Ads block
Miskonsepsi dalam Bimbingan dan Konseling
By
Aile Pixel
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan hal yang relatif baru dikenal oleh masyarakat indonesia, terutama da…
Baca selengkapnya »
Advokasi dan Pengawasan dalam Bimbingan dan Konseling
By
Aile Pixel
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manajemen bimbingan konseling merupakan upaya mengelola pelaksanaan bimbingan dan konseling dengan mend…
Baca selengkapnya »
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Artikel (2)
- dinasti syafawi (1)
- makalah (21)
- Makalah Model Bimbingan dan Konseling (1)
- Novel (2)
- Puisi Kesedihan (2)
- slide (5)
About us
Total Pageviews
Miskonsepsi dalam Bimbingan dan Konseling
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bimbingan dan
konseling merupakan hal yang relatif baru dikenal oleh masyarakat indonesia,
terutama dalam dunia pendidikan atau akademis. Sebagai suatu bidang yang baru
maka banyak terjadi kesalahan, salah satunya adalah menganggap profesi
bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang statis. Pemahaman orang
dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tatanan konsep maupun
praktiknya, sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi
ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi dikalangan orang-orang yang
berada diluar bimbingan dan konseling, tetapi juga banyak ditemukan dikalangan
orang-orang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling.
Dampak dari
kesalahan ini adalah layanan yang diberikan oleh para pelaku profesi ini tidak
kontekstual, tidak sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Pada
tulisan ini akan dibahas lebih mendetail mengenai pandangan atau paradigma
bimbingan dan konseling serta kekeliruan pandangan atau miskonsepsi terhadap
bimbingan dan konseling.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, diantaranya adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan miskonsepsi bimbingan dan konseling?
2.
Bagaimana
bentuk miskonsepsi bimbingan konseling?
3.
Apa
penyebab terjadinya miskonsepsi bimbingan dan konseling?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian miskonsepsi bimbingan dan konseling.
2.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk miskonsepsi bimbingan dan konseling
3.
Untuk
mengetahui penyebab terjadinya miskonsepsi bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Miskonsepsi Bimbingan dan Konseling
Kata
miskonsepsi mempunyai keterkaitan dengan kata “konsep” dan “konsepsi”. Yang
dimana konsep dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah diartikan
sebagai ide atau pengetahuan yang diabstraksikan dari peristiwa kongkret.
Konsep merupakan kelas atau kategori stimulus (objek, peristiwa atau orang)
yang memiliki ciri-ciri umum[1].
Sementara
konsepsi adalah sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui
interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal.[2] Dari
uraian di atas, diperoleh pengertian bahwa konsepsi adalah sebuah interpretasi
dan tafsiran perorangan pada
suatu konsep ilmu
yang diperoleh melalui
interaksi dengan lingkungan dan melalui pendidikan formal.
Setelah adanya
konsepsi maka ada juga istilah “miskonsepsi”, yang dimana pengertian
miskonsepsi adalah salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai
dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang
itu. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang
tidak benar antara konsep-konsep,
gagasan intuitif atau pandangan yang naif.
Sementara yang
dimaksud dengan miskonsepsi bimbingan dan konseling ialah suatu kekeliruan
pandangan atau pemahaman terhadap tatanan konsep maupun praktik bimbingan
konseling sebagai suatu profesi. Miskonsepsi ini dapat terjadi kepada siapa
saja, baik orang yang berada diluar bimbingan dan konseling maupun orang yang
terlibat didalam bimbingan dan konseling itu sendiri.
B.
Bentuk Miskonsepsi Bimbingan dan Konseling
Endang Ertiati
Suhesti mengemukakan bahwa ada 7 kesalah pemahaman dalam bimbingan dan
konseling. Kesalah pemahaman tersebut diulas sebagai berikut:[3]
1.
Konselor Sekolah Dianggap Sebagai Polisi Sekolah
Tidak jarang konselor sekolah diberi tugas untuk
mengurusi dan menghakimi para peserta didik yang tidak mematuhi peraturan.
Konselor sekolah ditugaskan untuk mencari para peserta didik yang bersalah dan
diberi wewenang mengambil tindakan bagi peserta didik yang bersalah tersebut.
Konselor sekolah didorong untuk mencari bukti - bukti bahwa peserta didik
tersebut bersalah. Dengan tugas semacam itu akan membentuk stigma diantara para
peserta didik bahwa konselor bertugas untuk mengurusi para peserta didik yang
menjadi “biang kerok” keributan atau yang menyalahi peraturan. Sehingga jika
ada peserta didik yang dipanggil atau berurusan dengan konselor termasuk dalam
kelompok peserta didik bermasalah.
Padahal pandangan tersebut keliru, konselor sekolah bukan
polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah.
Konselor sekolah adalah kawan dan kepercayaan peserta didik, menjadi tempat
berbagi tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan mereka. Konselor sekolah
harus perupaya untuk menjadi seorang yang bisa menunjukkan jalan, membangun
kekuatan dan kemauan individu menuju ke arah yang lebih baik.
2.
Konselor Sekolah Dianggap Hanya Pemberi Nasehat
Adanya perbedaan usia yang lebih tua dengan pesert didik
mendorong konselor untuk memberi nasehat. Padahal bimbingan dan konseling
dilakukan bukan hanya semata - mata untuk memberikan nasehat. Priyanto Erman
Anti menegaskan bahwa pemberian nasehat hanya merupakan sebagian kecil dari
upaya - upaya bimbingan dan konseling. Lebih dari itu konseli membutuhkan
pelayanan lain, seperti mendapatkan layanan informasi, bimbingan belajar,
penempatan dan penyaluran. Oleh sebab itu, pelayanan bimbingn dan konseling
menyangkut keseluruhan kepentingan konseli untuk mengembangkan pribadinya
secara maksimal.[4]
3.
Bimbingan dan Konseling Hanya Untuk Konseli-Konseli Tertentu
Saja
Pelayanan bimbingan dan konseling disekolah tdak hanya
terbatas pada beberapa individu saja. Seluruh peserta didik mendapatkan hak
yang sama dalam memperoleh layanan bimbingan dan konseling, kapanpun juga.
Bimbingan dan konseling tidak mengenal penggolongan peserta didik berdasarkan
kondisinya (misalnya jenis kelamin, kelas sosial/ekonomi, agama, suku dan lain
sebagainya). Penggolongan yang dilakukan, hanya didasarkan klasifikasi masalah.
4.
Dalam Proses Konseling Konselor Harus Aktif
Saat proses konseling berlangsung, seringkali konselor
yang lebih aktif dalam berbicara dan memegang kendali dengan kalimat - kalimat
yang sarat nasehat atau dengan memperbanyak bicara tentang dirinya. Hal ini
perlu diminimalisir. Konselor sebaiknya memahami kapan perlu berhenti bicara
dihadapan konseli saat konseling berlangsung. Upayakan untuk memberi ruang dan
kesempatan konseli berbicara sepenuhnya untuk menceritakan tentang apa yang
dirasakan dan dipikirkannya. Lebih jauh konselor berupaya untuk menggali lebih
dalam akar penyebab maslah yang sedang dihadapi konseli.
5.
Tugas dan Fungsi Konselor Sekolah Dapat Dilakukan Siapa
Saja
Pada realitanya, anggapan bahwa tugas konselor sekolah
bisa dilakukan siapa saja masih banyak ditemukan. Diantaranya mereka mempunyai
pandangan bahwa konseling sama halnya dengan pembicaraan biasa, sehingga
siapapun bisa melakukannya.
6.
Hasil Konseling Harus Segera Dilihat
Tak bisa dipungkiri bahwa yang diinginkan dalam dunia
pendidikan adalah peserta didik yang mempunyai perilaku dan kepribadian baik
serta dapat mengembangkan diri dengan optimal. Oleh karenanya, banyak pihak
yang menghendaki hasil pekerjaan bimbingan konseling segera dilihat agar tidak
menghambat kemajuan pendidikan. Padahal mengubah ke arah yang lebih baik tidak
dapat dilakukan dalam hitungan jam saja, butuh proses dan waktu yang relatif
lama.
7.
Setiap Pemecahan Masalah Dilakukan dengan Cara yang Sama
Seringkali
upaya penanganan dalam menghadapi masalah konseli disamaratakan karena masalah
yang ditangani juga sama. Perlu diingat bahwa setiap individu adalah unik,
memiliki perbedaan masing - masing, sehingga walaupun dengan masalah yang sama
belum tentu cara penanganannya sama. Cara apapun yang akan dipakai dalam
membantu mengatasi masalah sebaiknya perlu disesuaikan dengan kondisi pribadi
konseli dn berbagi hal yang terkait dengannya. Bahkan seringkali terjadi, untuk
masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya
sama setelah dikaji mendalam dapat memiliki hakikat berbeda, sehingga
diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.
C.
Faktor Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Bimbingan dan
Konseling
Banyak faktor
yang mempengaruhi kesalahpahaman pandangan terhadap bimbingan dan konseling,
salah satunya adalah latarbelakang pendidikan guru bimbingan di sekolah. Awal
tahun 1960 pakar mengatakan bahwa perlu Bimbingan dan Konseling di sekolah
tetapi tenaga atau guru BK yang profesional belum ada. Jadi diangkatlah guru
mata pelajaran sebagai guru BK dan kisah ini berlanjut sampai sekarang. Guru BK
tersebut dalam menjalankan tugasnya banyak yang tidak sesuai dengan tujuan,
asas-asas, dan prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling. Dari satu faktor ini,
memicu banyak kesalahpahaman terhadap Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Secara umum
faktor penyebab terjadinya miskonsepsi menurut suparno sebagai berikut:[5]
1.
Faktor
siswa yang memiliki masalah pada prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran
humanistik, reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, perkembangan
kognitif, kemampuan siswa dan minat belajarnya.
2.
Faktor
pengajar yang tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu tertentu,
tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide, dan relasi guru dengan siswa
yang tidak baik.
3.
Faktor
Konteks. Konteks hidup yang sering menjadi penyebab antara lain pengalaman siswa,
bahasa sehari-hari yang berbeda, teman diskusi yang salah keyakinan dan agama,
penjelasan orang tua atau orang lain yang keliru, konteks hidup siswa (tv,
radio, film yang keliru, perasaan senang tidak senang dan perasaan bebas atau
tertekan.
4.
Faktor
cara mengajar yang kadang kala hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke
dalam bentuk matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak mengoreksi PR,
model analogi yang dipakai kurang tepat, model demonstrasi sempit dan
lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Miskonsepsi
bimbingan dan konseling ialah suatu kekeliruan pandangan atau pemahaman
terhadap tatanan konsep maupun praktik bimbingan konseling sebagai suatu
profesi. Miskonsepsi ini dapat terjadi kepada siapa saja, baik orang yang
berada diluar bimbingan dan konseling maupun orang yang terlibat didalam
bimbingan dan konseling itu sendiri.
Bentuk-bentuk
miskonsepsi terhadap bimbingan dan konseling ialah berupa kesalah pemahaman
bahwasannya konselor sekolah adalah polisi sekolah, pemberi nasehat, atau hal
lainnya. Yang dimana faktor penyebab terjadinya miskonsepsi ini adalah
kurangnya SDM konselor yang mempunyai latarbelakang kependidikan sebagai
konselor. Atau kurangnya pemahaman konselor terhadap peran dan fungsinya.
B.
Saran
Miskonsepsi
terjadi dikarenakan kurang keprofesionalan seorang konselor dalam menjalankan
profesinya, dan kurangnya pengenalan masyarakat terhadap konseling. untuk itu
sangat direkomendasikan bagi para calon sarjana konseling untuk mendalami dan
meningkatkan pemahaman terhadap dunia konseling hingga dapat merubah paradigma
yang salah yang tejadi di dunia konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno, Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan
& Konseling, Jakarta: Rineka Cipta
Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan
fisika, Jakarta: Grasindo
Suhesti, Ertiati Endang. 2012. Bagaimana Konselor
Sekolah Bersikap?, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Munawaroh, Etik. 2011. Analisis Tingkat Kompetensi Profesional Guru
IPS SMP di Kabupaten Semarang. Skripsi: Semarang Fakultas Ekonomi, (SKRIPSI
tidak diterbitkan)
[1] Munawaroh,
Etik. Analisis Tingkat Kompetensi Profesional Guru IPS SMP
di Kabupaten Semarang. Skripsi:
Semarang Fakultas Ekonomi, 2011, hlm. 9.
[2] Paul Suparno, Miskonsepsi
dan Perubahan Konsep Pendidikan fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 5.
[3] Ertiati Suhesti Endang, Bagaimana
Konselor Sekolah Bersikap?, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), hlm. 35.
[4] Prayitno,
Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan & Konseling, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), hlm 123.
[5] Paul Suparno, Op.cit.,
hlm.25.
Advokasi dan Pengawasan dalam Bimbingan dan Konseling
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manajemen
bimbingan konseling merupakan upaya mengelola pelaksanaan bimbingan dan
konseling dengan mendayagunakan semua sumber daya yang ada di sekolah melalui
pengaturan dan pemungsian semua fungsi manajemen melalui koordinasi kepala
sekolah dan kerja sama dari guru BK serta semua komponen sekolah. Dengan
manajemen bimbingan konseling yang baik diharapkan sistem bimbingan dan
konseling di sekolah dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efesien dalam
rangka mencapai tujuan kegiatan bimbingan dan konseling, serta dapat menegakkan
akuntabilitas bimbingan dan konseling.
Dalam
pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam manajemen, perlu adanya
pengawasan. Pengawasan merupakan salah satu kegiatan manajemen setelah
perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia dan pengarahan.
Pelaksanaan setiap fungsi manajemen memerlukan pengawasan, sehingga pengawasan
merupakan proses kegiatan untuk mengetahui seberapa jauh perencanaan dapat
dicapai atau dilaksanakan. Melalui pengawasan seorang pengawas dapat melakukan
penyempurnaan tugas-tugas, perbaikan jenis
kegiatan baik yang
telah dilaksanakan seperti
yang telah tercantum
dalam perencanaan.
Selanjutnya,
kriteria atau patokan yang dipakai untuk menilai keberhasilan pelaksanaan
program layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah mengacu pada
terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan siswa dan pihak-pihak
yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung berperan membantu siswa
memperoleh perubahan perilaku dan pribadi kearah yang lebih baik. Dalam
memulihkan kebutuhan-kebutuhan atau hak yang belum terpenuhi oleh siswa maka
perlu adanya advokasi dalam bimbingan dan konseling. Advokasi dalam bimbingan
dan konseling dapat berupa upaya pendekatan terhadap orang atau kelompok
tertentu yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu tujuan,
program atau perubahan dari suatu kondisi sosial tertentu.
Pada uraian
diatas diketahui bahwasannya advokasi dan pengawasan merupakan hal yang berkaitn
dan sangat penting dalam pengembangan program bimbingan dan konseling, dan
meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, diantaranya:
1.
Apa
yang dimaksud dengan advokasi dan pengawasan?
2.
Apa
sasaran dari advokasi dan pengawasan dalam bimbingan dan konseling?
3.
Bagaimana
mekanisme kegiatan pengawasan dalam bimbingan dan konseling?
4.
Apa
urgensitas pengawasan dalam bimbingan dan konseling?
5.
Bagaimana
model-model advokasi dan pemanfaatannya?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
dari pembahasan ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian advokasi dan pengawasan.
2.
Untuk
memahami sasaran dari advokasi dan pengawasan dalam bimbingan dan konseling.
3.
Untuk
mempelajari mekanisme kegiatan pengawasan dalam bimbingan dan konseling
4.
Untuk
mengetahui urgensitas pengawasan dalam bimbingan dan konseling.
5.
Untuk
mengetahui model-model advokasi dan pemanfaatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Advokasi dan Pengawasan
1.
Advokasi
Advokasi secara
harafiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula
digunakan di bidang hukum atau pengadilan. Lambat laun advokasi tidak hanya
digunakan dalam terminologi dibidang hukum. Menurut Johns Hopkins (1990)
advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui
bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif.[1]
Advokasi dapat
pula diartikan sebagai upaya pendekatan terhadap orang atau kelompok tertentu
yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu tujuan, program
atau perubahan dari suatu kondisi sosial tertentu. Oleh karena itu yang menjadi
sasaran advokasi umumnya adalah para pemimpin atau pengambil kebijakan (policy
makers) atau pembuat keputusan (decision makers) baik di institusi
pemerintah, swasta atau bahkan ditingkat kelompok dalam masyarakat. Dengan
demikian advokasi diperlukan manakala dijumpai berbagai ketidakberesan atau
masalah seperti ketidakadilan, ketidaksesuaian, kebiasaan tertentu yang
dianggap kurang sesuai dengan nilai-nilai universal, kondisi yang merugikan
sebagian besar masyarakat dan hanya menguntungkan beberapa gelintir orang saja
dan berbagai kondisi lain yang tidak sesuai dalam konteks kebijakan,
pelaksanaan kebijakan maupun hal-hal lain terkait dengan harkat hidup orang
banyak.
Prinsip dasar
advokasi tidak hanya sekedar melakukan lobby politik, tetapi mencakup kegiatan
persuasif, memberikan semangat dan bahkan sampai memberikan pressure atau
tekanan kepada para pemimpin institusi atau pengambil keputusan. Advokasi
dilakukan lebih disebabkan karena ada perubahan yang ingin dilakukan.
2.
Pengawasan
Pengawasan jika
dilihat dari terjemahan bebasnya adalah suatu proses yang terdiri dari satu
atau beberapa langkah dan tahapan yang bertujuan memperhatikan sikap,
proses/pelaksanaan, hasil dari satu kegiatan tertentu yang sudah direncanakan
sebelumnya. Dalam manajemen, pengawasan merupakan salah satu siklus yang
penting untuk memastikan apa yang sudah direncanakan dan dilaksanakan sesuai
dengan harapan. Keluaran dari pengawasan umumnya adalah rekomendasi perbaikan
atau laporan yang menjelaskan kesesuaian antara rencana dan pelaksanaa.
Di dalam
pelaksanaan advokasi bagi perbaikan mutu pelayanan publik, pengawasan merupakan
satu fungsi yang merupakan tindak lanjut yang harus dijalankan untuk memastikan
bahwa kualitas layanan seperti yang dijanjikan sebagai hasil dari advokasi
sesuai dengan yang diharapkan. Pengawasan juga biasa disebut dengan monitoring
adalah kegiatan yang dilakukan untuk memantau proses dan perkembangan
pelaksanaan program. Monitoring dilakukan untuk
tujuan supervisi yaitu untuk mengetahui apakah sebuah program berjalan
sebagaimana yang direncanakan, apa
hambatan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Dengan
kata lain monitoring menekankan pada proses pada pemantauan pelaksanaan dan
hasil monitoring digunakan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan pelaksanaan
program yang sedang dilaksanakan.[2]
B.
Sasaran Pengawasan
Pengawasan
bimbingan dan konseling ditujukan kepada kegiatan konselor sekolah atau
madrasah dengan melalui berbagai layanan bimbingan dan konseling yang
dilaksanakan konselor agar peserta didik
mampu mengembangkan potensi dan
pribadinya secara optimal. Pengawasan dibidang bimbingan dan
konseling untuk membina pelaksanaan layanan yang dilksanakan oleh konselor dan
musyawarah konselor bimbingan dan konseling. Menurut Boyd (1978) dikutip dari
Abu Bakar M Luddin, pengawasan sekolah bidang bimbingan dan konseling yang
langsung ditujukan kepada konselor, ada tiga tujuan utamanya yang hendak
dicapai untuk dimiliki oleh konselor yaitu: fasilitation of the counselors
personal and professional development, promotion is counselor competencies, and
promotion of accountable counseling and guidance services and programs. Maksudnya
bahwa pengawasan bimbingan dan konseling bertujuan untuk memberi fasilitas
untuk mengembangkan diri dan keahlian para konselor, meningkatkan kompetensi
konselor dan meningkatkan konseling yang bertanggung jawab serta pembuatan
program layanan bimbingan.[3]
C.
Mekanisme Kegiatan Pengawasan dalam Bimbingan dan Konseling
Untuk mencapai
tujuan yang dimaksud pengawas sekolah/madrasah bidang bimbingan dan konseling
hendaknya dapat menggunakan beberapa pendekatan, antara lain dengan melakukan
penilaian, pencegahan, memotivasi dan penguatan.[4]
1.
Penilaian
bertujuan untuk melihat seberapa jauh program serta pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah yang telah dicapai, dengan adanya penilaian dapat
diketahui kemajuan dan kelemahan yang didapati, bagi pengawas berguna untuk
memperbaiki fungsi pengawasan.
2.
Tindakan
pencegahan merupakan tindakan pengawas bidang bimbingan dan konseling sebelum
terjadinya penyimpangan, mencegah lebih baik dari pada memperbaiki.
3.
Pemberian
motivasi merupakan bagian dari upaya peningkatan kerja konselor. Sebaiknya cara yang dilakukan pengawas bimbingan dan
konseling di sekolah untuk merangsang konselor
dengan memberikan penghargaan atau hadiah dari prestasi yang telah
dicapainya dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Koontz dan Donnell
(1986) dikutip dalam Abu Bakar M Luddin, mengemukakan bahwa motivasi merupakan
suatu reaksi yang dimulai dari adanya
kebutuhan yang menimbulkan keinginan, upaya untuk mencapai tujuan, menimbulkan
ketegangan, tindakan yang mengarah kepada kemajuan, adanya pemuasan keinginan.
4.
Pemberian
penguatan pada dasarnya merupakan rangsangan dari pengawas sekolah bidang
bimbingan dan konseling yang bertujuan agar konselor dapat merubah perilakunya
dan selanjutnya dapat meningkatkan prestasi kerjanya, serta bertanggung jawab
atas tugas dan kewajibannya.
D.
Urgensi Pengawasan dalam Bimbingan dan Konseling
Pengawasan
perlu dilakukan agar kegiatan ataupekerjaan tersebut berlangsung sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Kegiatan pengawasan dapat berbentuk pemeriksaan,
pengecekan, serta usaha pencegahan terhadap kesalahan yang mungkin terjadi, sehingga bila terjadi penyelewengan
atau penyimpangan dapat ditempuh usaha-usaha perbaikan. Manfaat pokok
pengawasan atau supervisi ini adlah untuk mengendalikan personil
pelaksana bimbingan dan konseling, memantau kemungkinan-kemungkinan kendala
yang muncul dan dihadapi personil dalam pelaksanaan tugasnya, mencari jalan
keluar terhadap hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan program agar
tercapainya pelaksanaan yang lancar kearah pencapaian tujuan bimbingan dan
konseling di sekolah.
Adapun manfaat
supervisi dalam program bimbingan adalah:
1.
Mengontrol
kegiatan-kegiatan dari para personil bimbingan yaitu bagaimana pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab mereka masingmasing.
2.
Mengontrol
adanya kemungkinan hambatan-hambatan yang ditemui oleh para personil bimbingan
dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
3.
Memungkinkan
dicarinya jalan keluar terhadap hambatanhambatan dan permasalahan-permasalahan
yang ditemui.
4.
Memungkinkan
terlaksananya programbimbingan secara lancar ke arah pencapaian tujuan
sebagaimana yang telah ditetapkan.
Pengawasan
(controlling) penting dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Implementasi
program dalam bentuk aktivitas layanan bimbingan dan konseling perlu pengawasan
dan penilaian agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan hasilnya dapat
diketahui.
Pengawasan
(controlling) penting dilaksanakan dalam pelayanan bimbingan dan konseling,
supaya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan
tersebut dan hasilnya dapat diukur. Pengawasan (controlling) bimbingan dan
konseling ini dilaksanakan oleh kepala sekolah dan madrasah. Implementasi
pengawasan ini dilaksanakan kepala sekolah atau kepala madrasah terhadap
pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru BK
dan/atau pihak terkait seperti guru wali kelas, guru mata pelajar, kerja sama
guru BK dengan orang tua dan tenaga ahli lainnya.
E.
Peran Pengawas dalam Pengembangan Layanan Bimbingan dan Konseling
di Sekolah
Pengawas
hendaknya memahami struktur program bimbingan dan konseling dan dapat
memberikan pembinaan dan pengawasan agar sekolah memiliki program bimbingan dan
konseling yang dapat dilaksanakan dengan baik. Pengawas dapat melakukan
pengawasan dan pembinaan apakah program bimbingan dan konseling yang disusun
dilaksanakan sesuai dengan rancang- an program? Apakah terdapat dokumentasi
sebagai indikator pencatatan pelaksanaan program? Pengawas dapat berdiskusi
dengan konselor mengenai program-program mana yang sudah dilaksanakan? Apa
hambatan yang ditemui saat melaksanakan program? Apakah dapat diidentifikasi
keberhasilan yang dicapai program? Apakah dapat diperoleh informasi dampak
langsung maupun tidak langsung pelaksanaan program terhadap siswa, pendidik
maupun institusi pendidikan? Pengawas juga diharapkan memberikan dorongan dan
saran-saran bagaimana program-program yang belum terlaksana dapat dilakukan.
Pengawas harus mengembangkan diskusi bersama pimpinan sekolah dan konselor
berkenan dengan dukungan kebijakan, sarana dan prasarana untuk keterlaksanaan
program.
Pengawas
melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melakukan diskusi terfokus berkenaan
dengan ketersediaan personil konselor sesuai dengan kebutuhan (berdasarkan
jumlah siswa) serta upaya-upaya untuk memenuhi ketersediaan konselor,
optimalisasi peran dan fungsi personil sekolah dalam layanan bimbingan dan
konseling, serta mekanisme layanan sesuai dengan peran dan fungsi.
Pengawasan
bimbingan dan konseling di sekolah diselenggarakan oleh pengawas sekolah sesuai
SK Menpan No. 118/1996 dan Petunjuk Pelaksanaannya. Kegiatan pengawasan
bimbingan dan konseling di sekolah melibatkan guru pembimbing dan pengawas
sekolah dengan koordinasi dengan kepala sekolah. Guru pembimbing menyiapkan
diri dan bahan-bahan secukupnya untuk kegiatan pengawasan, koordinator BK
mengkoordinasikan guru-guru pembimbing dalam menyiapkan diri untuk kegiatan
kepenga- wasan. Guru pembimbing mengikuti dengan cermat penilaian dan pembinaan
dalam kegiatan pengawasan. Kepala sekolah mendorong dan memberikan fasilitas
bagi terlakasananya kegiatan pengawasan secara objektif dan dinamis demi
meningkatnya mutu bimbingan dan konseling.[5]
F.
Peran Advokatif Konselor Sekolah
Advokasi adalah salah satu layanan BK yang membantu peserta didik
untuk memperoleh kembali hak-hak dirinya yang tidak diperhatikan dan atau
mendapatkan perlakuan yang salah sesuai dengan tuntutan karakter-cerdas dan
terpuji. Yang dimana selanjutnya peran konselor sebagai pelaksana layanan
advokasi dituntut untuk mampu berkomunikasi, melobi dan mengambil manfaat
sebesar-besarnya dari hubungan dengan pihak-pihak terkait, dan juga mengolah
kondisi dan materi secara optimal. WPKNS (Wawasan, Pengetahuan, Keterampilan,
Nilai dan Sikap) yang ada pada diri konselor cukup luas dan memadai terkait
dengan pelanggaran hak klien yang dilayani dan pihak-pihak terkait.
Salah
fungsi konseling adalah fungsi advokasi yang artinya membela hak seseorang yang
tercederai. Sebagaimana diketahui bahwa setiap
orang memiliki berbagai hak yang secara umum dirumuskan didalam
dokumen HAM (Hak Asasi Manusia). Berlandaskan HAM itu setiap orang memiliki
hak-hak yang menjamin keberadaannya, kehidupannya dan perkembangan dirinya. Fungsi
advokasi dalam konseling berupaya memberikan bantuan (oleh konselor) agar
hak-hak yang menjamin keberadaan, kehidupan dan perkembangan orang atau
individu atau klien yang bersangkutan kembali memperoleh hak-haknya yang selama
ini dirampas, dihalangi, dihambat, dibatasi atau dijegal. Layanan advokasi
diterapkan oleh konselor untuk menangani berbagai kondisi tentang tercederainya
hak seseorang terkait dengan pihak lain yang berkewenangan demi dikembalikannya
hak klien yang dimaksudkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Advokasi adalah layanan
BK yang membantu peserta didik untuk memperoleh kembali hak-hak dirinya yang
tidak diperhatikan dan atau mendapatkan perlakuan yang salah sesuai dengan
tuntutan karakter-cerdas dan terpuji. Di dalam
pelaksanaan advokasi bagi perbaikan mutu pelayanan publik, pengawasan merupakan
satu fungsi yang merupakan tindak lanjut yang harus dijalankan untuk memastikan
bahwa kualitas layanan seperti yang dijanjikan sebagai hasil dari advokasi
sesuai dengan yang diharapkan.
Manfaat pokok pengawasan atau supervisi adalah untuk mengendalikan
personil pelaksana bimbingan dan konseling, memantau kemungkinan-kemungkinan
kendala yang muncul dan dihadapi personil dalam pelaksanaan tugasnya, mencari
jalan keluar terhadap hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan program agar
tercapainya pelaksanaan yang lancar kearah pencapaian tujuan bimbingan dan
konseling di sekolah.
B.
Saran
Advokasi dan pengawasan
merupakan dua hal yang penting dalam manajemen bimbingan konseling, guna untuk
pengembangan dan peningkatan mutu dari pelaksanaan program bimbingan dan
konseling. untuk itu, sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa bimbingan dan
konseling untuk memahami dan mempelajari advokasi dan pengawasan dalam BK.
DAFTAR PUSTAKA
Elke Rapp. 2004. Metode dan Teknik Advokasi dan Pengawasan
Peningkatan Mutu Pelayanan Publik Berbasis Standar Pelayanan, MODUL, Jakarta:
USAID – KINERJA
Sugiyo. (2011). Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
Semarang: Widya Karya
Abu Bakar M Luddin, Pengawasan Bimbingan dan Konseling di
Sekolah/Madrasah, JURNAL Al-Irsyad BKI UIN Sumatera Utara, hlm. 12.
Ditjen PMPTK. (2008). Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
[1] Elke Rapp,
Metode dan Teknik Advokasi dan Pengawasan Peningkatan Mutu Pelayanan Publik
Berbasis Standar Pelayanan, MODUL, (Jakarta: USAID – KINERJA, 2014), hlm.
184.
[2] Sugiyo, Manajemen
Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Semarang: Widya Karya, 2011), hlm. 63.
[3] Abu Bakar M
Luddin, Pengawasan Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah, JURNAL
Al-Irsyad BKI UIN Sumatera Utara, hlm. 12.
[4] Ibid.,
hlm. 13.
[5] Ditjen PMPTK, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm 32.
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari Blog Ini
- September 2021 (6)
- Juni 2019 (12)
- April 2017 (1)
- Januari 2017 (2)
- Desember 2016 (2)
- September 2016 (1)
- Mei 2016 (8)
- April 2016 (7)
- Maret 2016 (2)
- November 2015 (3)
- Juli 2015 (1)
- April 2015 (2)
- Maret 2015 (2)
- Februari 2015 (1)
- November 2014 (1)
- Februari 2014 (1)
Translate
Popular Posts
-
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Disusun Oleh M khuzaifah ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan po...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara ...