Ads block
Instrumentasi dalam Bimbingan dan Konseling
By
Aile Pixel
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam melaksanakan bimbingan dan konseling, sebelum memberikan program bimbingan dan konseling guru bim…
Baca selengkapnya »
Makalah Konseling Anak dan Remaja - Perilaku Agresif Pada Anak dan Remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara umum sama, setiap…
Baca selengkapnya »
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Artikel (2)
- dinasti syafawi (1)
- makalah (21)
- Makalah Model Bimbingan dan Konseling (1)
- Novel (2)
- Puisi Kesedihan (2)
- slide (5)
About us
Total Pageviews
Instrumentasi dalam Bimbingan dan Konseling
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
melaksanakan bimbingan dan konseling, sebelum memberikan program bimbingan dan
konseling guru bimbingan atau konselor harus melakukan need assessment
dan pemahaman individu terlebih dahulu. Dari proses need assessment
tersebut kemudian disusunlah instrument dan media yang dapat membantu kinerja
guru bimbingan dan konseling dalam pelaksanaan berbagai layanan tersebut. Jenis
instrument dan media dalam bimbingan dan konseling beragam bentuknya yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam bimbingan
dan konseling dikenal adanya berbagai instrument yang dapat digunakan oleh
konselor untuk mendukung terselenggaranya pelayanan konseling itu. Instrument
terbagi dua, yaitu tes dan non-tes. Suatu instrument dinamakan tes apabila
jawaban responden atas soal-soal yang ada diperiksa berdasarkan benar salahnya
jawaban. Sedangkan instrumentasi non-tes adalah tidak diperiksa benar salahnya
melainkan untuk melihat gambaran tentang kondisi responden tanpa menekankan
apakah kondisi itu mutunya tinggi atau rendah.
Untuk itu penting bagi guru bimbingan dan konseling
untuk memahami prosedur penyusunan
instrument dan media bimbingan dan konseling yang baik. Pada makalah ini akan diuraikan penjelasan lebih mendetail
lagi mengenai instrumentasi bimbingan dan konseling.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, diantaranya ialah:
1.
Apa
pengertian instrumentasi bimbingan dan konseling?
2.
Apa
saja jenis instrumen dalam bimbingan dan konseling?
3.
Apa
fungsi instrumen dalam bimbingan dan konseling?
4.
Bagaimana
prosedur pengembangan instrumen dalam bimbingan dan konseling?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian instrumentasi bimbingan dan konseling.
2.
Untuk
mengetahui jenis instrumen dalam bimbingan dan konseling.
3.
Untuk
mengetahui fungsi instrumen dalam bimbingan dan konseling.
4.
Untuk
mengetahui prosedur pengembangan instrumen dalam bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Instrument Bimbingan Konseling
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia Instrumen merupakan sebuah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan
penelitian.
Smentara
definisi instrumentasi bimbingan konseling menurut Prayitno merupakan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk
mengumpulkan data dan keterangan tentang klien, tentang lingkungan klien, dan
lingkungan yang lebih luas. Pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan
berbagai instrument baik tes maupun non tes.[1]
Menurut Ibnu
Hadjar berpendapat bahwa instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi
kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara objektif.[2]
Menurut Sumadi
Suryabrata instrumen adalah alat yang digunakan untuk merekam pada umumnya
secara kuantitatif keadaan dan aktivitas atribut-atribut psikologis.
Atibut-atribut psikologis itu secara teknis biasanya digolongkan menjadi
atribut kognitif dan atribut non kognitif. Sumadi mengemukakan bahwa untuk
atribut kognitif, perangsangnya adalah pertanyaan. Sedangkan untuk atribut
non-kognitif, perangsangnya adalah pernyataan.[3]
Instrumentasi adalah upaya pegungkapan melalui pengukuran
dengan memakai alat ukur atau instrument tertentu. Hasil aplikasi ditafsirkan,
disikapi dan digunakan untuk memberikan perlakuan terhadap klien dalam
bentuk layanan konseling. Aplikasi
instrumentasi Bimbingn dan Konseling bermaksud mengumpulkan data dan keterangan
tentang peserta didik (baik secara individual maupun kelompok), keterangan
tentang lingkungan peserta didik, dan “lingkungan yang lebih luas” (termasuk
dalamnya informasi pendidikan dan jabatan).
B.
Jenis-Jenis Instrumen Bimbingan konseling
Dalam kegiatan
bimbingan dan konseling di sekolah, instrumentasi merupakan bagian dari
kegiatan pendukung, yang mana terbagi
dalam dua macam yaitu instrumen tes dan non tes.
1.
Instrumen Tes
Instrument tes
adalah suatu alat ukur atau alat yang digunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan, misalnya untuk mengetahui potensi seseorang. Sebagaimana
dikemukakan oleh Bimo Walgito “bahwa tes merupakan suatu metode pengumpulan
data atau fakta-fakta yang lain dari testi dengan menggunakan soal-soal,
pertanyaan, tugas lain dimaan persoalan/pertanyaan tersebut telah dipilih
dengan seksama dan telah di standardisasikan oleh tester.[4]
Tes merupakan himpunan
pertanyaan yang harus dijawab, atau pernyataan – pernyataan yang harus dipilih
atau ditanggapi, atau tugas – tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites
(testee) dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku atau
memperoleh informasi tentang trait atau atribut dari orang yang dites. Dalam setiap pertanyaan, peryataan, atau tugas
yang diberikan tersebut terdapat jawaban atau alternative yang dianggap benar.
Dengan demikian, maka setiap tes akan menuntut respons atau jawaban dari orang
yang dites (testee) yang dapat disimpulkan sebagi trait dari subjek yang
sedang dicari informasinya. Dari uraian ini tersirat bahwa tes berfungsi
sebagai alat (instrument) ataupun sebagai cara pengungkap informasi atau
pengumpul data tentang siswa.
a.
Tes Kecerdasan
Tes kecerdasan
digunakan untuk mengukur kemampuan akademik, kemampuan mental dan kemampuan
kecerdasan. Yang paling populer dari tes ini adalah digunakan untuk mengukur IQ
atau sering dikenal dengan nama tes kecerdasan Stanford-Binet, sesuai dengan
nama perancang yakni Alfred Binet pada tahun 1900-an. Selain itu ada pun tes
lain yang bisa digunakan yakni skala Wechsler yang dirancang oleh David
Wechsler. Skala Wecshler dirancang berbdasarkan perbedaan usia.
b.
Tes Bakat
Tes bakat
banyak digunakan oleh para konselor dan tenaga professional lainnya untuk mengidentifikasi:
· Kemampuan potensial yang tidak disadari individu.
· Mendukung pengembangan kemampuan istimewa atau potensial individu
tertentu.
· Menyediakan informasi untk membantu individu membuat keputusan
pendidikan dan karir atau alternative pilihan yang ada.
· Membantu memprediksi tingkat sukses akademis atau pekerjaan yang
isa di antisipasi individu.
· Berguna bagi pengelompokan individu dengan bakat serupa bagi tujuan
perkembangan kepribadian dan pendidikan.
Tes bakat dapat
dilakukan untuk mengungkapkan antara lain bakat khusus, tes bakat umum, tes
bakat unik tes bakat skolastik dan lainnya.
c.
Tes Inventori Minat
Inventori minat
dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pada setiap individu ada perbedaan dalam
minat baik secara umum maupun minat pekerjaan tertentu. Karena itu inventori
minat dirancang untuk menilai minat-minat pribadi dan mengaitkan minat-minat
tersebut dengan wilya kerja yang lain.
d.
Tes Kepribadian
Tes kepribadian
merupakan instrument untuk mengukur karakteristik emosi, motivasi, hubungan
antar pribadi dan sikap, sesuatu yang dibedakan dari bakat atau ketrampilan.
Tes kepribadaian yang standar dan popular digunakan antara lain: Indikator Tipe
Kepribadian Myers-Briggs (MBTI), Jadwal
Preferensi Pribadi Edwards (EPPS) dan Inventori Multifase Minesota
(MMPI).
e.
Tes Prestasi
Tes prestasi
belajar berhubungan dengan tingkat pengetahuan, keterampilan atau pencapaian
dalam suatu bidang sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi prestasi
anak-anak, mengelompokkan siswa menurut tingkat pengetahuannya dan memberikan
informasi pada orang tua tentang kelemahan dan kelebihan bidang akademik
anaknya.
2.
Instrumen Non-Tes
Instrumen
non-tes adalah alat yang digunakan untuk melihat gambaran tentang kondisi
responden, Instrumen nontes dapat diselenggarakan melalui tulisan atau lisan,
secara individual atau kelompok. Teknik Non-Tes lebih sesuai digunakan untuk
menilai aspek tingkah laku seperti, sikap, minat, perhatian, karakteristik dan
lain-lain.[5]
Teknik non-tes merupakan salah satu teknik dalam mengenali dan memahami
peserta didik sebagai individu. Teknis nontes berkaitan dengan prosedur
pengumpulan data untuk memahami pribadi siswa pada umumnya yang bersifat
kualitatif. Teknik nontes merupakan teknik pengumpulan data yang tidak baku dan
hasil rekayasa dari guru dan sekolah. Adapun kegunaan teknik nontes ialah untuk
mengumpulkan data yang tidak dapat dikumpulkan dengan teknik tes, seperti
kebiasaan belajar siswa baik di sekolah maupun di rumah, keterangan orangtua
dan lingkungannya mengenai diri siswa, dan lainnya.
Teknik nontes sangat penting untuk dipahami mengingat data siswa tidak
hanya menyangkut hal – hal yang sifatnya kuantitatif, biasanya berupa data
kognitif siswa, melainkan juga menyangkut hal – hal yang tidak kalah penting
untuk dikenali dan dipahami yaitu data – data kualitatif siswa, seperti aspek
non kognitif dan lingkungan siswa.
Untuk
melengkapi data hasil tes akan lebih akurat hasilnya bila dipadukan dengan
data-data yang dihasilkan dengan menggunakan teknik yang berbeda, dapat
disajikan alat pengumpul data dalam bentuk non-tes. Instrumen non-tes meliputi
berbagai prosedur, seperti pengamatan, wawancara, catatan anekdot, angket,
sosiometri, inventori yang dibakukan. Agar diperoleh hasil yang terandalkan,
pengamatan dan wawancara harus dilakukan dengan mempergunakan pedoman
pengamatan atau pedoman wawancara. Catatan anekdot merupakan hasil pengamatan,
khususnya tentang tingkah laku yang tidak biasa atau khusus yang perlu mendapatkan
perhatian tersendiri. Sementara angket dan daftar isian dipergunakan untuk mengungkapkan
berbagai hal, biasanya tentang diri
individu, oleh individu sendiri. Sosiometri untuk melihat dan memberikan
gambaran tentang pola
hubungan sosial di
antara individu-individu dalam
kelompok. Dengan sosiometri akan dapat dilihat individu-individu yang
populer, yang membentuk kelompok-kelompok tertentu, dan mereka yang terpencil
(terisolasi). Sedangkan melalui inventori
yang dibakukan akan
dapat diungkapkan berbagai
hal yang biasanya merupakan pokok pembahasan dalam rangka pelayanan
bimbingan dan konseling secara lebih luas, seperti pengungkapan jenis-jenis masalah
yang dialami individu, sikap dan kebiasaan belajar peserta didik.
a.
Observasi
Observasi diartikan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap
gejala yang tampak pada objek penelitian. Berikut ini alat dan cara
melaksanakan observasi:
·
Catatan anekdot (Anekdotal Record). Alat untuk
mencatat gejala-gejala khusus atau luar biasa menurut aturan kejadian, terhadap
bagaimana kejadiannya, bukan pendapat pencatat tentang kejadian tersebut.
·
Catatan Berkala (Insidental Record). Dilakukan
berurutan menurut waktu munculnya suatu gejala tetapi tadak dilakukan terus
menerus, melainkan pada waktu tertentu dan terbatas pula pada waktu yang telah
ditetapkan untuk tiap-tiap kali pengamatan.
·
Daftar Check (Check List). Penataan data
dilakukan dengan menggunakan sebuah daftar yang memuat nama observer dan jenis
gejala yang diamati.
·
Skala Penilaian (Rating Scale). Pencatatan data
dengan alat ini dilakukan seperti check list. Perbedaannya terletak pada
kategorisasi gejala yang dicatat. Dalam rating scale tidak hanya terdapat nama
objek yang diobservasi dan gejala yang akan diselidki akan tetapi tercantum
kolom-kolom yang menunjukkan tingkatan atau jenjang setiap gejala terasebut.
·
Peralatan Mekanis (Mechanical Device).
Pencatatan dengan alat ini tidak dilakukan pada saat observasi berlangsung,
karena sebagian atau seluruh peristiwa direkam dengan alat sesuai dengan
keperluan.
b.
Kuesioner
Kuesioner adalah alat pengumpul data yang berupa serangkaian pertanyaan
yang diajukan pada
responden untuk mendapatkan
jawaban. Tujuan umum kuesioner adalah untuk memperoleh informasi yang
relevan dengan tujuan penelitian dan memperoleh informasi mengenai suatu
masalah secara serentak.
Langkah-langkah penyusunan kuesioner menurut Triyanto adalah:[6]
·
Tahap persiapan: menjabarkan variabel-variabel yang
akan diukur.
·
Tahap pelaksanaan.
·
Tahap analisis hasil.
c.
Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data untuk memperoleh
data dan informasi dari siswa secara
lisan. Proses wawancara dilakukan dengan cara tatap muka secara langsung dengan
siswa. Selama proses wawancara petugas bimbingan mengajukan pertanyaan, meminta
penjelasan dan jawaban dari pertanyaan yang akan diberikan dan membuat catatan
mengenai hal-hal yang diungkapkan kepadanya.
d.
Otobiografi
Otobiografi merupakan karangan yang dibuat siswa mengenai riwayat hidupnya
sampai pada saat sekarang. Riwayat hidup ini dapat mencakup keseluruhan
hidupnya dimasa lampau atau beberapa aspek kehidupannya saja. Otobiografi
adalah suatu metode pengumpulan data dengan menuliskan riwayat hidup sendiri,
menyangkut riwayat pendidikan, riwayat prestasi, cita-cita dan harapannya masa
yang akan datang, atau menggunakan tulisan yang ada tentang kehidupan
seseorang.
e.
Sosiometri
Sosiometri merupakan suatu metode untuk memperoleh data tentang jaringan
sosial dalam suatu kelompok, yang berukuran kecil antara 10-50 orang, data
diambil berdasarkan prefensi pribadi antara anggota kelompok. Proses pembuatan
sosiometri dilakukan dengan jalan
meminta kepada setiap individu dalam kelompok lainnya untuk memilih anggota
kelompok lainnya (tiga orang) yang disenagi atau tidak dalam bekerjasama, yang
masing-masing nama disusun menurut nomor urut yang paling disenagi atau paling
tidak disenagi. Atas dasar saling
pilihan atara anggota kelompok ini inilah dapat diketahui banyak tidaknya
seorang individu dipilih oleh anggota kelompoknya, bentuk-bentuk hubungan dalam
kelompok, kepopuleran dan keterasingan individu.
C.
Fungsi Instrumen dalam Bimbingan Konseling
Secara umum kegunaan hasil pengungkapan melalui instruumen tes yaitu untuk
keperluan bahan diagnostik (baik diagnostik kesulitan belajar amupun diagnostik
kesulitan pribadi lainnya) bahan informasi dalam layanan penempatan pemilihan
program khusus, pemilihan kelanjutan studi, pemilihan lapangan kerja dan
penempatan lainnya.
Kegunaan hasil intsrumentasi tes bagi siswa antara lain:
·
Untuk memahami diri siswa, sampai dimana kemampuan
yang ia miliki.
·
Untuk memudahkan penempatan karir.
·
Membantu siswa untuk mengenal dirinya sendiri mengerti
apa kelabihan dan kekurangannya.
Sedangkan kegunaan hasil pengungkapan instrumen non-tes ialah dapat
membantu konselor dalam:
·
Memperkokoh dasar-dasar pertimbangan berkenaan dengan
berbagai masalah pada individu seperti masalah penyesuaiyan dengan lingkungan,
masalah prestasi hasil belajar, masalah penempatan dan penyaluran.
·
Memahami sebab-sebab terjadinya masalah dari individu.
·
Mengenali individu yang memiliki kemampuan yang sangat
tinggi dan sangat rendah yang memerlukan bantuam khusus.
·
Memperoleh gambaran tentang kecakapan. Kemampuan atau
keterampilan seseorang individu dalam bidang tertentu.
Sedangkan kegunaan hasil intsrumentasi non-tes bagi siswa antara lain:
·
Membantu siswa memperoleh pemahaman diri dan
pengarahan diri dalam proses mempersiapkan diri untuk bekerja dan berguna dalam
masyarakat.
·
Siswa dapat menilai dan memahami dirinya terutama
mengenai potenti dasar, minat, sikap, kecakapan dan cita-citanya.
·
Siswa akan sadar dan memahami nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat.
·
Siswa dapat menemukan hambatan-hambatan yang sifatnya
dari dirinya dan dapat mengatasi hambatan-hambatan itu.
·
Membantu siswa dalam melaksanakan masa depannya,
hingga dia mampu menemukan karier yang cocok dalam kehidupannya.
D.
Prosedur Pengembangan Instrumen Bimbingan
dan konseling
Menurut Anastasi, ada beberapa
pertimbangan yang perlu mendapat perhatian para konselor dalam penggunaan
prosedur asesmen dalam bimbingan dan konseling. Antara lain adalah:[7]
1. Instrumen yang dipakai haruslah yang sahih
dan terandalkan. Pemilihan instrumen yang akan dipergunakan didasarkan atas
ketepatan kegunaan dan tujuan yang hendak dicapai.
2. Pemakai instrumen (dalam hal ini konselor)
bertanggung jawab atas pemilihan instrumen yang akan dipakai, monitoring
pengadministrasiannya dan skoring, penginterpretasian skor dan penggunaannya
sebagai sumber informasi bagi pengambilan keputusan tertentu.
3. Pemakaian instrumen, harus dipersiapkan
secara matang, bukan hanya persiapan instrumennya saja, tetapi persiapan klien
yang akan mengambil tes itu. Klien hendaknya memahami tujuan dan kegunaan tes
itu dan bagaimana kemungkinan hasilnya.
4. Perlu diingat bahwa tes atau instrumen apa
pun hanya merupakan salah satu sumber dalam rangka memahami individu secara
lebih luas dan dalam.
Penyusunan tes dilakukan melalui tiga tahap, yaitu perencanaan tes,
penulisan tes dan analisis tes. Perencanaan tes dilakukan dengan
langkah-langkah:
1. Menetapkan tujuan tes.
2. Menetapkan hasil belajar yang akan diukur.
3. Mempersiapkan tabel spesifikasi.
4. Menetapkan isi materi tes.
5. Menetapkan butir tes.
6. Menyiapkan norma aturan.
7. Mempersiapkan kunci jawaban/scoring.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Instrumentasi adalah upaya pegungkapan melalui pengukuran
dengan memakai alat ukur atau instrument tertentu. Instrument dalam bimbingan
konseling adalah alat untuk mengumpulkan data-data tentang konseli, sehingga
dengan adanya data yang akurat tersebut maka pemberian bimbingan dapat dilaukan
secara efektif.
Instrumen dalam bimbingan konseling dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu instrumen yang berbentuk tes, yang meliputi; tes, kecerdasan,
ter bakat, tes inventori minat, tes kepribadian, dan tes prestasi. Dan
instrumen berbentuk non tes, yang meliputi; observasi, wawancara, otobiografi,
dan sosiometri.
B.
Saran
Instrumentasi
dalam bimbingan dan konselingsangat dibutuhkan oleh seorang konselor dalam
mengumpulkan data konseli. Untuk itu sangat direkomendasikan bagi para
mahasiswa bimbingan dan konseling untuk mempelajari lebih mendalam lagi
mengenai instrumentasi bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi,
Anne. 2007. Tes Psikologi, Jakarta: PT. Indeks
Hadjar,
Ibnu. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan,
(akarta: RajaGrafindo Persada
Prayitno. 1997. Pelayanan Bimbingan dan Konseling (SLTP), Padang: Seri
Pemandu Pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di
Sekolah
Suryabrata,
Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Triyanto,
Agus. 2010. Pengembangan Media Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta
[1] Prayitno, Pelayanan Bimbingan dan
Konseling (SLTP), (Padang: Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, 1997), hlm. 38.
[2] Ibnu Hadjar, Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996), hlm. 160.
[3] Sumadi
Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008), hlm. 52.
[5] http://rahmiati-amdan.blogspot.co.id/2013/09/penggunaan-istrumentasi-bk-non-tes_9.html (Diakses: 30
Maret 2017)
[6] Agus Triyanto,
Pengembangan Media Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta, 2010), hlm. 80.
[7] Anne Anastasi,
Tes Psikologi, (Jakarta: PT. Indeks, 2007), hlm. 43.
Makalah Konseling Anak dan Remaja - Perilaku Agresif Pada Anak dan Remaja
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara
umum sama, setiap anak dituntut untuk dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal
(perilaku) yang menjadi tugas perkembangannya dengan baik. Semakin besar
tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah yang dihadapi anak tersebut.
Masalah-masalah tersebut akan membuat anak sulit untuk melakukan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, sehingga mereka melakukan berbagai tindakan
negatif seperti penolakan, ketidaksabaran, dan lain-lain. Banyak sekali insiden
yang terjadi sebagai manifestasi perilaku agresif, baik secara verbal (kata-kata)
maupun non-verbal (action). Saat ini, ekspose berbagai ragam perwujudan daripada
perilaku agresi bisa kita jumpai hampir pada setiap media massa, bahkan dalam
kehidupan lingkungan kita.
Dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perilaku agresif yang ada pada
anak dan remaja.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian perilaku agresif?
2.
Bagaimana
naluri perilaku agresif?
3.
Bagaimana
pemberlajaran tindakan agresif?
4.
Bagaimana
hubungan televisi dengan perilaku agresif?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian perilaku agresif.
2.
Untuk
memahami naluri perilaku agresif.
3.
Untuk
menjelaskan pemberlajaran tindakan agresif.
4.
Untuk
menguraikan hubungan televisi dengan perilaku agresif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perilaku Agresif
Dalam
ensiklopedia psikologi sosial agresi adalah segala bentuk perilaku yang
disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya dan pihak
lainnya berusaha untuk menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat 4
masalah penting dalam agresif. Pertama, agresi merupakan perilaku. Dengan
demikian segala aspek perilaku juga terdapat didalam agresi, terutama emosi.
Kedua, ada unsur kesengajaan. seorang korban tabrakan pada umumnya tidak bisa
dikatakan sebagai hasildari agresi, terlebih lagi bila pengendara sebenarnya
sudah berusaha menghindarinya. Di sisi lain seorang ibu yang sengaja mencubit
anak tetapi karena tidak bertujuan melukai, justru mendidik, tidak bisa
dikatakan agresif. Ketiga, sasarannya adalah makhluk hidup, terutama manusia.
Orang yang marah besar, tetapi disalurankan dengan menendang bola, belum
dikatakan sebagai agresi. Keempat, ada usaha menghindar pada diri korban.[1]
Secara umum,
agresi memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, dimana keduanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut
“pernyataan diri” (assertiveness), yakni memperkuat kesadaran diri tanpa
merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan sisi negatifnya kita namakan
tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat pada perampasan hak-hak atau kesadaran diri orang lain.[2]
B.
Naluri Prilaku Agresif
Zastrow dikutip
dalam Badrun Susantyo[3] masih
meyakini dan beranggapan bahwa manusia itu sama ada halnya hewan, yang juga
memiliki naluri (instinct) bawaan yang sifatnya agresif. Pendapat ini
menyiratkan bahwa naluri (instinct) merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan
yang bisa membangkitkan perilaku agresif. Perilaku ini akan muncul manakala kebutuhan-kebutuhan
dasarnya (basic needs) tidak terpenuhi, seperti halnya kebutuhan akan
makan, rasa aman dan kebutuhan dasar lainnya. Perilaku agresif disebabkan oleh
karena faktor instingtif dalam diri manusia dan perilaku ini dilakukan dalam
rangka adaptasi secara evolusioner. Perilaku agresif yang dikembangkan biasanya
merupakan upaya untuk mempertahankan teritori dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup. Dalam konsep ini dikenal dengan agonistic aggression.
Perspektif
sosio-biologi percaya bahwa perilaku agresif berkembang karena adanya kompetisi
sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya yang terbatas. Dalam pandangan ini,
manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu
terbatas, ketika mengalami ketidak nyamanan, ketika sistem sosial tidak
berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar. Hal ini dilakukan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tindakan ini dilakukan
manusia agar tetap survive, untuk tetap menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya
ataupun membangun dan mengembangkan komunitas. Tanpa agresi manusia akan punah atau
dipunahkan oleh pihak lain. Perilaku agresif menurut perspektif ini merupakan sesuatu
yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya.
C.
Tindakan Agresif yang Dipelajari
Agresivitas
dapat diterangkan melalui pendekatan belajar. Agresi merupakan tingkah laku
yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus) sebagai
determinan pembentuk agresi tersebut. Pendekatan ini dikembangkan lagi oleh
ahli-ahli lain yang percaya bahwa proses belajar berlangsung dalam lingkup yang
lebih luas di samping melibatkan faktor-faktor eksternal dan internal.
1.
Pemodelan
Remaja dan
anak-anak didaerah pertempuran seperti Lebanon, misalnya, sering melihat dengan
mata kepala sendiri berbaai usaha untuk saling membunuh. Hanya dengan melihat
berbagai kejadian yang menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses
meniru seperti itu biasa disebut pemodalan atau imitasi. Salah satu
karakteristik penting dalam proses modeling ini adalah adanya hubungan
emosional yang kuat antara model dengan peniru. Biasanya orang ditiru adalah
orang yang dikagumi. Bahkan proses ini sering terjadi tanpa kesengajaan.
Misalnya orang tua yang memukul anaknya karena salah sering ditiru oleh anak
pada kesempatan lain ketika anak tersebut menyalahkan orang lain, sperti orang
bermain.[4]
2.
Pembelajaran
Dalam proses
pemodelan, meskipun peniru merasa mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang
sama dengan pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki hubungan
yang jelas dalam konteks prosesnya. Di sisi lain sering ada kesengajaan
seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu perbuatan dengan memberi imbalan
apabila orang tersebut mau melakukan. Dalam diri orang yang melakukan perbuatan
itu tertanam adanya hubungan antara imbalan tersebut dengan perilakunya.
Hubungan inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar terkondisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
agresifitas
a.
Faktor
Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi
perilaku agresi:
· Gen
tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang
mengatur perilaku agresi.
· Sistem otak
yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat
sirkuit neural yang mengendalikan agresi.
· Kimia darah.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan)
juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
b.
Faktor Naluri atau Insting
Menurut Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia
terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri kehidupan ) dan thanatos (naluri
kematian) agresi adalah ekspresi dari naluri kematian (thanatos). Agresi dapat
diarahkan kepada orang lain atau sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat
pula pada diri sendiri (internal).
c.
Faktor sosial learning (peran
belajar model kekerasan)
Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari
beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan
melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema
kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat
dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun,
sinetron, sampai film laga.
Proses belajar merupakan mekanisme
utama yang menentukan perilaku agresi manusia. Bayi yang baru lahir menunjukkan
perasaan agresi yang sangat impulsif, tetapi akan semakin berkurang dengan
bertambahnya usia, sehingga akan mengendalikan dorongan impuls agresinya secara
kuat dan hanya melakukan agresi dalam keadaan tertentu saja. Perkembangan ini
terutama disebabkan oleh proses belajar. Menurut teori belajar, perilaku agresi
didapatkan melalui proses belajar. Belajar melalui pengalaman, coba-coba (trial
and error), pengajaran moral, instruksi, dan pengalaman terhadap orang
lain. Oleh karena itu, mempelajari kebiasaan melakukan perilaku agresi dalam
beberapa situasi dan menekankan amarah dalam situasi yang lain, bertindak
agresi terhadap beberapa orang tertentu, dan tidak terhadap yang lain, adalah
penting untuk mengendalikan perilaku agresi.
d.
Provokasi
Sering terjadi
agresi sebagai usaha untuk membalas agresi. Sebagaimana dikemukakan pada
penjelasan definisi, dalam agresi ada usaha pihak calon korban untuk
menghindari. Bentuk-bentuk penghindaran ini tidak saja sekedar menghindari,
tetapi ada yang berusaha dengan jalan memberi perlawanan. Bahwa tidak selamanya
agresi dan menyerang dalam bentuk fisik, tetapi juga meliputi penyerangan
verbal.
e.
Kondisi
Aversif
Kondisi aversif
adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh
seseorang. Menurut Berkowitz (1983) keadaan yang tidak menyenangkan merupakan
salah satu faktor penyebab agresi. Alasannya adalah orang selalu berusaha
mencari keseimbangan. Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang
akan mencoba membut keseimbangan dengan jalan, antara lain, berusaha
menghilangkan atau berubah situasi itu. Apabila situasi yang tidak menyenangkan
adalah makhluk hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang
tersebut.
f.
Isyarat
agresi
Isyarat agresi
adalah stimulus yang diasosiasikan dengan sumber frustasi yang menyebabkan
agresi. Bentuknya bisa berupa senjata tajam atau bisa orang yang menyebabkan
frustasi. Sebagai contoh adalah orang yang dekat dengan senapan laras panjang
atau pedang akan lebih cepat menjadi agresif meskipun dengan sedikit stimulasi.
Efek senjata ini hanya sebagai pemacu terjadinya agresi, bukan penyebab utama.
g.
Kehadiran
orang lain
Kehadiran
orang, terutama orang diperkirakan agresif, berpotensi untuk menumbuhkan agresi.
Diasumsikan bahwa kehadiran tersebut akan berpartisipasi ikut agresi. Di lain
pihak, kehadiran orang lain justru sering menghambat agresi, terlebih lagi bila
orang tersebut adalah pemegang otonomi yang berwibawa, seperti polisi .
h.
Karakteristik
individu
Berbagai
penyebab diluar individu yang bersangkutan akan sulit mencetuskan perbuatan
agresif tanpa ada faktor dari dalam. Fenomena yang paling sering terlihat
adalah stimulusi dari beberapa faktor akan memperkuat potensi dalam diri
individu yang kemudian memunculkn perilaku agresi.[5]
i.
Amarah
Marah merupakan emosi yang amat sukar untuk menerima
dan untuk mengungkapkannya. Rasamarah menunjukkan bahwa perasaan orang sudah
tersinggung oleh seseorang, bahwa sesuatu sudah tidak baik.[6]
Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut
disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Marah merupakan emosi yang memiliki
ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan
ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah
perilaku agresi.
j.
Frustasi
Orang-orang
mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang
diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat
daripada frustasi itu mungkin timbul perasaan-perasaan kejengkelan atau
perasaan-perasaan agresif. Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat
disalurkan kepada usaha yang positif, tetapi kerap kali perasaan tersebut
meluap-luap dan mencari “outlet”nya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya
dengan tindakan-tindakan yang agresif. Apabila segolongan orang mengalami
frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan mudah sekali
perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang
diprasangkainya. Yang lalu diserangnya secara kurang atau lebih intensif.
Demikianlah kiranya kejadian-kejadian psychis yang membelakangi
tindakan-tindakan diskriminatif atau tindakan agresif terhadap orang-orang dari
golongan yang dikenai prasangka-sosial.
D.
Korelasi Tayangan TV dengan Perilaku
Agresif pada Anak dan Remaja
Setiap hari
dapat dijumpai berbagai bentuk kekerasan. Setiap kali membuka surat kabar,
pasti dijumpai berita-berita mengenai pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan
sebagainya. Televisi adalah guru yang sangat efektif karena dengan menonton
televisi, para pemirsa, terutama anak-anak, dapat mempelajari perilaku yang
ditujukan untuk orang dewasa mengenai peran pria dan wanita, suami dan istri,
atau polisi dan kriminal. Masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan
kekerasan di televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta selalu menayangkan
film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat, maupun horor.
Di Indonesia, kekerasan yang disaksikan di televisi tidak hanya terjadi pada
film saja. Kekerasan dapat juga disaksikan setiap hari dalam siaran berita,
dari stasiun televisi.
Hurlock dalam
Junia Trisnawati[7] menyatakan perkembangan identitas remaja
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tokoh idola. Tokoh idola
adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh remaja sebagai figure yang memiliki
posisi di masyarakat. Remaja bisa banyak menemukan tokoh figure idolanya
melalui media, baik media cetak maupun media elektronik. Hal ini menyebabkan
kecendrungan remaja untuk meniru perilaku tokoh idolanya menjadi tinggi
termasuk perilaku agresif.
Beberapa akibat
penayangan kekerasan di media massa, sebagai berukut: Memberi pelajaran bahwa
dengan perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan
perilaku agresif; Menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan
terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak
lumrah dan bisa diterima; Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan
dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial); Membentuk citra
manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang
tidak aman untuk hidup. Khusus media massa televisi yang merupakan media
tontonan dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk
mengamati apa yang disampaikan dengan jelas. Oleh karena itu, kemudian dilakukan
penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan hipotesa “mengamati
kekerasan akan meningkatkan agresivitas”
E.
Prilaku Agresif Karna Tekanan dan
Frustasi
Penelitian
Khamsita yang dikutip dari Junia
Trisnawati[8]
menyatakan faktor frustasi berhubungan dengan dengan perilaku agresif, dimana
semakin tinggi frustasi remaja maka akan semakin tinggi perilaku agresifnya.
Perilaku agresif yang dilakukan remaja di sekolah yaitu perilaku agresif fisik
dan verbal dan perilaku agresif tersebut disebabkan frustasi, kekuasaan, suhu
dan provokasi. Frustation-aggresion Theory menyatakan bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengaharapan atau tindakan tertentu mengalami hambatan
maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi.
Agresif merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Jadi hampir semua
orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat frustasi. Remaja miskin
yang nakal adalah akibat dari frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah
dan berperilaku agresif. Frustasi ini kemudian melahirkan agresif, karena
agresif bisa meringankan emosi negatif.
F.
Mengatasi
Agresifitas
Dalam kasus
agresi ini, hal paling utama untuk mengurangi terjadinya perilaku agresi adalah
dengan mengurangi frustasi yang di alami oleh individu. Selain itu, Kasus
Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah
sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa
strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi
tersebut adalah:
1.
Hukuman
Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk
mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku
agresi. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus
memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang
ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan
setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
2.
Katarsis
Katarsis
merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam
dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada
individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam
aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi
tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi.
Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan,
2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk
mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan
melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata
malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah
raga itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks
katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata
hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan
tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu
tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila
individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan
dirinya marah.
3.
Pengenalan Terhadap Model Non
Agresif
Menurut
teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif
dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian
Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan
Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu
yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih
rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif.
4.
Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan
ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan
ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat
ketidakmampuan dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada
orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol
emosional orang lain[9].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agresifitas
adalah tingkah laku kekerasan secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara
sengaja atau tidak sengaja terhadap individu lain ataupun merusak yang mana
objek yang dilukai ataupun dirusak tersebut berusaha untuk menghindarinya.
Televisi dapat berdampak negatif terhadap anak. Kalau diperhatikan menu dari
acara televisi, terutama dalam penyajian film-filmnya, hal itu dapat dinilai
cenderung pada hal yang bersifat negatif destruktif. Dapat dikatakan demikian
karena film sering menyajikan adegan kekerasan, eksploitasi seksual dan sebagainya.
Anak dan remaja tak jarang mengidentifikasikan (menyamakan) dirinya dengan
pelaku-pelaku dalam cerita itu yang cocok dengan dirinya. Menonton
televisi/film memberikankesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan
hatinya yang terpendam.
B.
Saran
Sikap agresi
manusia dan bentuk-bentuk lain dari perilaku tidak suka bersosialisasi merupakan suatu gejala yang menyebar.
Untuk itu sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa BK untuk mempelajari dan
mengkaji mengenai perilaku agresif pada anak dan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
C. George
Boeree. 2008. Pssikologi Sosial, Yokyakarta, Prismasophie
David O. Dkk. 1994. Psikologi
Sosial, Jakarta: Erlangga
Faturochman.2006.
Pengantar Psikologi Sosial, Yogjakarta:Pustaka
Rochelle Semmel
Albin. 1986. Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, Yogyakarta:
Kanisisus
Badrun
Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun
2011
Junia
Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK
Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014
[2] C. George
Boeree, Pssikologi Sosial, (Yokyakarta, Prismasophie, 2008), hlm. 167.
[3] Badrun
Susantyo, Memahami Perilaku Agresif, JURNAL, Informasi,Vol.16No.03 Tahun
2011, hlm. 189.
[4] Faturochaman, Op.cit,
hlm.85-86.
[5] Faturochaman, Op.cit.,hlm.87-88.
[6] Rochelle
Semmel Albin, Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya,
(Yogyakarta: Kanisisus, 1986), hlm. 50.
[7] Junia
Trisnawati, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja di SMK
Negeri 2 Pekan Baru, JURNAL, JOM PSIK VOL. 1 NO 2 OKTOBER 2014, hlm. 7.
[8] Junia
Trisnawati,Op.cit, hlm. 6.
[9] David O. Sears,
Jonathan L. Freenman & L. Anne Peplau, Psikologi Sosial, Jakarta:
Erlangga, 1994, hal. 19
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari Blog Ini
- September 2021 (6)
- Juni 2019 (12)
- April 2017 (1)
- Januari 2017 (2)
- Desember 2016 (2)
- September 2016 (1)
- Mei 2016 (8)
- April 2016 (7)
- Maret 2016 (2)
- November 2015 (3)
- Juli 2015 (1)
- April 2015 (2)
- Maret 2015 (2)
- Februari 2015 (1)
- November 2014 (1)
- Februari 2014 (1)
Translate
Popular Posts
-
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Disusun Oleh M khuzaifah ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan po...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara ...