Efek Dakwah dan Tahap-Tahapan Perubahan Perilaku



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Tujuan utama dakwah ialah membawa perubahan baik dalam kehidupan umat, baik dari aspek sosial, moral, maupun spiritual. Dalam mewujudkan perubahan tersebut, tentunya dakwah harus bersifat persuasif, yakni dapat memberikan pengaruh kepada mad’u terhadap apa yang disampaikan, sehingga dapat memberikan perubahan dalam kehidupan mad’u.
Dakwah mengandung sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengarui orang lain baik secara individuil maupun secara kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama sebagai masage yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Dengan demikian maka essensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain.
Dalam kondisi tertentu, komunikasi dalam dakwah bisa menjadi pengendali tingkah laku. Dakwah yang dilakukan di tengah masyarakat tentunya diharapkan dapat mengarahkan dan membentuk tingkah laku tertentu. pada tulisan ini selanjutnya akan dibahas lebih terperinci mengenai efek dakwah yang bersifat persuasif, dan menjadi pembentuk tingkah laku mad’unya.
B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya ialah:
1.             Bagaimana persuasi dakwah?
2.             Bagaimana tahap perubahan perilaku dalam dakwah?
3.             Bagaimana evaluasi dari efek dakwah?


C.           Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Untuk memahami persuasi dakwah
2.             Untuk mengetahui tahap perubahan perilaku dalam berdakwah.
3.             Untuk mengetahui evaluasi dari efek dakwah.





















BAB II
PEMBAHASAN
A.           Persuasi Dakwah
Istilah persuasif berasal dari kata Latin “persuasio” memiliki kata kerja “persuadere” yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Dalam pengertian yang lebih luas, persuasif dapat diartikan sebagai suatu proses mempengaruhi pendapat, sehingga orang tersebut bertindak atas kehendak sendiri.[1]
Salah satu pusat perhatian psikologi dakwah adalah bagaimana dakwah itu bisa dilakukan secara persuasif. Efektifitas suatu kegiatan dakwah memang berhubungan dengan bagaimana mengkomunikasikan pesan dakwah itu kepada mad’u, persuasif atau tidak. Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis, sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.
1.             Unsur-Unsur Pembentuk Persuasif
Unsur-unsur yang menyebabkan suatu dakwah itu persuasif atau tidak, dapat berasal dari pribadi da’i, materi dakwah, kondisi psikologis mad’u, dan pertemuan antara ketiga unsur tersebut.[2]
a.             Pesona  Da’i
Sosok Da’i yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering jika digali dari pribadi Rasulullah sendiri. Ketinggian pribadi Rasul dapat dilihat pada pernyataan Al-Qur’an. Pengakuan Rasul sendiri dan kesaksian para sahabat yang mendampinginya.
1)   Memiliki Kualifikasi Akademis Tentang Islam
Dalam hal ini seorang Da’i sekurang-kurangnya memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Al-Hadis, bahwa Al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup, nasihat bagi yang membutuhkan (mau’idzah) dan pelajaran yang oleh karena itu, selalu menjadi rujukan dalam menghadapi segala macam persoalan. Cirri seorang Da’i yang berilmu antara lain, ia tidak berani mengatakan apa yang tidak dikuasainya dengan menggunakan term-term yang digunakan oleh ahlinya.
2)   Memiliki Konsistensi antara Amal dan Ilmu
Seorang Da’i sekurang-kurangnya harus mengamalkan apa yang ia serukan kepada orang lain. Perbuatan seorang Da’i tidak boleh melecehkan kata-katanya sendiri, apa yang ia demonstrasikan kepada masyarakat haruslah apa yang memang menjadi keyakinan batinnya, sebab inkonsistensi antara kedua hal tersebut akan membuat seruan dakwahnya tidak berbobot dan tidak berwibawa di depan masyarakat.
3)   Santun dan Lapang Dada
Sifat santun dan lapang dada yang memiliki seseorang merupakan indicator dari ketulusan ilmunya dan secara khusus kemampuannya mengendalikan akalnya (ilmunya) dalam praktek kehidupan. Cirri orang santun adalah lembut tutur katanya, tenang jiwanya, tidak gampang marah dan tidak suka omong kosong. Secara psikologis, kepribadian santun dan lapang dada seorang Da’i akan membuat orang mad’u terikat perasaannya, lebih daripada pemahaman melalui pikirannya sehingga masyarakat mad’u cenderung ingin selalu mendekatinya
4)   Bersifat Pemberani
Daya tarik kepemimpinan seseorang antara lain terletak pada keberaniannya. Keberanian yang diperlukan oleh seorang Da’i sudah tentu berbeda dengan keberanian kelompok oposisi yang lebih menekankan asal berbeda, atau keberanian yang asal berani, tetapi keberanian yang konstruktif, yang sejalan dengan konsep dasar dakwah, yaitu keberanian mengemukakan kebenaran. Dalam hal keberanian berargumen, berdialog dan berdebat, seorang Da’i  dituntut untuk tetap konsisten dengan tujuan dakwah bukan asal menang. Oleh karena itu, seorang Da’i tidak dibenarkan mencacimaki agama atau keyakinan orang lain.
5)   Tidak Berharap Pemberian Orang
Iffah artinya hatinya bersih dari pengharapan terhadap apa yang ada pada orang lain. Seorang Da’i yang tak terlintas sedikitpun di dalam hatinya keinginan terhadap harta orang lain, maka ia dapat merasa sejajar atau bahkan lebih tinggi atau sekurang-kurangnya memiliki kemerdekaan di dalam dirinya.
6)      Qana’ah atau Kaya Hati
Seorang Da’i boleh miskin harta, tetapi tidak boleh miskin hati, karena kaya hati (qana’ah) itu lebih tinggi nilainya disbanding kekayaan harta. Dalam perspektif psikologi, orang yang memiliki harta melimpah tetapi masih merasa banyak kekurangan dan tidak sempat berpikir untuk memberikan pada orang lain, maka ia adalah orang miskin. Sebaliknya orang yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan yang berarti tetapi ia merasa berkecukupan, merasa bersyukur dan bahkan sanggup memberikan sebagian besar milikinya untuk orang lain yang lebih membutuhkan, maka ia adalah orang kaya.
7)        Kemampuan Berkomunikasi
Dakwah adalah mengkomunikasikan pesan kepada mad’u. komunikasi dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau perbuatan, dengan bahasa kata-kata atau bahasa perbuatan. Komunikasi dapat berhasil manakala pesan dakwah itu dipahami oleh mad’u. kaum intelektual lebih mudah memahami bahasa ilmiah sedangkan orang awam lebih mudah memahami bahasa awam. Jadi, seorang Da’i dituntut dapat menggunakan metode yang tepat dalam mengkomunikasikan pesan dakwahnya.
8)        Memiliki Ilmu Bantu yang Relefan
Seorang Da’i harus memiliki rasa percaya diri, yakni bahwa selama dakwahnya dilandasi oleh keikhlasan dan dijalankan dengan memakai perhitungan yang benar dan mengharap ridha Allah, insyaAllah akan membawa manfaat. Dalam perspektif islam, rendah hati justru akan mendatangkan kehormatan, sementara kesombongan justru akan mengantar pada kehinaan.
9)   Memiliki Rasa Percaya Diri dan Rendah Hati
Seorang Da’i harus memiliki rasa percaya diri, yakni bahwa selama dakwahnya dilandasi oleh keikhlasan dan dijalankan dengan memakai perhitungan yang benar dan mengharap ridha Allah, insyaAllah akan membawa manfaat. Dalam perspektif islam, rendah hati justru akan mendatangkan kehormatan, sementara kesombongan justru akan mengantar pada kehinaan.
10)    Tidak Kikir Ilmu
Pada dasarnya seorang Da’i  dapat diibaratkan sebagai danau menampung air hujan, menyimpannya dan menyediakan diri bagi orang yang membutuhkan. Dalam puncak kerjanya, seorang Da’i dapat diibaratkan sebagai ember yang membawa air dari danau untuk disiramkan ke pohon-pohon yang kekeringan. Jadi, ilmu yang dipelajari oleh seorang Da’i adalah diperuntukkan bagi kepentingan mad’u. oleh karena itu, ia tidak pernah kikir terhadap ilmunya.
11)    Anggun
Salah satu ciri keanggunan seseorang ialah kepribadiannya tetap tersembunyi meskipun namanya sudah banyak dikenal. Rahasia keanggunan justru terletak pada kemampuannya menyembunyikan sisi-sisi pribadinya dari pengetahuan orang banyak.
12)    Selera Tinggi
Selera tinggi juga dapat menunjang keanggunan. Seorang da’i yang berselera tinggi artinya ia tidak merasa puas dengan hasil kerja yang tidak sempurna
13)    Sabar
Seorang Da’i dituntut untuk mampu bersabar dalam menghadapi rintangan-rintangan itu. Urgensi sabar berkaitan erat, dengan pencapaian tujuan. Oleh karena itu, Da’i yang selalu ingat akan tujuan utama dakwahnya, ia akan mampu bersabar dan tabah.
14)    Memiliki Nilai Lebih
Manusia cenderung tertarik kepada orang yang memiliki kelebihan dalam bidang apapun. Seorang Da’i yang juga berperan sebagai pemimpin haruslah memiliki nilai lebih atau nilai plus dibanding orang lain yang dipimpin. Oleh karena itu, agar dakwahnya menarik dan mempunyai daya panggil, seorang Da’i yang tidak memiliki nilai plus, apalagi jika dibawah rata-rata maka meskipun kata-kata dakwahnya indah didengar, tetapi tidak atau kurang mempunyai daya panggil, tidak menyentuh hati nurani tak menggores jiwa mad’u.
2.             Materi Dakwah yang Persuasif
Alquran memberikan istilah-istilah pesan persuasif dengan kalimat qaulan layina, qaulanma’rufa, qaulan baligha, qaulansadida, qaulan karima, qaulan maisura, qaulan tsaqilan, dan qaulan ‘adzima.[3]

1)        Perkataan yang membekas di jiwa (qaulan baligha)
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَعِظۡهُمۡ وَقُل لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا ٦٣
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS. An-Nisa: 63)

2)      Perkataan yang lemah lembut (qaulan layyina)
 ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ٤٣ فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ ٤٤
Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir´aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Tha-ha: 43-44)

3)      Perkataan yang ringan (qaulan maisura)
وَإِمَّا تُعۡرِضَنَّ عَنۡهُمُ ٱبۡتِغَآءَ رَحۡمَةٖ مِّن رَّبِّكَ تَرۡجُوهَا فَقُل لَّهُمۡ قَوۡلٗا مَّيۡسُورٗا ٢٨
Artinya: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”. (QS. Al-Isra’: 28)




4)      Perkataan yang mulia (karima)
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al-Isra’: 73)

5)      Perkataan yang benar (qaulan sadida)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ ءَاذَوۡاْ مُوسَىٰ فَبَرَّأَهُ ٱللَّهُ مِمَّا قَالُواْۚ وَكَانَ عِندَ ٱللَّهِ وَجِيهٗا ٦٩ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (Al-Ahzab: 69-71)
Berdasarkan contoh qaulan di atas, maka penempatan qaulan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:[4]
NO
MAD’U
MATERI
CIRI-CIRI
CATATAN
1
Orang munafik dan kafir
Perkataan yang membekas di hati (qaulan baligha)
Tajam dan pedas. Benar dari segi bahasa. Paradigmanya sama dengan paradigma mad’u. Benar secara subtansil.
Kesalahan kata akan dilecehkan, kesalahan paradigma akan dipelesetkan. Kesalahan substansi akan diperolok-olok.
Lemah lembut dipandang sebagai kelemahan.
2
Penguasa tiran
Perkataan sejuk dan lembut (qaulan layina)
Sentuhan halus. Tidak mengusik perasaan.
Kehalusan kata membuat penguasa tidak bisa menolak dakwah. Kekasaran kata-kata akan menghilangkan peluang dakwah, karena penguasa tiran itu langsung menolak berkomunikasi. Da’i yang lantang kepada penguasa tiran biasanya dianggap musuh politik sehingga mudah dijebloskan ke penjara.
3
Kelompok tertindas atau rakyat
Perkataan yang ringan (qaulan maysura)
Ringan, mudah diteria, pas, tidak berliku-liku, tidak bersayap sederhana, mudah.
Contoh pemahaman sederhana.
Lebih merupakan fakta dari pada kata-kat. Sedikit bicara banyak bekerja. Tanpa dalil efek terasa.
Dakwah bil hal
Kelompok ini peka terhadap nasehat panjang, penjelasan tentang peraturan-peraturan, dan juga peka terhadap rencana pembangunan.
4
Manusia lanjut usia atau purnawiraman
Perkataan yang mulia (qaulan karima)
Mudah, lembut, tidak menggurui, tidak perlu rethorika yang meledak-ledak.
Manusia lanjut usia sudah tidak tertarik oleh rethorika, pensiunan sudah merasa banyak pengalamannya.
5
Mad’u secara umum
Perkataan yang benar (qaulan sadidai)
Mengenaisasaran. Benar secara logika. Berpijak pada takwa.
Dakwah yang tidak bijak pada moral da’i tidak mempunyai daya panggil.

B.            Tahap-Tahap Perubahan Perilaku
Dakwah yang mempunyai efek terhadap penerimanya, tentunya akan menimbulkan perubahan, yang dapat dilihat dari sikap atau tingkah laku yang tampak. Namun perubahan tingkah laku yang dihasilkan tentunya melewati beberapa tahapan. Bentuk tahapan tersebut diantaranya meliputi:
1.      Akal, berupa keyakinan tentang suatu tindakan. Jika tidak manusiawi bersumber dari perasan yang berpusat pada hatinya, maka yang mengerakankan perasan itu adalah pikiran. Karena pikiran adalah pijakan pertama untuk bertindak sejauh mana keyakinan akal terhadap sesuatu, berarti sejauh itu pula pengaruhnya pada pesan.[5]
2.    Hati, berupa suara atau bisikan yang menyenangkan. Meskipun pemikiran berfungsi sebagai pijakan inti perbuatan, ia selalu di peroleh dari hati dengan rasa senang dan reaksi positifnya. Artinya perbuatan terwujud saat akal telah sepakat dengan suatu pemikiran, lalu mengalir kehati.
3.      Hawa nafsu, yang di ujutkan oleh anggota tubuh dalm bentuk tindakan nyata. Allah menciptakan hawa nafsu dalam diri setiap manusia agar memiliki kecendrungan pada kesenangan inilah yang membuat seseorang bersantai-santai dan bersenang- senang bersikap rakus dan sebagai. Jika seorang berjihad dengan hawa nafsu dan untuk melawan kebajikan, maka baruia dapat melakukan perbuatan prilakunya kearah kebenaran.
Dakwah selalu diarahkan untuk memengaruhi tiga aspek perubahan pada diri mitra dakwah, yaitu aspek pengetahuannya (knowledge), aspek sikapnya (attitude),  dan aspek prilakunya (behavioral). Hampir sama dengan hal tersebut, Jalaluddin Rahmat dalam Aziz Muhammad Ali menyatakan ketiga proses perubahan prilaku, yaitu:[6]
1.      Efek kognitif, berkaitan dengan perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek inii berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, keperccayaan atau informasi.
2.      Efek efektif, timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap, dan nilai.
3.      Efek behavioral, yang merujuk pada prilakunyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiiasaan berprilaku.
Berdasarkan proses perubahan perilaku di atas, maka evaluasi terhadap penerimaan dakwah di tekankan untuk menjawab sejauh mana ketiga aspek perubahan tersebut, yaitu aspek kognitif, aspek efektif, dan aspek behavioral pada penerima dakwah.


1.             Efek Kognitif
Setelah menerima pesan dakwah, mitra dakwah akan meyerap isi dakwah tersebut melalui proses berfikir,efek kognitif ini bisa terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami dan di mengerti oleh mitra dakwah tentang isi pesan yang di terimanya. Jadi dengan menerima pesan dakwah di harapkan mitra dakwah mengubah cara berpikirnya tentang ajaran agama sesuai dengan pemahaman yang sebenarnya, seseorang dapat memahami dan dapat di mengrti pesan dakwah setelah melalui proses berpikir.
2.             Efek Afektif
Efek ini merupakan pengaruh dakawah berupa prubahan sikap mitra dakwah setelah menerima pesan dakwah. Sikap adalah sama dengan proses belajar dengan tiga variabel sebagai penunjangnya. Yaitu: perhatian, pengertian, dan penerimaan.  Padatahap atau aspek ini ula penerima dakwah dengan pengertian dan pemikirannya terhadap pesan dakwah yangtelah di terimanya akan memmbuat keputusanuntuk menerima atao menolak pesan dakwah. Dengan demikian pertanyaan pokok  yang harus di jawab  pada efek kedua ini adalahapakah mitra dakwah menyetujui pesan dakwah tersebut atau menolaknya.
3.             Efek Behavioral
Efek ini merupakan suatu bentuk efek dakwah yang berkenaan dengan pola tingkah laku mitra dakwah dalam merealisaikan pesan dakwah yang telah diterima dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku ini di pengaruhi oleh kognitif, yaitu faktor-faktor yang di pahami oleh individu melalui tanggapan dan pengamatan dan dari perasaan itulah timbul keinginan-keinginan dalam individu yang bersangkutan.  Apabila orang itu bersikap positif, maka ia cenderung untuk berbuat yang baik, dan apabila ia bersikap negatif, maka ia cenderung untuk berbuat negatif. Jadi pada hakikatnya perbuatan dan prilaku seseorang itu adalah perwujudan dari perasaan dan pikiran.
C.           Evaluasi Efek Dakwah
Setiap aksi dakwah akan menimbulkan reaksi. Demikian juga dakwah sebagai kegiatan peningkatan iman seseorang atau kelompok. Ketika dakwah telah di lakukan oleh seorang pendakwah dengan pendekatan, strategi, metode, pesan, dan menggunakan media tertentu, maka pasti akan timbul respons dan efek (atsar) pada mitra dakwah yang menerimanya.
Apa saja yang seharusnya di evaluasi dari pelaksanaan dakwah? Pada dasarnya yang harus di evaluasi mencakup seluruh komponen dakwah yang di kaitkan dengan tujuan dakwah yang telah di tetapkan dengan hasil yang di capai. Evaluasi selalu menggunakan perencanaan yang berisi tujuan sebagai tolak ukurnya. Dengan demikian, dakwah yang tidak terencana berarti dakwah tersebut tidak bisa di evaluasi ukuran hasilnya.




















BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Dakwah persuasif adalah suatu kegiatan untuk menyebarkan ajaran Islam dengan menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari mad’u, sehingga mereka menemukan kebenaran dan kesadaran yang menjadikan sikap dan tingkah lakunya terpengaruh dan terarah untuk menerima serta melaksanakan jaran-ajaran Islam.
Dakwah selalu diarahkan untuk memengaruhi tiga aspek perubahan pada diri mitra dakwah, yaitu aspek pengetahuannya (knowledge), aspek sikapnya (attitude),  dan aspek prilakunya (behavioral). Yang harus di evaluasi dalam dakwah adalah yang mencakup seluruh komponen dakwah yang di kaitkan dengan tujuan dakwah yang telah di tetapkan dengan hasil yang di capai.
B.            Saran
Persuasivitas dalam dakwah merupakan faktor paling terpenting dalam mencapai tujuan dakwah. Untuk itu sangat direkomendasikan bagi para mahasiswa yang berlatar pendidikan komunikasi (dakwah) untuk mengkaji dan mempelajari lebih lanjut mengenai persuasivitas dalam berdakwah.











DAFTAR PUSTAKA
Ali Azis Muhammad. 2009. Ilmu Dakwah, Edisi Revisi, Kencana: Jakarta
Ilaihi Wahyu. 2010. Komunikasi Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mubarok Achmad. 1999. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus


[1] Wahyunu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 125.
[2] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 162.
[3] Achmad Mubarok., Op.cit., hlm. 184.
[4] Ibid., hlm. 199.
[6] Azis Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, Edisi Revisi, (Kencana: Jakarta, 2009), hlm. 446.

1 komentar:

ibrahaimocheltree mengatakan...

888 Casino App: Mobile Casino, Slots, Table Games
888 이천 출장마사지 Casino 문경 출장마사지 App: Mobile Casino, Slots, Table 충주 출장마사지 Games, Live 전라남도 출장안마 Blackjack, Video Poker, Texas Holdem, Roulette, Video Poker, Texas Hold'em, 구리 출장마사지 Blackjack,