisian atau drive, namun hal ini hanya
menunjukkan bahwa kita tidak dapat menjelaskan secara tepat mengenai perilaku
seseorang, dan ini menjadi penyebab kita mencoba berbicara tentang abstraksi
kehidupan manusia. Walaupun secara konseptual benar, tetapi tidak menjelaskan
kehidupan yang nyata. Jadi, ketika kita menggunakan konsep tersebut, kita harus
menjelaskan bahwa kita telah mengabstraksikannya dari kehidupan personal, bukan
berbicara mengenai orang yang nyala keberadaannya
2.
Keadaan Sulit (Predicament)
Menurut May, masalah utama yang dihadapi manusia
pada pertengahan abad ke-20 adalah perasaan tidak berdaya, "keyakinan
bahwa individu tidak dapat berbuat secara efektif dalam menghadapi masalah yang
sangat besar dalam budaya, sosial,dan ekonomi". Perasaan tak berdaya ini
disebabkan oleh kecemasan dan hilangnya nilai-nilai tradisional.
3.
Ketidakberdayaan
Masalah ketidakberdayaan sekarang sudah makin nyata.
Zaman ini dianggap sebagai/aman ketidakpastian dan gejolak sosial. Kerusuhan
yang berkelanjutan di Timur Tengah, menggambarkan bahwa kita terjebak dalam
siluasi sejarah, yang tidak ada seorang pun atau sekelompok orang memiliki
kekuasaan yang signifikan. Kita mendengar bahwa perang dingin berakhir, namun
dunia lampak tidak aman. Negara maju sering bertindak seolab-olah tidak ada
masalah di negara berkembang. Padahal mereka tahu banyak masalah kemiskinan dan
penderitaan di sana. Peningkatan teknologi telah menjadikan kekuasaan sebagai
kekuatan impersonal yang otonom bertindak atas nama sendiri.
Pada awal tahun 1953, May mendapati bahwa banyak pasien
yang datang kepadanya karena mendeiita kekosongan batin. Ia mendapati bahwa
orang neurotik seringkali bertindak di luar kesadaran kebanyakan orang. May
menduga bahwa pengalaman kosong dan ketidakberdayaan yang dialami pasien akan
menjadi epidemi. Pada 1970-an banyak pembahasan mengenai potensi manusia, namun
sangat sedikit yang percaya pada kekuatan dalam diri individu yang membuat
perbedaan signifikan. Kelumpuhan perasaan ini banyak menghinggapi manusia
sepanjang tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Contoh yang paling mencolok dari
perasaan tidak penting dan tidak berdaya adalah impotensi terhadap ancaman
perang nuklir atau kecelakaan. Potensi bencana seperti itu meningkat dengan
cepat seiring dengan perasaan impotensi terhadap berkembangbiaknya kekerasan
dan permusuhan.
Ancaman perang nuklir dan keresahan sosial hanyalah
salah satu gejala dari masalah yang lebih mendalam. Sekarang ini banyak
manusia, baik pria maupun wanita yang merasa tidak berdaya dan tidak berarti.
Impotensi mengarah pada kecemasan dan represi, dan pada gilirannya akan menjadi
apatis. Impotensi dan apatis, serta berkembangnya kekerasan dan permusuhan
telah menjauhkan kita dari yang lain dan telah menyebabkan meningkatnya
isolasi.
4.
Kecemasan
Kecemasan menjadi istilah yang biasa digunakan untuk
menggambarkan zaman kegelisahan. Sebelum tahun 1950, hanya ada dua buku yang
secara khusus menampilkan gambaran yang objektif mengenai kecemasan dan
menyarankan cara-cara yang konstruktif untuk menanganinya. Masalah kecemasan
yang ditulis Freud dan konsep tentang kecemasan dari Kierkegaard. Setelah May
menulis The Meaning of Anxiety, yang diterbitkan pertama kali pada tahun
1950, ratusan topik sejenis kemudian mengikuti.
May mendorong upaya penelitian tentang hal ini. The
Meaning of Anxiety direvisi pada tahun 1977. Pada saat peluncurannya, May
menunjukkan minat yang besar terhadap anxiety. Dalam publikasinya, May
menunjukkan adanya kebutuhan manusia akan teori yang terpadu mengenai
kecemasan. Karya tersebut merupakan upayanya dalam mensintesis wawasan
psikologi dan filsafat. la telah menerapkan sintesis analisisnya terhadap
dilema cinta, kekuasaan dan kepolosan, kreadvitas, dan kebebasan, serta takdir.
Beberapa psikolog lebih suka menggunakan istilah
"stres" untuk menggambarkan kecemasan. Meskipun istilahnya tidak
akurat, tetapi kata stres lebih popular, karena berasal dari istilah teknik dan
fisika, sifatnya dapat diukur dengan mudah dan akurat. Sebenarnya, konsep stres
tidak cukup untuk menggambarkan kekhawatiran seperti yang dirasakan dalam
kecemasan. Selain itu, menunjukkan seperti adanya tekanan yang dirasakan
seseorang, sementara kecemasan terikat dengan kesadaran dan subjektivitas.
Kecemasan dalam eksistensialisme didefinisikan sebagai
"ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi yang disebabkan oleh ancaman
terhadap nilai-nilai yang dianggap penting oleh individu untuk menjaga
eksistensinya sebagai manusia". Kecemasan adalah ciri yang tak terelakkan
ketika menjadi manusia. Kecemasan merupakan sesuatu yang tanpa tujuan, karena
menyerang dasar dari struktur psikologis, dan persepsi diri seseorang berbeda
dengan dunia benda yang ada. Dengan demikian, dalam kecemasan terdapat jarak
antara diri dan objek yang rusak. Potensi kecemasan bersifat bawaan, walaupun
peristiwa-peristiwa tertentu merupakan ancaman yang dipelajari. Ketakutan
adalah ekspresi kecemasan dalam bentuk objek tertentu. Dalam budaya
kontemporer, terdapat kecenderungan bahwa kecemasan makin menggejala yang
disebabkan oleh isolasi dan alienasi interpersonal yang muncul dari pola tertentu.
Seorang individu dipandang sebagai objek dan validasi dirinya yang bergantung
pada kemenangan atas orang lain. Kecemasan di masa yang akan datang merupakan
salah satu gejala dari masalah yang lebih mendalam lagi.
Sekarang ini, banyak upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan kecemasan yang semakin meningkat. May mengingatkan kita bahwa
kita tidak bisa hidup dalam kondisi kosong secara berkelanjutan selama periode
waktu tertentu. Kita harus mengisi kekosongan, baik dari otoritas yang merusak,
narkoba, maupun alkohol. Pada awal abad ini, kevakuman emosional di Eropa
seperti diktator fasis diperbolehkan untuk meraih kekuasaan. Saat ini, banyak
anak muda yang menjadi korban alkohol dan obat-obatan. Masalahnya adalah
meskipun manusia sadar dan bertanggung jawab, tetapi mereka merasa tidak mampu
untuk mengikuti semua perubahan yang cepat dalam masyarakat kontemporer. Jika
kita mampu mengenali situasi historis yang memberikan implikasi psikologis,
kita mungkin dapat bergerak dari kegiatan merugikan diri sendiri kepada
kegiatan yang konstruktif.
5.
Nilai yang Hilang
Menurut May, sumber masalah yang kita alami
sekarang (di dunia Barat) ini terletak pada hilangnya pusat nilai-nilai dalam
masyarakat kita. Sejak zaman renaissance, nilai dominan dalarn masyarakat Barat
makin kompetitif. Prestise diukur dari pekerjaan dan kesuksesan finansial.
Padahal nilai-nilai tersebut tidak lagi efektif dalam dunia postmodern, karena
kita harus belajar untuk bekerja dengan orang lain agar dapat bertahan hidup.
Persaingan individu tidak lagi memberikan kebaikan untuk diri sendiri ataupun
bagi masyarakat, bahkan justru menimbulkan banyak masalah yang sebelumnya tidak
ada.
6.
Menemukan Kembali (Rediscovering) Perasaan
Dalam menemukan kembali kedirian,
kebanyakan orang harus mulai kembali ke awal dan menemukan kembali perasaan
mereka. Banyak dari kita hanya memiliki gagasan yang kabur dari apa yang kita
rasakan pada suatu waktu tertentu. Kita bereaksi terhadap tubuh kita
seolah-olah mereka terpisah dan berbeda. Sementara itu, kita menyangkal emosi
sendiri dan menganggap perasaan seperti mesin, menggambarkan mereka sebagai
"ramah", "sayang", dan sebagainya. Kita harus mengakui
bahwa kita memainkan peran aktif dalam menciptakan tubuh dan perasaan.
Kesadaran akan tubuh dan perasaan meletakkan dasar-dasar untuk mengetahui apa
yang diinginkan. Sangat sedikit orang yang
benar-benar mengetahui apa yang mereka inginkan. Menyadari keinginan seseorang
tidak berarti bahwa seseorang harus bertindak, tetapi kita tidak bisa memiliki
dasar apa pun untuk menilai apa yang kita ajcan dan tidak akan lakukan apabila
kita tahu apa yang ingin dilakukan.
Menjadi "seseorang" tidak memerlukan hubungan antara
perasaan dan keinginan, tetapi juga berjuang melawan hal-hal yang dapat
mencegah kita dari perasaan dan keinginan. Perkembangan manusia adalah proses
yang berbeda dari kesatuan asal bersarna ibu sampai menuju kebebasan sebagai
seorang ir.dividu. Memang betul bahwa tali pusat dipotong saat lahir, namun
saat itu bayi masih bergantung pada ibunya. Dalam rangka untuk memajukan dan
menjadi diri sendiri, seseorang harus menjadi dominan dan bebas dari kekuasaan
otoriter, bahkan jika perlu kembali mengambil peran oposisi terhadap orang tua
atau pihak lain yang berwenang. Kekanak-kanakan kita adalah ikatan kebergantungan
yang menjauhkan kita dari perasaan dan keinginan. Awal perjuangan melawan
otoritas eksternal, seperti saat kita tumbuh, masalah internal ada. Sebagai
orang dewasa, kita terus bertindak seolah-olah kita masih harus melawan
kekuatan-kekuatan yang memperbudak kita. meskiptm dalam kenyataannya kita yang
memperbudak diri sendiri.
7.
Empat Tahap Kesadaran Diri
May menjelaskan ada empat tahap kesadaran diri.
Pertama, adalah tahap kesadaran tidak bersalah sebelum diri lahir,
karakteristik tahap ini adalah bayi. Kedua, tahap pemberontakan individu yang
berusaha untuk membangun kekuatan batin. Para balita dan remaja digambarkan
sebagai orang yang berada pada tahap ini. Di sini, mungkin terdapat penentangan
dan permusuhan. Ketiga, tahap kesadaran diri, tahap ini mengacu pada keadaan
orang banyak, ketika mereka membahas kepribadian yang sehat. Dalam hal ini, melibatkan kemampuan untuk belajar, mengambil peran
dan hidup secara bertanggungjawab. Keempat, tahap kesadaran diri
kreatif, yang melibatkan kemampuan untuk melihat sesuatu yang luar biasa dari
seseorang, titik pandang yang tidak terbatas, dan mendapatkan kebenaran hakiki,
Tingkat ini terpotong melalui dikotomi antara subjektivitas dan objektivitas.
Tidak semua orang dapat mencapai tingkat kesadaran pada tahap ini. Hanya
sedikit orang yang mencapainya. Tahapan ini merupakan analog dari pengalaman
puncak Maslow. Hanya makna dari tindakan dan pengalamannya berada pada tingkat
yang lebih rendah..
8.
Tujuan Integrasi
Konsep May mengenai manusia adalah kesadaran
diri, mampu secara sadar, dan harus membuat pilihan. Dalam analisis
eksistensial kepribadian, May berusaha untuk melemahkan dualisme traditional,
yaitu antara subjek dan objekyang telah menghantui Barat. Pemahaman diri yarg
muncul sejak Descartes yang mengatakan bahwa kita sadar diri, baik sebagai
subjek maupun sebagai objek, mungkin menganggap diri sebagai satu kesatuan
dalam kaitan dengan tujuan dari integrasi. May mengungkapkan masalah-masalah
kunci dalam kepribadian dan berusaha menghindari kecenderungan abstrak yang
terjadi yang membawa kehidupan ke dalam dualisme dan konstruksi buatan.
9.
The Daimonic
May memperkenalkan konsep daimonic dan bersikeras
bahwa manusia harus berdamai dengannya. The daimonic adalah "setiap fungsi
alami yang memiliki kekuatan untuk mengambil alih seluruh pribadi". Seks,
kemarahan, hasrat untuk kekuasaan, semua ini mungkin menjadi jahat ketika
mereka mengambil alih diri tanpa memerhatikan integrasi diri. Kita dapat
menindas daimonic, tetapi kita tidak dapat menghindari akibatnya. Dalam menekan
itu, kita menjadi para budak.
Daimonic
berpotensi secara kreatif dan destruktif pada saat yang bersamaan.
Dengan menyadari hal itu, kita dapat mengintegrasikannya dalam diri kita. Kita
dapat belajar untuk menghargai setan internal dan mengizinkan mereka untuk
memberi kita garam kehidupan. The daimonic dimulai sebagai impersonal
dengan membawanya ke dalam kesadaran. Pemahaman akan lebih sensitif terhadap
kekuatan dalam satu tubuh dan kehidupan. Daimonic mendorong satu
struktur universal menuju realitas. Gerakan ini bergeser dari impersonal
pribadi ke dimensi transpersonal kesadaran
10.
Kekuasaan
Sebagaimana telah kita lihat, faktor dasar dalam
krisis kontemporer kita adalah perasaan ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan.
Kehidupan manusia dapat dilihat sebagai konflik antara mencapai rasa makna diri
seseorang di satu pihak, dan merasakan ketidakberdayaan di pihak lain. Kita
cenderung menghindari kedua belah pihak tersebut. Penyebabnya adalah karena
telah menjadi penyebab kejahatan dan karena ketidakberdayaan yang terlalu
menyakitkan untuk dipikul.
Kekerasan
menjadi tempat berkembang biak impotensi dan sikap apatis. Ketika kita membuat
orang-orang tidak berdaya, kita lebih suka mendorong kekerasan daripada
mengendalikannya. Tindak kekerasan seperti penyanderaan dilakukan oleh
orang-orang yang berusaha untuk meningkatkan harga diri mereka. Cara orang
tidak berdaya supaya merasa bermakna adalah dengan melakukan eksploitasi atau
membalas dendam dengan cara yang pasif-agresif, seperti penggunaan obat-obatan
dan alkohol.
Kekuasaan
adalah keadaan diri ontologisme, yang berpotensi untuk mengalami dan
mengekspresikan kehadiran kekuasaan dalam diri kita. Tidak seorang pun dapat
melarikan diri dari keinginan atau kekuasaan. Hal yangpenting dilakukan adalah
belajar untuk menggunakan kekuatan dalam situasi yang tepat, bersikap asertif,
bukan agresif. Kita harus menemukan cara-cara mendistribusikan kekuasaan agar
setiap orang dapat merasa bermakna.
D.
Penerapan Eksistensialisme dalam Konseling
Menurut
para eksistensialis, tujuan utama terapi adalah untuk membantu meningkatkan
pemahaman tentang diri dan cara seseorang berada di dunia. Konstruksi mengenai
pemahaman psikologis manusia ditempatkan di dasar ontologis, serta mengambil
makna dari situasi sekarang. Drive, dynamisme, atau pola perilaku
dipahami hanya dalam konteks struktur keberadaan orang tertentu. Sebagai
manusia, kita harus menyadari diri, akan keberadaan diri, bertanggung jawab
urituk diri sendiri, dan menjadi diri kita sendiri. "Untuk rnenjadi dan
tidak dapat" adalah sebuah pilihan yang kita buat setiap saat. Pengalaman
"Aku" adalah prasyarat untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu.
Menyadari
keberadaan diri sendiri tidak dapat dijelaskan dalam istilah sosial. Penerimaan
terapis untuk memfasilitasi "Aku" pengalaman, tetapi berarti secara
otomatis mengarah ke sana. Pertanyaan yang krusial adalah apa yang ada dalam
individu yang menerima kesadaran sendiri dan tanggung jawab atas keberadaannya,
apakah dalam kenyataannya ia dapat menerima. Kemunculan "Aku"
merupakan pengalaman yang identik dengan perkembangan ego. Terjadi pada tingkat
yang lebih mendasar dan merupakan prasyarat untuk mengembangkan ego berikutnya.
Dalam
rangka memahami apa artinya ada perlu memahami pilihan ketidakberadaan.
Kematian adalah suatu bentuk nyata ancaman ketidakberadaan. Tetapi sesuai
modus, ia merupakan alternatif yang lazim di zaman ini. Orang menyerahkan
identitas mereka sendiri agar dapat diterima oleh orang lain dan menghindari
kesepian. Tetapi dengan begitu, mereka kehilangan kekuasaan dan keunikan.
Sedangkan represi dan hambatan yang umum dalam pola-pola neurotik Freud menjadi
konformisme yang lebih umum, seperti penyangkalan terhadap potensi seseorang
yang mengarah pada pengalaman rasa bersalah. Bersalah ontologis tidak datang
dari budaya yang menghamoat, tetapi timbul dari fakta kesadaran diri dan
pengakuan bahwa seseorang belum memenuhi potensi dirinya. Dengan menghadapi
perasaan bersalah seperti dalam proses terapi telah menyebabkan efek konstruktif.
Dengan demikian, tugas utama terapis adalah memahami pasien dalam
"keberadaan" dan "ketidakberadaan" di dunia ini. Konteks
ini yang rnembedakan pendekatan eksistensial dengan teknik-teknik yang lain.
Manusia bukanlah suatu objek yang dikelola atau dianalisis. Berbagai teknik
psikoterapi dapat digunakan, bergantung pada metode mana yang terbaik yang
dapat mengungkap keberadaan pasien tertentu pada waktu tertentu.
May
percaya bahwa asosiasi bebas sangat berguna dalam mengungkapkan
intensionalitas. Hubungan antara terapis dan pasien dianggap nyata,
transferensi terjadi karena ada distorsi pertemuan terapeutik. Terapis berusaha
untuk membantu pasien dalam keberadaannya, sehingga terapi bukan untuk membantu
menyesuaikan diri dengan budaya tertentu atau bertujuan untuk menghilangkan
kecemasan, tetapi untuk mengalami satu eksistensi atau cara berada di dunia. May
memperingatkan terhadap penggunaan obat dalam psikoterapi. Ia percaya bahwa
obat memiliki efek dalam menghilangkan kecemasan pasien, tetapi juga menghilangkan
motivasi untuk berubah, sehingga menghilangkan kesempatan untuk belajar dan
menghancurkan sumber daya vital. Kadang-kadang, May menggunakan teknik yang
dikembangkan oleh terapis gestalt, seperti Fritz Peris. May menekankan
pada perilaku nonverbal untuk menunjukkan ketidakkonsistenan antara pernyataan
verbal dan non-verbal. Jika seorang pasien menyatakan bahwa dia takut tapi
sambil tersenyum, maka seharusnya orang yang ketakutan tidak tersenyum,
sehingga ia berusaha untuk mengeksplorasi makna tersenyum. Seorang pasien
mungkin akan diminta untuk berfantasi mengenai sesuatu yang bermakna, sementara
terapis duduk di kursi yang berlawanan sambil berkomunikasi dengan pasien
tersebut, kemudian berganti peran. Teknik seperti ini bertujuan untuk membantu
pasien menghadapi dan mengalami perasaan-perasaan yang sebenarnya. Akhirnya,
pendekatan May yang menekankan komitmen, karena ia percaya bahwa pasien tidak
dapat menerima wawasan sampai mcreka siap untuk mengambil keputusan yang
menentukan orientasi hidupnya.
KESIMPULAN
Psikologi
Eksistensial yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha perilaku manusia
untuk memahami manusia dengan mengatasi jurang pemisah antara subjek dan objek.
Psikologi Eksistensial sangat menekankan implikasi-implikasi falsafah hidup
dalam menghayati makna kehidupan manusia di dunia ini.
Eksistensialis percaya
bahwa psikolog keasyikan dengan keabsahan dan prediktabilitas yang berdiri di
jalan pemahaman yang sebenarnya. Mereka berusaha untuk mempelajari struktur
eksistensi manusia dan untuk melihat kesatuan per anak sebelum setiap
terpecahkan masalahnya menjadi subjek dan objek.
May mendefinisikan
kecemasan sebagai kekhawatiran akan ancaman. Kondisi ini mengalami peningkatan
dalam budaya kontemporer karena adanya isolasi dan alienasi interpersonal
DATAR PUSTAKA
Hidayat
Dede Rahmat. 2011. Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia
Indonesia
[1] Dede Rahmat
Hidayat, Psikologi Kepribadian dalam Konseling, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), hlm. 189.
[2] Ibid.,
hlm. 191.
[3] Ibid.,
hlm. 192.
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari Blog Ini
- September 2021 (6)
- Juni 2019 (12)
- April 2017 (1)
- Januari 2017 (2)
- Desember 2016 (2)
- September 2016 (1)
- Mei 2016 (8)
- April 2016 (7)
- Maret 2016 (2)
- November 2015 (3)
- Juli 2015 (1)
- April 2015 (2)
- Maret 2015 (2)
- Februari 2015 (1)
- November 2014 (1)
- Februari 2014 (1)
Translate
Popular Posts
-
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Disusun Oleh M khuzaifah ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan po...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara ...