PERBANDINGAN
KONSEP KEPRIBADIAN ISLAM DAN BARAT
(Psikologi
Kepribadian)
PENDAHULUAN
Teori-teori kepribadian telah banyak
lahir dari pemikiran pakar-pakar psikologi yang mengkaji tentang struktur
psikis dan kepribadian manusia. Teori-teori yang bermunculan tersebut masing-masing
memiliki asumsi yang berbeda mengenai struktur kepribadian manusia. Seperti
halnya psikologi barat seperti aliran Psikoalalisis, Behaviuoristik, maupun
Humanistik, masing masing dari teori tersebut memiliki paradigma yang berbeda
terhadap manusia.
Selain teori barat, Islam juga
memiliki pandangan terhadap kepribadian manusia. Pada dasarnya, konsep
pengamatan tentang jiwa dan kepribdian bukanlah suatu hal yang baru dalam
Islam. Karena telah banyak ilmuan-ilmuan Islam yang memberikan pandangan tentang
konsep kejiwaan, seperti imam Al-Ghazali yang berbicara tentang An-Nafs,
Taqiyaddin yang membahas tentang Af’al Al-Insan, seperti Ibn Taymiyyah
yang membahas tentang hati dan penyakitnya, dan masih banyak lainnya.
Perbedaan konsep kepribadian Islam
dan barat memiliki perbedaan yang sangat jauh. Cara islam memandang manusia
berbeda dengan pandangan barat terhadap manusia. Konsep kepribadian dalam Islam
lebih sempurna dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan barat yang tak terjawab
mengenai kepribadian manusia. pada tulisan ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai perbedaan konsep kepribadian Islam dan barat.
A.
Pengertian Keperibadian Islam dan Barat
Kepribadian
dalam bahasa Inggris dengan personality (topeng).[1]
Istilah kepribadian sering dijumpai dan beberapa literatur dengan berbagai
ragam makna dan pendekatan. Sebagian psikolong ada yang menyebutnya dengan
personality (kepribadian), sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan
psikologi kepribadian. Selanjutnya ada yang menyebutnya dengan karakter (watak
atau perangai), sedang ilmu yang membicarakannya disebut dengan psikologi
karakter dan ada yang menyebut dengan tipe, sedang ilmu yang membahasnya
disebut dengan tipologi. Kepribadian dalam barat seperti yang dikemukakan oleh
Alport adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang sistem
psikofisik yang menunjukkan penyesuaian yang unik terhadap lingkungannya.
Dalam
Islam, istilah kepribadian lebih dikenal dengan term al-syakhshiyah yang
berasal dari kata shakhsh yang berarti “pribadi”. Kata itu kemudian
diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan
(masdhar shina’iy) syaksyiah, yang berarti kepribadian. Kepribadian
dalam perspektif islam sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib merupakan
suatu kesatuan integrasi dari sistem kalbu, akal dan hawa nafsu menimbulkan tingkah laku.[2]
Dari
kedua definisi kepribadian tersebut, menurut asumsi penulis kepribadian
dalam Islam dan barat
sama-sama merupakan sikap atau perilakun khas yang terbentuk pada individu yang
merupakan hasil dari integrasi dari elemen-elemen atau substansi kepribadian.
Namun substansi kepribadian tersebut masing-masing aliran teori berbeda
paradigmanya.
B.
Perbandingan
Konsep Kebribadian
1.
Konsep
Manusia
a.
Teori
barat
Mazhab Psikoanalisa memandang manusia
adalah makhluk yang dikuasai oleh sistem ketidaksadaran (unconsciousness)
dalam diri manusia.[3]
Pada pandangan behaviorisme, memandang manusia adalah makhluk biologis yang
terkondisi oleh lingkungannya. Oleh karena itu dalam behaviorisme proses
adaptasi adalah tema sentral dalam kajian psikologi Behaviorisme. Pada
pandangan Humanistik, manusia dipandang sebagai makhluk unik (khas, istimewa)
yang berbeda dengan binatang. Ia memiliki karakteristik kemanusiaan, seperti
gagasan-gagasan, kreatifitas, nilai-nilai, kesadaran diri, tanggung jawab, hati
nurani, makna hidup, pengalaman transenden, rasa malu, rasa cinta, semangat,
humor, rasa seni, dan lainnya. Manusia sebagai makhluk unik juga memiliki
kemauan, kebebasan, dan potensi untuk memecahkan persoalan hidupnya.
b.
Teori
Islam
Psikologi Islam memiliki pandangan
yang berbeda dengan Psikoanalisa dan Behavioristik, tetapi ada kedekatan
(tetapi bukan sama) dengan pandangan Humanistik. Manusia dalam psikologi Islam
dipandang sebagai makhluk unik (istimewa) dalam bahasa Alquran disebut dengan khalqan
akhar (QS. 24:14). Ia adalah makhluk two in one atau makhluk satu
wujud dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan rohani. Di dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui adanya Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan (free
will), terpercaya (amanah), tanggung jawab dan kecendrungan kearah
kebaikan. Eksistensinya dimulai dari keadaan lemah (da’if) yang kemudian
bergerak ke arah kekuatan yang sangat dahsyat.
Dengan demikian, bila dibandingkan
dengan konsep manusia dalam Psikoanalisa, Behavioristik, dan humanistik dengan
Psikologi Islami, dalam memandang manusia terdapat perbedaan yang besar, dan
hanya sedikit persamaan. Secara biologis tidak ada perbedaan yang signifikan
antara berbagai aliran psikologi tersebut. namun dari sisi rohani, maka
terdapat perbedaan mendasar. Psikoanalisa memandang sisi rohani manusia
berisikan dorongan nafsu-nafsu primitif, destruktif, yang disebut dengan libido seksual yang
diperoleh secara hereditas. Bagi Behavioristik, jiwa manusia pada mulanya ada,
tetapi kosong. Manusia tidak memiliki pembawaan, dan lingkungannya lah yang
mengisi, membentuk, dan memformulasi jiwa manusia. Dan Psikologi humanistik
memandang jiwa manusia memiliki karakteristik khas, memiliki pikiran, perasaan,
kemauan, kebebasan dan lainnya yang berperan dalam melahirkan tingkah laku.
Konsep-konsep yang dikemukakan diatas
(Psikoanalisa, Behavioristik dan Humanistik) bila ditelaah dengan kaca mata
psikologi Islami, maka psikologi Islami tidak menolak dan tidak juga
membenarkan semua teori-teori tentang konsep manusia tersebut. Tidak ditolak
maksudnya adalah bahwa semua konsep tersebut dapat diterima dengan
mendudukkannya secara proporsional dalam wilayah dan sistem komposisi struktur
manusia menurut psikologi Islami. Sedangkan tidak membenarkan, maksudnya adalah
kalau dimensi yang dikemukkan dalam teori-teori itu menjadi satu-satunya
dimensi yang berperan dalam jiwa manusia dan menafikan dimensi yang lain.
Jadi, dalam pandangan psikologi
Islami, bahwa teori psikoanalisa, behavioristik, dan humanistik tentang manusia
adalah teori-teori yang reduksionis, belum tuntas, dan terlalu menyederhanakan
persoalan jiwa manusia yang begitu kompleks dan luas. Teori-teori itu
masing-masing hanya tertuju pada satu dimensi tertentu saja dan sama sekali
tidak menyentuh dimensi yang lainnya.[4]
2.
Struktur
Psikis Manusia
Struktur di sini dimaksudkan adalah
komposisi yang membentuk satu kesatuan yang utuh, integral dan sempurna.
Struktur psikis manusia dalam bahasan ini berarti komposisi psikis (jiwa) yang
terdiri dari beberapa bagian (unsur, elemen, dimensi) yang menyatu dan tak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, namun secara tegas dan jelas dapat
dibedakan karakteristik dan ciri khasnya.
a.
Teori
Barat
Menurut psikoanalisis (terutama
Freud) struktur psikis manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu: id, ego,
dan super ego. Dan jiwa manusia terdiri dari tiga sistem kesadaran,
yaitu consciousness (kesadaran), preconsciousness (ambang
kesadaran) dan unconsciousness (ketidak sadaran). Dari ketiga sistem id,
ego, dan super ego, maka sistem id merupakan sistem terbesar yang
menguasai jiwa manusia. sejalan dengan itu, dari ketiga sistem kesadaran, unconsciouness
(ketidak sadaran) adalah wilayah yang paling berkuasa dalam diri manusia.
Sementara itu, behaviorisme tidak
menjelaskan secara rinci tentang struktur psikis manusia. bagi behaviorisme
jiwa manusia itu merupakan mesin otomatis yang rumit, kompleks, dan canggih.
Jiwa itu pada mulanya kosong, dan diisi dengan pengalaman secara sedikit demi
sedikit. Jiwa manusia menurut behavioristik bersifat netral-pasif. Netral
artinya jiwa manusia tidak memiliki pembawaan yang baik atau buruk. Sedangkan
pasif berarti bahwa jiwa manusia laksana benda mati yang tidak memiliki kemauan
dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, melainkan sangat
terikat dengan lingkungannya.
Menurut humanistik susunan struktur
psikis manusia terdiri dari dimensi somatis (raga), psikis
(jiwa), dan noetik (kerohanian) atau disebut juga dengan dimensi
spiritual. Makna spiritual dalam humanistik ini sama sekali tidak mengandung konotasi
agama, tetapi dimensi ini diyakini sebagai inti kemanusiaan dan merupakan
sumber makna hidup dan potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia
yang luar biasa yang sejauh ini masih terabaikan dalam kajian psikologi.[5]
b.
Teori
Islam
Dalam psikologi Islam, manusia adalah
makhluk unik (istimewa). Manusia terdiri dari dimensi jasmani (al-jism) dan
dimensi rohani yang disebut dengan al-nafs (jiwa) yang memiliki unsur al-nafsu,
al-‘aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Unsur-unsur ini mebentuk
komposisi (struktur) yang sistematis, utuh, integritas, dan sempurna, dan
inilah struktur atau komposisi jiwa manusia dalam Psikologi Islami.[6]
Jasmani adalah salah satu aspek dalam
diri manusia yang bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat dirasakan
dengan panca indra, seperti tubuh dan anggota-anggotanya seperti tangan, kaki,
mata, telinga dan lain-lain. Dengan kata lain, ia terdiri dari struktur
organisme fisik. Setiap makhluk biotik lahiriah memiliki unsur material yang
sama, yakni terbuat dari tanah, air, api, dan udara. Keempat unsur tersebut
merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi
kehidupan yang bersifat fisik (al-Thâqah al-Jismiyyah). Energi kehidupan
ini lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup. Dengan daya ini,
jasad manusia dapat bernafas, merasakan sakit, panas-dingin, pahit-manis, haus
lapar dan segala rasa fisik bilogis lainnya.[7]
Dan al-nafs adalah aspek jiwa
manusia, atau dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, nafs
diartikan dengan jiwa atau diri. Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud
adalah substansi psikofisik (jasadi-ruhani) manusia, dimana komponen
yang bersifat jasadi (jismiyah) bergabung dengan komponen ruh sehingga
menciptakan potensi-potensi yang potensial, tetapi dapat aktual jika manusia
mengupayakannya.
Di dalam aspek nafsiyah ini terdapat
beberapa unsur yang memiliki peranan yang berbeda satu sama lain, yaitu:
1) Al-nafsu. Nafsu dalam terminologi
psikologi dekat dengan sebutan konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah
bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Nafsu memiliki 3
tingkatan, yaitu nafsu al-amarah, al-lawwamah, dan al-mutmainah.
Nafsu al-amarah adalah nafsu yang mendorong kepada perbuatan jahat
(QS.12:53). Nafsu al-lawwamah adalah nafsu yang menerima kedua sifat
perbuatan yaitu fujur (kejahatan) dan taqwa (kebaikan), nafsu ini
lebih dikenal nafsu yang mencela dirinya setelah berbuat jahat (QS.91:8). Dan
nafsu al-mutmainnah ialah nafsu yang menolak kejahatan lebih besar dan
menerima kebaikan lebih besar, sehingga ia selalu terhindar dari perbuatan
jahat dan selalu melakukan berbuat baik (QS.27:30).
2) Al-aql. Akal bukanlah kalbu. Ia
merupakan dimensi tersendiri dalam aspek nafsiyah yang berkedudukan di otak
yang berfungsi untuk berpikir. Akal memiliki kesamaan dengan kalbu dalam
memperoleh daya kognisi, tetapi cara dan hasilnya berbeda. Akal mampu mencapai
pengetahuan rasional tetapi tidak mampu mencapai pengetahuan yang
supra-rasional. Akal mampu mengungkap hal-hal yang abstrak tetapi belum mampu
merasakan hakikatnya. Akal mampu menghantarkan eksistensi manusia pada tingkat
kesadaran tetapi tidak mampu mengahantarkan pada tingkat supra-kesadaran.[8]
3) Al-qalb adalah menyangkut jiwa
yang bersifat halus, ruhaniah, ketuhanan, yang mempunyai hubungan dengan Kalbu
Jasmani. Kalbu inilah yang merupakan hakikat dari manusia, karena sifat dan
keadaannya yang bisa menerima, berkemauan, berfikir, mengenal, dan beramal
serta menjadi sasaran perintah, hukuman, cela dan tuntutan Tuhan Dimensi al-qalb
memiliki dua daya, yaitu daya memahami dan daya merasakan. Beda dengan daya
memahami yang ada pada ‘aql. Daya memahami al-qalb dapat muncul
bila benar-benar suci.[9]
4) Al-ruh. Ibnu Rusyd memandang ruh
sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan
awal ini karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yangmerupakan
pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan
disebut organik karena ruh menunjukan jasad yang terdiri dari organ-organ.[10]
5) Al-fitrah adalah struktur psikis
sebagai identitas esensial yang memberikan “bingkai” kemanusiaan bagi al-nafs
(jiwa) agar tidak bergeser dari kemanusiaannya.
Sementara itu, psikologi Islam
memandang psikoanalisa yang meyakini susunan id, ego dan super ego
merupakan bagian kecil saja dari komponen jiwa manusia. posisi itu memiliki
kedekatan dengan dimensi al-nafs yang mempunyai tiga tingkatan.
Sementara behaviorisme dalam pandangan psikologi Islam bahwasannya wilayah
instink, naluri, refleks-refleks berada dalam dimensi al-jism.
Psikologi humanistik dipandang
mendekati konsep psikologi Islami. Dalam psikologi humanistik terlihat
dibedakan antara dimensi jiwa dengan dimensi rohani (noetik). Dimensi
psikis berhubungan dengan pikiran, perasaan dan kemauan. Sementara dimensi
noetik atau spiritual berhubungan dengan hidup bermakna (the will of meaning),
makna hidup (the meaning of life), dan kebebasan berkehendak (the
freedom of will) dan merupakan sumber-sumber kualitas insani manusia.
konsep aktualisasi diri dalam humanistik adalah mencari dan menemukan makna
hidup dan arti hidupnya. Sementara aktualisasi diri dalam psikologi Islam
adalah mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya dan
perwujudannya merupakan perwujudan fungsi khalifah.
C.
Kritik
Teori Islam Terhadap Teori Barat
1.
Teori
Psikoanalisa (Sigmun Freud)
Menurut Freud, alam pikiran dan ruang
gerak manusia bersumber dari adanya kekuatan lIbido yang dispesifikasikan
sebagai dorongan seksual. Dan semua gangguan psikis adalah akibat konflik
seksual dari kekuatan lIbido yang tidak tersalurkan dengan baik. Untuk itu,
terapi ala Freud digiring pada prinsip kesenangan dan prinsip realitas, tanpa
memperhatikan norma-norma ketuhanan. Ia beranggapan, bahwa agama terlalu banyak
mengadakan larangan-larangan kepada manusia, dan dianggap sebagai penghalang
tersalurnya tekanan-tekanan psikologis. Oleh Freud, tekanan-tekanan yang
mengendap di bawah sadar itu disalurkan lewat logika akal. Kumpul kebo
misalnya, oleh Freud bisa diterima sebagai “katup pengaman” tersalurnya
tekanan-tekanan seksual.[11]
Seluruh tingkah manusia dalam
pandangan aliran ini menjadi teraktual oleh karena lIbido seksual ini. Hal ini
menunjukan bahwa aktualisasi aspek psikologis dan sosiologis manusia hanya
dimotivasi oleh peran seks (syahwat). Apabila peran seks tidak berkeinginan
untuk diaktualisasikan berarti aspek psikologis dan sosiologis tidak akan
terealisir, namun apabila ia berkeinginan untuk diaktualisasi maka aktualitas
itu sebenarnya merupakan tuntutan ke-primitif-an tingkah laku manusia, sebab
semuanya didorong oleh lIbido seksual yang terpusat pada id. Untuk itu, hakikat
tujuan hidup manusia manurut Freud hanya mengejar kenikatan, hedonisme dan
mengembangkan impuls-impuls hawa nafsunya yang primitif, bukan ingin membangun
cinta manusia sesuangguhnya. Manusia dalam perspektif Freud tidak memiliki
kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia adalah organisme
yang tingkah lakunya dideterminasi oleh sejumlah determinan dan determinan
manusia berasal dalam diri manusia sendiri (faktor internal/id). Pandangan ini
tentu saja sangat deterministik dan menafikan konsep fitrah yang ada pada diri
manusia sejak ia dilahirkan. Sebagai makhluk yang berakal dan apalagi memiliki
keyakinan agama, tentunya pandangan ini patut dikritik, karena manusia tidak mau
dan tidak bisa disamakan begitu saja dengan hewan. Ada potensi lain yang harus
dilihat melalui dimensi berbeda antara manusia dan hewan yang berinsting. Ada
konsep fitrah pada manusia yang dinafikan begitu saja dalam teori Freud. Ia
lupa bahwa ketika terjadi konsepsi manusia, maka dalam dirinya dilekatkan
adanya kecenderungan untuk kembali kepada Tuhan, kembali kepada kebenaran
sejati.
2.
Behaviouristik
Aliran Behaviorisme tentu saja sangat
deterministik dan memiliki kecenderungan reduksionistis, yang menganggap
manusia tidak memiliki jiwa, tak memiliki kemauan, dan kebebasan untuk
menentukan tingkah lakunya sendiri. Perilaku manusia yang pada dasarnya unik
dan majemuk dalam perspektif aliran ini tak ubahnya laksana benda mati, mesin
yang bekerja karena menerima faktorfaktor penguat berupa ganjaran dan hukuman.
Behaviorisme memandang perilaku manusia bukan dikendalikan oleh faktor dalam
(alam bawah sadar) tetapi sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak,
yang terukur, dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia
disebut sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang bekerja
tanpa ada motif di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh faktor obyektif
(bahan bakar, kondisi mesin dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah baik atau
tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai
dengan lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya.
Konsep manusia dalam pandangan aliran
ini, diyakini hanya dapat diamati dan diukur melalui pendekatan terhadap
persoalan fisik dan teknis semata. Manusia hanya dianggap sebagai obyek yang cukup diamati, tak perlu
diwawancarai untuk memperoleh informasi tentang dirinya, perasaan-perasaannya
serta hasrat dan keinginannya diingkari.
3.
Humanistik
Psikologi humanistik telah
dipengaruhi oleh psikoanalisis dan behaviorisme, namun ia mempunyai
ketidaksesuaian yang sangat berarti bahkan dapat dikatakan, psikologi
humanistik hadir untuk mengkritisi kedua aliran sebelumnya yang dipandang telah
melakukan dehumanisasi yang menafikan citra unik manusia.
Aliran Humanistik ini meyakini sebuah
konsep yang jauh lebih positif mengenai hakekat manusia, yakni memandang
hakekat manusia itu
pada dasarnya baik.
Perbuatan-perbuatan manusia
yang kejam dan
mementingkan diri sendiri
dipandang sebagai tingkah laku patologik yang disebabkan oleh penolakan
dan frustasi dari sifat yang pada dasarnya baik itu. Seorang manusia tidak
dipandang sebagai mesin otomat yang pasif, tetapi sebagi peserta yang aktif
yang mempunyai kemerdekaan memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan nasib
orang lain.
Aliran ini yang melihat manusia
dengan pola dasar yang baik dan berpotensi tidak terbatas.[12]
Pandangan ini jelas sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap
upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai
penentu tunggal yang mampu melakukan play-god (peran Tuhan).
Konsep-konsep seperti fitrah
ketuhanan, keimanan dan ibadah
perlu diintroduksi pada
Psikologi Humanistik, karena
manusia tidak saja melakukan relasi horisontal dengan alam (diri sendiri dan
lingkungannya), tetapi juga menegakkan relasi transdental dengan Tuhan. Aliran
ini terlalu memperhatikan kesadaran diri dan kemauan bebas manusia yang mutlak.
Akibatnya, pertanyaan tentang: akan dibawa kemana hari depan umat manusia ini,
sangatlah tergantung pada keinginan dan kehendak mutlak manusia itu sendiri
tanpa merasa ada piranti pembatas atas segala tindakan-tindakannya.
KESIMPULAN
Kepribadian dalam Islam dan barat sama-sama merupakan sikap atau perilakun
khas yang terbentuk pada individu yang merupakan hasil dari integrasi dari
elemen-elemen atau substansi kepribadian. Namun substansi kepribadian tersebut
masing-masing aliran teori berbeda paradigmanya. Teori barat
tidak sepenuhnya mampu menjawab struktur psikis manusia yang begitu luas. Teori
tersebut lebih disempurnakan oleh teori Islam, meskipun salah satu mazhab
psikologi barat hampir mnedekati konsep kepribadian Islam, yaitu psikologi
humanistik. Namun aktualisasi dalam humanistik adalah kebermaknaan hidup, atau
hidup yang bermakna. Sementara aktualisasi diri dalam psikologi Islam ialah
aktualisasi nilai-nilai kebaikan atau sifat-sifat Allah ke dalam hidup manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Baharuddin.
2004. Paradigma Psikologi Islam Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran,
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Hartati, Netty, dkk. 2005. Islam dan Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Yusuf, Syamsu. 2007. Teori Kepribadian,
Bandung: Remaja Rosda karya
Septi
Gumiandari, Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah
Kritis atas Psikologi Kepribadian Modern),
JURNAL Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433H
[3] Baharuddin, Paradigma Psikologi
Islam Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2004), hlm. 288.
[4] ibid., hlm. 295.
[5] Ibid., hlm. 302.
[6] Ibid., hlm. 306.
[7] Septi Gumiandari, Kepribadian
Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah Kritis atas Psikologi
Kepribadian Modern), JURNAL Holistik
Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H, hlm. 280.
[8] Ibid., hlm. 285.
[9] Baharuddin., op.cit., hlm. 235.
[10] Septi Gumiandari, op.cit.,
hlm. 281.
[11] Djamaludin Ancok dalam Seprti Gumiandari., op.cit.,
hlm. 10.
[12] Septi Gumiandari., op.cit.,
hlm 268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar