Perbandingan Konsep Kepribadian Islam dan barat



PERBANDINGAN KONSEP KEPRIBADIAN ISLAM DAN BARAT
(Psikologi Kepribadian)
(M. Khuzaifah) 


PENDAHULUAN


Teori-teori kepribadian telah banyak lahir dari pemikiran pakar-pakar psikologi yang mengkaji tentang struktur psikis dan kepribadian manusia. Teori-teori yang bermunculan tersebut masing-masing memiliki asumsi yang berbeda mengenai struktur kepribadian manusia. Seperti halnya psikologi barat seperti aliran Psikoalalisis, Behaviuoristik, maupun Humanistik, masing masing dari teori tersebut memiliki paradigma yang berbeda terhadap manusia.
Selain teori barat, Islam juga memiliki pandangan terhadap kepribadian manusia. Pada dasarnya, konsep pengamatan tentang jiwa dan kepribdian bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam. Karena telah banyak ilmuan-ilmuan Islam yang memberikan pandangan tentang konsep kejiwaan, seperti imam Al-Ghazali yang berbicara tentang An-Nafs, Taqiyaddin yang membahas tentang Af’al Al-Insan, seperti Ibn Taymiyyah yang membahas tentang hati dan penyakitnya, dan masih banyak lainnya.
Perbedaan konsep kepribadian Islam dan barat memiliki perbedaan yang sangat jauh. Cara islam memandang manusia berbeda dengan pandangan barat terhadap manusia. Konsep kepribadian dalam Islam lebih sempurna dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan barat yang tak terjawab mengenai kepribadian manusia. pada tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perbedaan konsep kepribadian Islam dan barat.


A.           Pengertian Keperibadian Islam dan Barat
Kepribadian dalam bahasa Inggris dengan personality (topeng).[1] Istilah kepribadian sering dijumpai dan beberapa literatur dengan berbagai ragam makna dan pendekatan. Sebagian psikolong ada yang menyebutnya dengan personality (kepribadian), sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan psikologi kepribadian. Selanjutnya ada yang menyebutnya dengan karakter (watak atau perangai), sedang ilmu yang membicarakannya disebut dengan psikologi karakter dan ada yang menyebut dengan tipe, sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan tipologi. Kepribadian dalam barat seperti yang dikemukakan oleh Alport adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang sistem psikofisik yang menunjukkan penyesuaian yang unik terhadap lingkungannya.   
Dalam Islam, istilah kepribadian lebih dikenal dengan term al-syakhshiyah yang berasal dari kata shakhsh yang berarti “pribadi”. Kata itu kemudian diberi  ya  nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (masdhar shina’iy) syaksyiah, yang berarti kepribadian. Kepribadian dalam perspektif islam sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib merupakan suatu kesatuan integrasi dari sistem kalbu, akal dan hawa nafsu  menimbulkan tingkah laku.[2]
Dari kedua definisi kepribadian tersebut, menurut asumsi penulis kepribadian dalam Islam dan barat sama-sama merupakan sikap atau perilakun khas yang terbentuk pada individu yang merupakan hasil dari integrasi dari elemen-elemen atau substansi kepribadian. Namun substansi kepribadian tersebut masing-masing aliran teori berbeda paradigmanya.
B.            Perbandingan Konsep Kebribadian
1.             Konsep Manusia
a.             Teori barat
Mazhab Psikoanalisa memandang manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh sistem ketidaksadaran (unconsciousness) dalam diri manusia.[3] Pada pandangan behaviorisme, memandang manusia adalah makhluk biologis yang terkondisi oleh lingkungannya. Oleh karena itu dalam behaviorisme proses adaptasi adalah tema sentral dalam kajian psikologi Behaviorisme. Pada pandangan Humanistik, manusia dipandang sebagai makhluk unik (khas, istimewa) yang berbeda dengan binatang. Ia memiliki karakteristik kemanusiaan, seperti gagasan-gagasan, kreatifitas, nilai-nilai, kesadaran diri, tanggung jawab, hati nurani, makna hidup, pengalaman transenden, rasa malu, rasa cinta, semangat, humor, rasa seni, dan lainnya. Manusia sebagai makhluk unik juga memiliki kemauan, kebebasan, dan potensi untuk memecahkan persoalan hidupnya.
b.             Teori Islam
Psikologi Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan Psikoanalisa dan Behavioristik, tetapi ada kedekatan (tetapi bukan sama) dengan pandangan Humanistik. Manusia dalam psikologi Islam dipandang sebagai makhluk unik (istimewa) dalam bahasa Alquran disebut dengan khalqan akhar (QS. 24:14). Ia adalah makhluk two in one atau makhluk satu wujud dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan rohani. Di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui adanya Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan (free will), terpercaya (amanah), tanggung jawab dan kecendrungan kearah kebaikan. Eksistensinya dimulai dari keadaan lemah (da’if) yang kemudian bergerak ke arah kekuatan yang sangat dahsyat.
Dengan demikian, bila dibandingkan dengan konsep manusia dalam Psikoanalisa, Behavioristik, dan humanistik dengan Psikologi Islami, dalam memandang manusia terdapat perbedaan yang besar, dan hanya sedikit persamaan. Secara biologis tidak ada perbedaan yang signifikan antara berbagai aliran psikologi tersebut. namun dari sisi rohani, maka terdapat perbedaan mendasar. Psikoanalisa memandang sisi rohani manusia berisikan dorongan nafsu-nafsu primitif, destruktif,  yang disebut dengan libido seksual yang diperoleh secara hereditas. Bagi Behavioristik, jiwa manusia pada mulanya ada, tetapi kosong. Manusia tidak memiliki pembawaan, dan lingkungannya lah yang mengisi, membentuk, dan memformulasi jiwa manusia. Dan Psikologi humanistik memandang jiwa manusia memiliki karakteristik khas, memiliki pikiran, perasaan, kemauan, kebebasan dan lainnya yang berperan dalam melahirkan tingkah laku.
Konsep-konsep yang dikemukakan diatas (Psikoanalisa, Behavioristik dan Humanistik) bila ditelaah dengan kaca mata psikologi Islami, maka psikologi Islami tidak menolak dan tidak juga membenarkan semua teori-teori tentang konsep manusia tersebut. Tidak ditolak maksudnya adalah bahwa semua konsep tersebut dapat diterima dengan mendudukkannya secara proporsional dalam wilayah dan sistem komposisi struktur manusia menurut psikologi Islami. Sedangkan tidak membenarkan, maksudnya adalah kalau dimensi yang dikemukkan dalam teori-teori itu menjadi satu-satunya dimensi yang berperan dalam jiwa manusia dan menafikan dimensi yang lain.
Jadi, dalam pandangan psikologi Islami, bahwa teori psikoanalisa, behavioristik, dan humanistik tentang manusia adalah teori-teori yang reduksionis, belum tuntas, dan terlalu menyederhanakan persoalan jiwa manusia yang begitu kompleks dan luas. Teori-teori itu masing-masing hanya tertuju pada satu dimensi tertentu saja dan sama sekali tidak menyentuh dimensi yang lainnya.[4]
2.             Struktur Psikis Manusia
Struktur di sini dimaksudkan adalah komposisi yang membentuk satu kesatuan yang utuh, integral dan sempurna. Struktur psikis manusia dalam bahasan ini berarti komposisi psikis (jiwa) yang terdiri dari beberapa bagian (unsur, elemen, dimensi) yang menyatu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, namun secara tegas dan jelas dapat dibedakan karakteristik dan ciri khasnya.
a.             Teori Barat
Menurut psikoanalisis (terutama Freud) struktur psikis manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu: id, ego, dan super ego. Dan jiwa manusia terdiri dari tiga sistem kesadaran, yaitu consciousness (kesadaran), preconsciousness (ambang kesadaran) dan unconsciousness (ketidak sadaran). Dari ketiga sistem id, ego, dan super ego, maka sistem id merupakan sistem terbesar yang menguasai jiwa manusia. sejalan dengan itu, dari ketiga sistem kesadaran, unconsciouness (ketidak sadaran) adalah wilayah yang paling berkuasa dalam diri manusia.
Sementara itu, behaviorisme tidak menjelaskan secara rinci tentang struktur psikis manusia. bagi behaviorisme jiwa manusia itu merupakan mesin otomatis yang rumit, kompleks, dan canggih. Jiwa itu pada mulanya kosong, dan diisi dengan pengalaman secara sedikit demi sedikit. Jiwa manusia menurut behavioristik bersifat netral-pasif. Netral artinya jiwa manusia tidak memiliki pembawaan yang baik atau buruk. Sedangkan pasif berarti bahwa jiwa manusia laksana benda mati yang tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, melainkan sangat terikat dengan lingkungannya.
Menurut humanistik susunan struktur psikis manusia terdiri dari dimensi somatis (raga), psikis (jiwa), dan noetik (kerohanian) atau disebut juga dengan dimensi spiritual. Makna spiritual dalam humanistik ini sama sekali tidak mengandung konotasi agama, tetapi dimensi ini diyakini sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup dan potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang sejauh ini masih terabaikan dalam kajian psikologi.[5]
b.             Teori Islam
Dalam psikologi Islam, manusia adalah makhluk unik (istimewa). Manusia terdiri dari dimensi jasmani (al-jism) dan dimensi rohani yang disebut dengan al-nafs (jiwa) yang memiliki unsur al-nafsu, al-‘aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Unsur-unsur ini mebentuk komposisi (struktur) yang sistematis, utuh, integritas, dan sempurna, dan inilah struktur atau komposisi jiwa manusia dalam Psikologi Islami.[6]
Jasmani adalah salah satu aspek dalam diri manusia yang bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat dirasakan dengan panca indra, seperti tubuh dan anggota-anggotanya seperti tangan, kaki, mata, telinga dan lain-lain. Dengan kata lain, ia terdiri dari struktur organisme fisik. Setiap makhluk biotik lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari tanah, air, api, dan udara. Keempat unsur tersebut merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (al-Thâqah al-Jismiyyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup. Dengan daya ini, jasad manusia dapat bernafas, merasakan sakit, panas-dingin, pahit-manis, haus lapar dan segala rasa fisik bilogis lainnya.[7]
Dan al-nafs adalah aspek jiwa manusia, atau dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, nafs diartikan dengan jiwa atau diri. Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud adalah substansi psikofisik (jasadi-ruhani) manusia, dimana komponen yang bersifat jasadi (jismiyah) bergabung dengan komponen ruh sehingga menciptakan potensi-potensi yang potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakannya.

Di dalam aspek nafsiyah ini terdapat beberapa unsur yang memiliki peranan yang berbeda satu sama lain, yaitu:
1)      Al-nafsu. Nafsu dalam terminologi psikologi dekat dengan sebutan konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Nafsu memiliki 3 tingkatan, yaitu nafsu al-amarah, al-lawwamah, dan al-mutmainah. Nafsu al-amarah adalah nafsu yang mendorong kepada perbuatan jahat (QS.12:53). Nafsu al-lawwamah adalah nafsu yang menerima kedua sifat perbuatan yaitu fujur (kejahatan) dan taqwa (kebaikan), nafsu ini lebih dikenal nafsu yang mencela dirinya setelah berbuat jahat (QS.91:8). Dan nafsu al-mutmainnah ialah nafsu yang menolak kejahatan lebih besar dan menerima kebaikan lebih besar, sehingga ia selalu terhindar dari perbuatan jahat dan selalu melakukan berbuat baik (QS.27:30).
2)      Al-aql. Akal bukanlah kalbu. Ia merupakan dimensi tersendiri dalam aspek nafsiyah yang berkedudukan di otak yang berfungsi untuk berpikir. Akal memiliki kesamaan dengan kalbu dalam memperoleh daya kognisi, tetapi cara dan hasilnya berbeda. Akal mampu mencapai pengetahuan rasional tetapi tidak mampu mencapai pengetahuan yang supra-rasional. Akal mampu mengungkap hal-hal yang abstrak tetapi belum mampu merasakan hakikatnya. Akal mampu menghantarkan eksistensi manusia pada tingkat kesadaran tetapi tidak mampu mengahantarkan pada tingkat supra-kesadaran.[8]
3)      Al-qalb adalah menyangkut jiwa yang bersifat halus, ruhaniah, ketuhanan, yang mempunyai hubungan dengan Kalbu Jasmani. Kalbu inilah yang merupakan hakikat dari manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima, berkemauan, berfikir, mengenal, dan beramal serta menjadi sasaran perintah, hukuman, cela dan tuntutan Tuhan Dimensi al-qalb memiliki dua daya, yaitu daya memahami dan daya merasakan. Beda dengan daya memahami yang ada pada ‘aql. Daya memahami al-qalb dapat muncul bila benar-benar suci.[9]
4)      Al-ruh. Ibnu Rusyd memandang ruh sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awal ini karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yangmerupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh menunjukan jasad yang terdiri dari organ-organ.[10]
5)      Al-fitrah adalah struktur psikis sebagai identitas esensial yang memberikan “bingkai” kemanusiaan bagi al-nafs (jiwa) agar tidak bergeser dari kemanusiaannya.
Sementara itu, psikologi Islam memandang psikoanalisa yang meyakini susunan id, ego dan super ego merupakan bagian kecil saja dari komponen jiwa manusia. posisi itu memiliki kedekatan dengan dimensi al-nafs yang mempunyai tiga tingkatan. Sementara behaviorisme dalam pandangan psikologi Islam bahwasannya wilayah instink, naluri, refleks-refleks berada dalam dimensi al-jism.
Psikologi humanistik dipandang mendekati konsep psikologi Islami. Dalam psikologi humanistik terlihat dibedakan antara dimensi jiwa dengan dimensi rohani (noetik). Dimensi psikis berhubungan dengan pikiran, perasaan dan kemauan. Sementara dimensi noetik atau spiritual berhubungan dengan hidup bermakna (the will of meaning), makna hidup (the meaning of life), dan kebebasan berkehendak (the freedom of will) dan merupakan sumber-sumber kualitas insani manusia. konsep aktualisasi diri dalam humanistik adalah mencari dan menemukan makna hidup dan arti hidupnya. Sementara aktualisasi diri dalam psikologi Islam adalah mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya dan perwujudannya merupakan perwujudan fungsi khalifah.
C.           Kritik Teori Islam Terhadap Teori Barat
1.             Teori Psikoanalisa (Sigmun Freud)
Menurut Freud, alam pikiran dan ruang gerak manusia bersumber dari adanya kekuatan lIbido yang dispesifikasikan sebagai dorongan seksual. Dan semua gangguan psikis adalah akibat konflik seksual dari kekuatan lIbido yang tidak tersalurkan dengan baik. Untuk itu, terapi ala Freud digiring pada prinsip kesenangan dan prinsip realitas, tanpa memperhatikan norma-norma ketuhanan. Ia beranggapan, bahwa agama terlalu banyak mengadakan larangan-larangan kepada manusia, dan dianggap sebagai penghalang tersalurnya tekanan-tekanan psikologis. Oleh Freud, tekanan-tekanan yang mengendap di bawah sadar itu disalurkan lewat logika akal. Kumpul kebo misalnya, oleh Freud bisa diterima sebagai “katup pengaman” tersalurnya tekanan-tekanan seksual.[11]
Seluruh tingkah manusia dalam pandangan aliran ini menjadi teraktual oleh karena lIbido seksual ini. Hal ini menunjukan bahwa aktualisasi aspek psikologis dan sosiologis manusia hanya dimotivasi oleh peran seks (syahwat). Apabila peran seks tidak berkeinginan untuk diaktualisasikan berarti aspek psikologis dan sosiologis tidak akan terealisir, namun apabila ia berkeinginan untuk diaktualisasi maka aktualitas itu sebenarnya merupakan tuntutan ke-primitif-an tingkah laku manusia, sebab semuanya didorong oleh lIbido seksual yang terpusat pada id. Untuk itu, hakikat tujuan hidup manusia manurut Freud hanya mengejar kenikatan, hedonisme dan mengembangkan impuls-impuls hawa nafsunya yang primitif, bukan ingin membangun cinta manusia sesuangguhnya. Manusia dalam perspektif Freud tidak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia adalah organisme yang tingkah lakunya dideterminasi oleh sejumlah determinan dan determinan manusia berasal dalam diri manusia sendiri (faktor internal/id). Pandangan ini tentu saja sangat deterministik dan menafikan konsep fitrah yang ada pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Sebagai makhluk yang berakal dan apalagi memiliki keyakinan agama, tentunya pandangan ini patut dikritik, karena manusia tidak mau dan tidak bisa disamakan begitu saja dengan hewan. Ada potensi lain yang harus dilihat melalui dimensi berbeda antara manusia dan hewan yang berinsting. Ada konsep fitrah pada manusia yang dinafikan begitu saja dalam teori Freud. Ia lupa bahwa ketika terjadi konsepsi manusia, maka dalam dirinya dilekatkan adanya kecenderungan untuk kembali kepada Tuhan, kembali kepada kebenaran sejati.
2.             Behaviouristik
Aliran Behaviorisme tentu saja sangat deterministik dan memiliki kecenderungan reduksionistis, yang menganggap manusia tidak memiliki jiwa, tak memiliki kemauan, dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Perilaku manusia yang pada dasarnya unik dan majemuk dalam perspektif aliran ini tak ubahnya laksana benda mati, mesin yang bekerja karena menerima faktorfaktor penguat berupa ganjaran dan hukuman. Behaviorisme memandang perilaku manusia bukan dikendalikan oleh faktor dalam (alam bawah sadar) tetapi sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak, yang terukur, dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang bekerja tanpa ada motif di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh faktor obyektif (bahan bakar, kondisi mesin dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya.
Konsep manusia dalam pandangan aliran ini, diyakini hanya dapat diamati dan diukur melalui pendekatan terhadap persoalan fisik dan teknis semata. Manusia hanya dianggap  sebagai obyek yang cukup diamati, tak perlu diwawancarai untuk memperoleh informasi tentang dirinya, perasaan-perasaannya serta hasrat dan keinginannya diingkari.

3.             Humanistik
Psikologi humanistik telah dipengaruhi oleh psikoanalisis dan behaviorisme, namun ia mempunyai ketidaksesuaian yang sangat berarti bahkan dapat dikatakan, psikologi humanistik hadir untuk mengkritisi kedua aliran sebelumnya yang dipandang telah melakukan dehumanisasi yang menafikan citra unik manusia.
Aliran Humanistik ini meyakini sebuah konsep yang jauh lebih positif mengenai hakekat manusia, yakni memandang hakekat  manusia  itu  pada  dasarnya  baik.  Perbuatan-perbuatan manusia  yang  kejam  dan  mementingkan  diri  sendiri  dipandang sebagai tingkah laku patologik yang disebabkan oleh penolakan dan frustasi dari sifat yang pada dasarnya baik itu. Seorang manusia tidak dipandang sebagai mesin otomat yang pasif, tetapi sebagi peserta yang aktif yang mempunyai kemerdekaan memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan nasib orang lain.
Aliran ini yang melihat manusia dengan pola dasar yang baik dan berpotensi tidak terbatas.[12] Pandangan ini jelas sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-god (peran Tuhan).
Konsep-konsep seperti fitrah ketuhanan, keimanan  dan  ibadah  perlu  diintroduksi  pada  Psikologi  Humanistik, karena manusia tidak saja melakukan relasi horisontal dengan alam (diri sendiri dan lingkungannya), tetapi juga menegakkan relasi transdental dengan Tuhan. Aliran ini terlalu memperhatikan kesadaran diri dan kemauan bebas manusia yang mutlak. Akibatnya, pertanyaan tentang: akan dibawa kemana hari depan umat manusia ini, sangatlah tergantung pada keinginan dan kehendak mutlak manusia itu sendiri tanpa merasa ada piranti pembatas atas segala tindakan-tindakannya.

KESIMPULAN
Kepribadian dalam Islam dan barat sama-sama merupakan sikap atau perilakun khas yang terbentuk pada individu yang merupakan hasil dari integrasi dari elemen-elemen atau substansi kepribadian. Namun substansi kepribadian tersebut masing-masing aliran teori berbeda paradigmanya. Teori barat tidak sepenuhnya mampu menjawab struktur psikis manusia yang begitu luas. Teori tersebut lebih disempurnakan oleh teori Islam, meskipun salah satu mazhab psikologi barat hampir mnedekati konsep kepribadian Islam, yaitu psikologi humanistik. Namun aktualisasi dalam humanistik adalah kebermaknaan hidup, atau hidup yang bermakna. Sementara aktualisasi diri dalam psikologi Islam ialah aktualisasi nilai-nilai kebaikan atau sifat-sifat Allah ke dalam hidup manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islam Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Hartati, Netty, dkk. 2005. Islam dan Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Yusuf, Syamsu. 2007. Teori Kepribadian, Bandung: Remaja Rosda karya
Septi Gumiandari, Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah Kritis atas Psikologi Kepribadian Modern),  JURNAL Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433H





[1] Netty Hartati, dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 117.
[2] Syamsu Yusuf, Teori Kepribadian, (Bandung: Remaja Rosda karya, 2007), hlm. 212.
[3] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), hlm. 288.
[4] ibid., hlm. 295.
[5] Ibid., hlm. 302.
[6] Ibid., hlm. 306.
[7] Septi Gumiandari, Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah Kritis atas Psikologi Kepribadian Modern),  JURNAL Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H, hlm. 280.
[8] Ibid., hlm. 285.
[9] Baharuddin., op.cit., hlm. 235.
[10] Septi Gumiandari, op.cit., hlm. 281.
[11] Djamaludin  Ancok dalam Seprti Gumiandari., op.cit., hlm. 10.
[12] Septi Gumiandari., op.cit., hlm 268.

Tidak ada komentar: