Ads block
MAKALAH MUNASABAH AL-QUR’AN
MUNASABAH AL-QUR’AN A. Pengertian Munasabah Secara etimologi Munasabah berasal dari kata ناَسَبَ , يُنَاسِبُ , مُنَاسَبَةً yang …
Baca selengkapnya »
SEARCH
LATEST
3-latest-65px
SECCIONS
- Artikel (2)
- dinasti syafawi (1)
- makalah (21)
- Makalah Model Bimbingan dan Konseling (1)
- Novel (2)
- Puisi Kesedihan (2)
- slide (5)
About us
Total Pageviews
MAKALAH MUNASABAH AL-QUR’AN
MUNASABAH AL-QUR’AN
A.
Pengertian Munasabah
Secara
etimologi
Munasabah berasal dari kata ناَسَبَ , يُنَاسِبُ ,
مُنَاسَبَةً yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat.
الْمُنَاسَبَة sama artinya dengan المُقَارَبَة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya. Annasib
juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan[1]
Sedangkan dalam bahasa Inggris secara leksikal diartikan suitability,
correlation, analogy, namun sebagai instrumen analisis Al-Qur’an, munasabah
dimaksudkan sebagai langkah analisis Al-Qur’an dengan jalan musyakah (mencari
persamaan) dan muqarabah (mencari kedekatan) makna yang terdapat dalam
ayat Al-Qur’an[2].
Secara
terminologi munasabah
berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat atau surah-surah
dalam Al-Qur’an. Munasabah ialah keterkaitan antara satu ayat dan ayat lain
atau satu surah dengan surah lain, yang umum dengan yang khusus, yang kongkrit
dengan yang abstrak, atau adanya hubungan keseimbangan, adanya segi-segi
keserasian informasi Al-Qur’an dalam bentuk kalimat berita tentang alam
semesta.
Menurut
Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan
akhirnya, mengaikan lafaz umum dan lafaz khusus, atau hubungan antara ayat yang
terkait dengan sebab dan akibat, illat dan ma’lul, kemiripan
ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa
kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling terkait
sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang
bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
Al-Qaththan
berkata, munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam satu
ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antar surah
dengan sura.
Menurut
Ibnu Al-‘Arabi munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga
seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi.
Sebagai
kesimpulannya, munasabah adalah pengetahuan tentang berbagai hubungan
unsur-unsur dalam Al-Qur’an, seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah pada
suatu ayat, ayat dengan ayat pada suatu surah, surah dengan surah pada
sekumpulan surah, surah dengan surah, termasuk hubungan antara nama surah
dengan isi atau tujuan surah, antara fawatih Al-suwar dengan isi surah, fashilah
(pemisah) dengan isi ayat, dan fawatih Al-suar dengan khawatim
Al-suwar.
B.
Urgensi Munasabah
Ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan
al-Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat
beserta korelasinya, dengan cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema
serta penekanan yang berbeda. Dan ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang
terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang baku. Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang
utuh, maka ilmu munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan
mempelajari isi kandungan al-Qur’an.
Ilmu
munasabah cukup erat korelasinya dengan ilmu tafsir. Karena itu kegunaannya
juga tidak dapat dipisahkan dengan penafsiran ayat Al-Qur’an yang sangat
berpengaruh dengan hasil penafsiran tersebut[3].
Sebagaimana asbab Al-nuzul, Munasabah dapat berperan dalam
memahami Al-Qur’an. Jika ilmu tentang asbab Al-nuzul mengaitkan satu
ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ilmu munasabah
melampaui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan
antar ayat dan surah menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan”
sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.
Menurut
Al-Zarkasyi seperti dikutip Manna’ Khalil Al-Qattan menyatakan bahwa manfaat
ilmu Munasabah adalah untuk menguatkan suatu pembicaraan yang dibahas sehingga
bentuk susunan menjadi kukuh dan saling bersesuaian. Sedangkan Abu Bakar Ibnu
‘Arabi menambahkan bahwa mengetahui munasabat akan menjadikan pembahasan
seperti satu kata, memberi makna yang serasi serta maknanya yang teratur.
Sedangkan manfaat lainnya adalah untuk menanggapi makna yang terkandung,
merasakan nilai-nilai kemukjizatan, dapat memahami hukum yang terkandung
didalam ayat yang dibahas dan mengetahui susunan kalimat yang serasi aerta
ketinggian uslub yang dipergunakan. Selain itu manfaat ilmu munasabah juga
dapat mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara
kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Dalam hal penafsiran
bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu
tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu
yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan
lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik
di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan
sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah
ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan dapat mempermudah
dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang
terkandung di dalamnya[4].
Jadi, sudah jelas bahwa memahami munasabah dalam
al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat urgen, terutama dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih
tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan
rasio demi memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan
dan ketakwaan seorang muslim. Selain
kaguanaan mempelajari munasabah dianggap penting, maka seseorang yang
ingin menemukan korelasi/hubungan antar ayat atau antar surat, sangat
diperlukan kejernihan rohani dan rasio, agar terhindar dari kesalahan
penafsiran, serta membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan membantu
menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.
C.
Macam-Macam Munasabah
Dalam pembagian munasabah ini, para
ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokan munasabah dan jumlahnya, hal
ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat, dari
segi berbeda. Menurut Drs. H. A. Chaerudji Abd Chalik dalam ‘Ulum Al-Qur’an
(Jakarta : Diadit Media, 2007), munasabah dapat dilihat dari dua segi,
yaitu dari segi sifat dan materi.
1.
Sifat
Ditinjau
dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi dua yaitu:
a. Zhahir
Al-irtibath (ظـاهـرالإرتــبــــاط)
Zhahir
Al-irtibath (persesuaian yang nyata) yaitu
persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat satu dengan
yang lain erat sekai sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang
sempurna bila dipisahkan dengan kalimat yang lainnya, seolah-olah ayat tersebut
merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya, dapat kita cermati pada ayat 1 dan
2 surah Al-Isra yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi
Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada
Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan
keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul[5]:
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 ÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtÎã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»t#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# çÅÁt7ø9$# ÇÊÈ
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya[847] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui”.
$oY÷s?#uäur ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# çm»oYù=yèy_ur Wèd ûÓÍ_t6Ïj9 @ÏäÂuó Î) wr& (#räÏGs? `ÏB ÎTrß WxÅ2ur ÇËÈ
“dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan
Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman):
"Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku”
Munasabah
antara kedua ayat tersebut nampak jelas, yaitu bahwa kedua Nabi (Muhammad Saw
dan Musa As) diangkat oleh Allah Swt sebagai Nabi dan Rasul, dan keduanya di-isra’-kan.
Nabi Muhammad dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir,
ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.
b. Khafiy
Al-irtibath (الإرتــبــــاط
خــفـي)
Khafi Al-irtibath (persesuaian yang tidak
nyata) yaitu persesuaian atau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan
ayat lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan
seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat
yang satu itu di’Athaf-kan kepada yang lain, maupun yang satu
bertentangan dengan yang lain[6].
Misalnya dapat kita cermati pada surah Al-Baqarah ayat 189 dan 190:
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
“ mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung”
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ã wur (#ÿrßtG÷ès? 4 cÎ) ©!$# w
=Åsã úïÏtG÷èßJø9$# ÇÊÒÉÈ
“dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
Ayat 189 di
atas menjelaskantentang bulan sabit (hilal), tanggal untuk tanda waktu dan
untuk jadwal ibadah haji. Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada
orang-orang yang menyerang umat islam. Padahal kalaulah dicermati dapat
diketahui munasabahnya, yaitu pada waktu haji umat islam dilarang berperang.
Kecuali kalau diserang musuh, maka dalam kondisi demikian mereka boleh bahkan
perlu melakukan balasan[7].
2.
Materi
Munasabah dari
segi materinya terbagi menjadi dua, yaitu minasabah antar ayat dan
munasabah antar surah.
a.
Munasabah Antar ayat
Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan
ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat, meliputi, pertama di-’athaf-kannya
ayat yang satu kepada ayat yang lain, kedua tidak di-’athaf-kannya,
ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya
dua hal yang kontradiksi, kelima dipindahkannya satu pembicaraan
kepembicaraan yang lain. Munasabah antar ayat dapat dilihat, misalnya antara
ayat 2 dan 3 surah Al-Baqarah:
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w
|=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
“ (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Munasabah antara kedua ayat tersebut adalah pada ayat pertama
menjelaskan peranan Al-Qur’an dan hakikatnya bagi orang bertakwa, sedangkan
ayat kedua menjelaskan karakteristik dari orang-orang bertakwa.
Munasabah antar ayat mencakup beberapa bentuk, yaitu:
1)
Munasabah
antar nama surah dan tujuan turunnya
Setiap
surah mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tecermin pada namanya
masing-masing, seperti surah Al-Baqarah (2), dan surah Yusuf (18), surah
Al-Naml (27), dan surah Al-Jinn (72).
Seperti
dapat dilihat pada pada firman Allah berikut:
“ dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."
mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"
Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil". (Al-Baqarah [2]: 67)
“ mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami,
agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu". (Al-Baqarah [2]: 68)
“ mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar
Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang
memandangnya." (Al-Baqarah [2]: 69)
“ mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar
Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena
Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah
akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." (Al-Baqarah [2]: 70)
“ Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi
betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah
dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada
belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan
hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan
hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu”. (Al-Baqarah [2]:71)
Cerita
yang ada pada ayat tersebut adalah tentang sapi betina (Al-Baqarah) yang
selanjutnya dijadikan nama surah, yaitu Al-Baqarah. Cerita tersebut mengandung
inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah yang membangkitkan orang mati. Dengan
perkataan lain, tujuan surah ini berkaitan dengan kekuasaan Tuhan dan keimanan
pada hari kemudian, sedangkan salah satu bukti keimanan orang-orang dala surah
itu harus ditunjukkan dengan sifat taat melaksanakan perintah Alah dengan
ikhlas melalui Rasulnya, yaitu Musa As, antara lain dengan penyembelihan sapi.
2)
Munasabah
antar bagian surah
Munasabah
antar bagian surah (ayat atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh
(perlawanan) seperti terlihat pada firman Allah berikut ini:
uqèd Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# 4 ÞOn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇÍÈ
“ Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas
´arsy[1453] Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454].
dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan”. (Al-Hadid [57]: 4)
Pada
ayat tersebut terdapat kata “yaliju” (masuk) dan kata “yakhruju”
(keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dan kata “ya’ruju”
(naik)yang memiliki korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-‘adzab
dan Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.
3)
Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi
sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas
umumnya menggunakan pola ta’kid, tafsir, i’tiradh.
Munasabah
antar ayat yang menngunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat
atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak disampingnya.
Contohnya pada surah Al-fatihah ayat 1-2, yang dimana pada ungkapan rabb
al’amin pada ayat ke dua memperkuat kata Al-rahman dan Al-Rahim pada
ayat pertama.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ
“ Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Fatihah
[1]: 2)
ßôJysø9$# ¬!
Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
“ Segala
puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-Fatihah [1]: 2)
Munasabah
antar ayat yang menggunakan pola tafsir apabila makna satu ayat atau
bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya.
Seperti pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2-4, kata muttaqin
pada ayat ke dua ditafsirkan maknanya oleh ayat ketiga dan keempat.
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w
|=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
“Kitab (Al
Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
“(yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sã !$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qã ÇÍÈ
“dan mereka
yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat”.
Munasabah
antara ayat yang menggunakan pola i’tiradh apabila terdapat satu kalimat
atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat),
baik di pertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan dengan
maknanya. Misalnya pada firman Allah surah An-Nahl ayat 57, kata subhanahu
pada ayat diatas merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang
menetapkan anak perempuan bagi Allah.
tbqè=yèøgsur ¬!
ÏM»oYt7ø9$# ¼çmoY»ysö7ß Nßgs9ur $¨B cqåktJô±t ÇÎÐÈ
“ dan mereka
menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan[831]. Maha suci Allah, sedang untuk
mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (Yaitu anak-anak
laki-laki)”.
4)
Munasabah
antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya
Dalam
surah Al-Baqarah ayat 1-20 misalnya, Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran
dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orng bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya
dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda,
yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
5)
Munasabah
antara fashilah (pemisah) dan isi ayat
Munasabah
ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya memantapkan (tamkin) makna yang
terkandung dalam ayat. Misalnya pada surah An-Naml ayat 80, kalimat idza
wallau mudbirin merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
y7¨RÎ) w ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# wur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sÎ) (#öq©9ur tûïÌÎ/ôãB ÇÑÉÈ
“ Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”.
6)
Munasabah
antara awal dengan akhir surah yang sama
Munasabah
ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok
pikiran ini dikuatkan kembali diakhir surah ini. Misalnya terdapat pada surah
Al-Hasyir, munasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang
ada baik di langit maupun di bumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya.
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ( uqèdur âÍyèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÊÈ
” telah bertasbih kepada Allah apa
yang ada di langit dan bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
uqèd ª!$# ß,Î=»yø9$# äÍ$t7ø9$# âÈhq|ÁßJø9$# ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡ßsø9$# 4 ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âÍyèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇËÍÈ
“ Dialah Allah yang Menciptakan,
yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih
kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
b.
Munasabah
antar surah
Munasabah antar surah tidak lepas dari pandangan holistik Al-Qur’an
yang menyatakan Al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian
strukturnyaterkait secara integral”. Pembahasan tentang munasabah antar surah
dimluai dengan memposisikan surah Al-Fatihah sebagai Ummul qur’an, sehingga
penempatan surah tersebut sebagai surah pembuka adalah sesuai dengan posisinya
yang merangkum keseluruhan isi Al-Qur’an.
Munasabah antar surah meliputi:
1)
Hubungan
antara nama-nama surat
Misalnya
surat Al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat An-Nur, lalu diteruskan dengan
surat Al-Furqan. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min
berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka, sehingga mereka
mampu membedakan yang haq dan yang bathil[8].
2)
Hubungan
antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya
Misalnya
permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-waqi’ah memiliki relevansi yang
jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.
ôxÎm7|¡sù ËLô$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ
“ Maka bertasbihlah dengan
(menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar”. (QS. Al-Waqi’ah [56]:96)
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ
“ semua yang berada di langit dan
yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan
Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Hadid [57]: 1)
3)
Hubungan antara awal
surat dan akhir surat
Misalnya munasabah
antar permulaan surat Shad dan penutupannya yang menceritakan kisah orang
kafir. Demikian halnya dengan surat Al-Qashash, dimulai dengan kisah Nabi Musa
dan Fir’aun serta kaum kafir, sedang ayat yang terakhir menggambartkan
pernyataan Allah agar umat islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang
kafir, sebab Allah lebih mengerti tentang hidayah[9].
4)
Hubungan antara dua
surat dalam perihal materinya
Yaitu materi surat yang
satu sama dengan materi surat yang lain. Misalnya munasabah antara isi
kandungan surat Al-Baqarah sama-sama menjelaskan tentang aqidah, ibadah,
mua’malah, kisah, janji, dan ancaman. Bedanya kandungan tersebut dalam surat Al-Fatihah
dijelaskan secara umum sedangkan dalam surat Al-Baqarah dijelaskan secara
perinci.
[1] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir,
(Bandung: Pustaka Setia,2006), hlm. 37.
[2] Zenrif MF, Sintesis
Paradigma Studi Al-Qur’an, (Malang: UIN MALANG, 2008), hlm. 227.
[3] Muhammad
Zaini, Ulumul Qur’an suatu pengantar, (Banda Aceh: YAYASAN PeNA BANDA
ACEH, 2005), hlm. 79.
[5] Ade Jamarudin,
Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Hakim,2011), hlm. 182.
[6] Supiana dan
M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 161.
[7] Ade
Jamarudin, op.cit, hlm. 182-183.
[8] Usman,
op.cit, hlm. 188.
[9] Ade
Jamarudin, op.cit, hlm. 185-186.
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari Blog Ini
- September 2021 (6)
- Juni 2019 (12)
- April 2017 (1)
- Januari 2017 (2)
- Desember 2016 (2)
- September 2016 (1)
- Mei 2016 (8)
- April 2016 (7)
- Maret 2016 (2)
- November 2015 (3)
- Juli 2015 (1)
- April 2015 (2)
- Maret 2015 (2)
- Februari 2015 (1)
- November 2014 (1)
- Februari 2014 (1)
Translate
Popular Posts
-
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Disusun Oleh M khuzaifah ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan po...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara ...