Ads block
Isu-Isu Kontemporer dalam Konseling Kelompok
Budaya dan Kepribadian
SEARCH
LATEST
SECCIONS
- Artikel (2)
- dinasti syafawi (1)
- makalah (21)
- Makalah Model Bimbingan dan Konseling (1)
- Novel (2)
- Puisi Kesedihan (2)
- slide (5)
About us
Total Pageviews
Isu-Isu Kontemporer dalam Konseling Kelompok
ISU-ISU KONTEMPORER DALAM KONSELING KELOMPOK
A.
Isu tentang Co-Leading
Sebenarnya secara umum, konselor dalam layanan konseling kelompok
di siapkan sebagai pemimpin tunggal. Namun demikian memimpin kelompok dengan
satu atau lebih kolega bisa sangat menguntungkan, terutama pada pemula,
setidaknya inilah yang dikatakan oleh jacob, at al (2012: 450) dikutip dari M.
Edi Kurnanto (2014:190), sehingga dia menganggap bahwa perlu di kenalkan
bagaimana posisi co-leader dalam layanan konseling kelompok. Co-leader
dapat memberikan ide-ide tambahan untuk perencanaan dan dapat memberikan
dukungan, terutama ketika bekerja dengan kelompok terapi intensif atau
dengan kelompok yang sulit. Co-leaders
dapat berfungsi sebagai model untuk anggota kelompok.
Jacob, et al (2012-450) mencatat beberapa alasan mengapa co-leading
perlu di petimbangkan saat perencanaan sebuah kelompok antara lain:
1.
Keuntungan dari co-leading adalah berupa kenyataan bahwa co-leading
selalu mempermudah dalam pemberian arahan di bandingkan bila dilakukan
secara sendiri. Mkisalnya, co-leader dapat menambahkan ide dan turut bertanggung
jawab selamam kegiatan tersebut berlangsung dan dapat membantu saat bkerja
dengan kelompok yang di anggap sulit
seperti turut aktif dalam diskusi-diskusi yang memungkinkan untuk mengadakan
perubahan- perubahan baiki topik diskusinya maupun pesertanya.
2.
Sebagai pear-feedback (pasangan umpan balik) co-leading
dapat memungkinkan pemimpin kelompok meningkatkan kemampuan anggota kelompok
dengan cara saling mendapatkan umpan balik sesama mereka.
3.
Interaksi model(interaktif modelling). Co-leader dapat di
jadikan sebagai model untuk anggota kelompok. Kemampuan untuk berinteraksi
secara efektif dan bekerjasama dapat terlihat saat berlangsungny kerja sama
kelompok.
4.
Co-leader yang mempunyai
pengetahuan khusus akan banyak di perlukan, misalnya dalam kelompok pembinaan
bagi remaja hamil, pengetahuan yang berkaitan dengan pemeliharaan kehamilan,
akan berguna dan merupakan bahan informasi yang sejalan bagi kelompok tersebut.
5.
Biasanya sering mengetengahkan pandangan pengalaman kehidupan yang
berbeda kepada kelompok saat berlangsungnya diskusi kelompok. Dan hal ini dapat
di jadikan sebagai salah satu rujukan pandangan dan isu-isu informasi kelompok.
Dalam prakiknya, jacob et al
(2012) dikutip dari M. Edi Kurnanto (2014:191), model co-leading ada
tiga macam model co-leading yaitu: alternatif leading, shared leading
dan the apprentice model. Pemilihan model mana yang akan di gunakan pada tujuan dan sasaran yang hendak dicapai
oleh kelompok.
· Alternative
leading model. Model ini merupakan model
alternative dimana co-leader/ ko-konselor mengambil peran utama dalam
pengarahan. Model ini sangat tepat jika co-leader/ ko-konselor secara lebih
jauh dapat membawa pemecahan dalam diskusi dan menemukan solusinya dengan cara
membawa anggota kelompok melalui arahan-arahan yang berlawanan, memberi
dorongan, menjelaskan dan menyimpulkan hasilnya.
· Shared leading
model. Model ini
dapat terjadi bila co-leader/ ko-konselor dapat memberi andil dalam
kepemimpinan kelompok pada periode waktu tertentu secara aktif berperan sebagai
anggota yang bekerja bersama, turut larut dan membesarkan hati mereka.
· The apprentice
model. Model ini biasanya pemimpin kelompok harus lebih
berpengalaman daripada anggotanya. Dalam hal ini,co-leader/ko-konselor perlu
banyak belajar melalui apa yang ia lihat dan coba sendiri untuk memberi arahan
pada beberapa kesempatan tertentu.
B.
Isu Tentang Hukum Legal
Pemimpin
kelompok dapat terlibat dalam tuntutan hukum jika mereka tidak menggunakannya
secara hati-hati dan dengan i’tikat yang baik. oleh karena itu,sebagai
pemimpin, konselor akan ingin memastikan untuk berlatih dalam batas-batas
keahlian mereka dan tidak lalai dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin
kelompok, seorang pemimpin yang menggunakan teknik dan praktik yang sangat
berbeda dari yang biasa di terima oleh orang lain dalam profesi mungkin di
anggap lalai. Adalah kewajiban konselor memastikan bahwa anggota kelompok tidak
di rugikan oleh konselor, oleh para anggota lain, atau pengalaman kelompok.
Paradise kirby (1990)
dikutip dari M. Edi Kurnanto (2014:192) mendaftar kewajiban untuk melindungi klien dan
anggota lain sebagai salah satu isu hukum utama dalam kerja kelompok. Beberapa
contoh, misalnya jangan sampai anggota kelompok di suguhkan dengan aktivitas
yang terlalu berat, yang melebihi batas kemampuan anggota tersebut, contoh
lain, misalnya konselor konselor memberikan ruang dalam proses konseling
kelompoknya pada anggota untuk melakukan
bulying pada anggota kelompok lain, baik itu penyerangan terhadap fisik
maupun penyerangan psikologis. Praktik-praktik seperti itu di anggap tidak
etis, dan konselor ajan di kenakan tuduhan mal-praktik jika anggota merasa di
rugikan oleh pengalaman tersebut.
Titik yang
paling penting untuk diingat mengennai isu-isu hukum adalah untuk mengetahui
undang-undang di negara di mana konseling di lakukan yang terkait dengan
konseling, hak klien dan hak-hak orang tua dan anak-anak. Juga, penting bahwa
konselor tidak berlatih di luar tingkat pelatihan yang belum menjadi haknya dan
bahwa setiap saat menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anggota
kelomponya. Untuk konteks indonesia, maka seorang konselor wajib mengetahui dan
mempedomani kode etik konselor, sebagaimana yang telah diterbitkan oleh
Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN).
C.
Isu Tentang Evaluasi Kelompok
Meskipun pemimpin kelompok tidak boleh menjadi sibuk dengan
mengevaluasi kelompok mereka,evaluasi berkala dapat memberi mereka umpan balik
yang berguna tentang pendekatan mereka kepada kelompok, serta informasi tentang
jenis pengalaman yang paling membantu dalam memenuhi tujuan anggotanya. Tiga
jenis evaluasi yang mungkin : (1) evaluasi perubahan yang benar-benar terjadi
dalam kehidupan anggota (2) evaluasi diri oleh pemimpin kelompok, (3) evaluasi
oleh anggota kelompok.
Evaluasi
Perubahan yang Benar-benar Terjadi dalam Kehidupan Anggota. Mungkin jenis yang
paling penting dari evaluasi adalah evaluasi bagaimana pengalaman kelompok
telah berdampak pada perilaku para anggota. Apakah siswa mendapatkan nilai yang
labih baik disekolah atau mereka mempunyai sedikit perubahan perilaku? Apakah
pasangan berkomunikasi menjadi lebih efektif? Apakah ibu yang usianya masih
remaja memberikan perawatan yang lebih baik pada bayi mereka dari saat mereka
tidak berada di konseling kelompok? Apakah kelompok orang yang belum mendapat
pekerjaan menjadi lebih cepat mendapatkan pekerjaan daripada yang tidak dalam
kelompok? Apakah anggota yang mengalami rasa bersalah dan kecemasan mereka
menjadi mampu menghadapi kehidupan yang lebih baik setelah berada di kelompok?
Beberapa pertanyaan tersebut ada yang agak mudah untuk dijawab, namun beberapa
diantaranya juga sulit untuk menjawab, tetapi setidaknya ada peningkatan yang
didapat, dan peningkatan tersebut berbasis hasil evaluasi. Karena bagaimanapun,
instansi pengirim, sekolah, dan lembaga lainnya menginginkan progresif data
yang menunjukkan bahwa kerja kelompok efektif dalam membawa perubahan.
D.
Isu tentang Penelitian
Horne(1996:66) menyatakan bahwa selama masa jabatannya sebagai
editor jurnal untuk ASGW:’...ada peningkatan sedikit atau tidak ada dalam
penelitian berbasis, study evaluatif dalam kerja kelompok.”Gladding (2008,:420)
meringkas bagian penelitian dalam buku terbarunya dengan mengatakan, secara
keseluruhan, penelitian tentang efektivitas kelompok harus sangat di perluas
untuk tingkat kecanggihan yang telah di tetapkan pada efektivitas konseling
individual. Alasan mengapa risat kelompok sulit dan mengapa begitu sedikit
kualitas penelitian di kelompok lapangan aslah akibat kurangnya waktu, dana,
dan minat. Oleh
karena itu, mengingat betapa pentingya keberadaan prosedur kelompok dalam
layanan bimbingan dan konseling, maka sudah sepantasnya riset di bidang ini
juga harus ditingkatkan, baik itu kualitas maupun kuantitasnya
E.
Isu tentang Pelatihan Konselor Kelompok
Kami telah pendidik kelompok untuk beberapa tahun dan saat ini
melakukan lokakarya di seluruh amerika serikat dan kanada pada konseling kelompok
. kami sangat perihatin dengan pelatihan konselor sekolah ketika datang
kelompok terkemuika. Terlalu sering, mereka di ajarkan model yang
mengassumsikan bahwa kelompok terakhir 60-90 menit, padahal sebenarnya kelompok
sekolah biasanya berlangsung dari 20-40 menit.
Keyakinan kami adalah bahwa keterampilan kelompok dapat di ajarkan
seperti keterampilan konseling individu, yaitu keteram pilan yang di jelaskan,
di tunjukkan, dan kemuudian di praktikkan. Kita percaya bahwa pelatihan yang
efektif harus mencakup menggambarkan keterampilan khusus, berlatih
keterampilan, dan magang pada kelompok terkemuka.
F.
Isu tentang masa Depan Konseling Kelompok
Kebanyakan ahli tampaknya setuju bahwa kerja kelompok akan terus
menjadi kekuatan utama dalam bidang konseling. Gladding (2007:17) sangat yakin
tentang potensi dan peluang konseling kelompok: “ada sedikit potensi bahwa di
masa depan, kerja kelompok akan menjadi kuat dan menembus hampir semua sekmen
masyarakat”.
Corey (2009) telah mendaftarkan peningkatan jangka pendek kelompok
terstruktur untuk populasi khusus sebagai salah satu trend utama dari dekade
terakhir dengan mengatakan sebagai berikut:
“kami percaya bahwa masa depan kerja
kelompok terletak integrasi teori dengan model konseling, multi indra yang
aktif, keterampilan intrapersonal yang memadai. Kami juga ppercaya para
pemimpin perlu belajar lebih banyak cara untuk melibatkan anggota dalam proses
terapi saat menggunakan teori konseling dan model intrapersonal. Terapis akan
membutuhkan dan menuntut pelatihan yang lebih baik karena mereka menjadi lebih
sadar isu hukum dan etika di seputar kerja konseling kelompok”.
Sebagai rekomendasi akhir, kiranya institusi penyelenggaran pendidikan
konselor (perguruan tinggi yang mempunyai program study atau jurusan bimbingan
dan konseling) sudah saatnya untuk lebih mengedepankan penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan pembobotan yang lebih pada mata kuliah keterampilan.
Jangan sampai ada alumni dari program studi tersebut tidak mempunyai potensi
dan skill yang memadai untuk menyelenggarakan praktik konseling pada umumnya,
dan konseling kelompok khususnya.
Terapis akan
membutuhkan dan menuntut pelatihan yang lebih baik karena mereka menjadi lebih
sadar isu hukum dan etika di seputar kerja konseling kelompok. Sebagai
rekomendasi akhir, kiranya institusi penyelenggara pendidikan konselor dan atau
Perguruan tinggi yang mempunyai ProgramStudi atau Jurusan Bimbingan dan
Konseling sudah saatnya untuk lebih mengedepankan penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan pembobotan yang lebih pada mata kuliah keterampilan. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya pernyataan bahwa lulusan
pendidikan bimbigan dan konsleing dana tau pendidikan konselor kurang bahkan
tidak memiliki skill dan atau kompetensi dalam hal ini melakukan praktik
konseling kelompok.
SUMBER
Kurnanto,
M Edi. 2014. Konseling Kelompok, Bandung: Alfabeta
http://hamdimuhamad.blogspot.co.id/2016/02/pertemuan-v-isu-isu-kontemporer.html (diakses 22 Desember 2016)
Budaya dan Kepribadian
Budaya dan Kepribadian
PENDAHULUAN
Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan
perilaku manusia secara umum yang tercermin dari ucapan dan perbuatannya. Kepribadian berbeda dengan karakter, karena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian baik kepribadian maupun karakter
berwujud tingkah laku yang ditujukan ke lingkungan sosial, keduanya relatif
permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas individu.
Kepribadian meliputi segala corak perilaku dan
sifat yang khas dan dapat diperkirakan pada diri seseorang atau lebih
bisa dilihat dari luar, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri
terhadap rangsangan, sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan
fungsional yang khas bagi individu. Wujud tingkah laku yang ditujukan
kelingkungan tersebut tentu terus berkembang dan adanya komponen-komponen atau
faktor-faktor yang mempengaruhinya yang saling berinteraksi sehingga membentuk
suatu kepribadian.
Diantara faktor
yang mempengaruhi kepribadian budaya sangat berpengaruh terhadap kepribadian. Perkembangan
dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing orang tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan. Pada
tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai keterkaitn antara kepribadian
dan budaya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kepribadian
Banyak kita
temukan saat ini berbagai definisi mengenai kepribadian. Namun yang akan kita
bahas di sini hanyalah definisi kepribadian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Matsumoto dan Juang (2004) mendefinisikan kepribadian sebagai satu set perilaku
dan ciri-ciri kognitif sifat (traits), atau predisposisi (kecenderungan) yang
relatif berlangsung secara terus menerus, dan dibawa oleh seseorang dalam
berbagai konteks kehidupannya serta saat berinteraksi dengan orang lain
sehingga membedakannya dari orang-orang yang lainnya. Sementara itu, Allport
(1961) berpendapat bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu yang terdiri atas sistem-sistem psikofisik yang menentukan cara
manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Definisi Allport mengenai
kepribadian ini menekankan kepada kita bahwa kepribadian bersifat dinamis,
bukan statis. Ia merupakan struktur fundamental yang akan terus berubah
seiring.[1]
Inti dari
kepribadian itu sendiri adalah sifat (trait). Dari berbagai kamus dikumpulkan
sekitar 4.500 sifat (lexicalhypothesis) yang kemudian berhasil
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
· Tiait kardinal: paling dominan. Contohnya, Bung Karno, Superman, Arjuna, Don
Juan, Machiavelli, Narsis, dan lain sebagainya.
· Tiait sentral: sering digunakan untuk menyebut seseorang. Contohnya, seseorang yang
pemalu, penakut, banyak akal, menyenangkan, dan lain sebagainya.
· Trait sekunder: muncul dalam situasi tertentu. Contohnya, demam Panggung, tidak
sabar antri, dan lain sebagainya.
Allport
kemudian juga membedakan antara motif dan dorongan (drive). Dorongan bermula
dari motif (dorongan untuk melakukan sesuatu), narnun dorongan bisa berkembang
sehingga melebihi motif. Meskipun motifnya telah selesai, dorongan dapat
berjalan terus-menerus dan berusaha agar menghasilkan sesuatu yang semakin
baik. Misalnya, tukang bakso yang awalnya berjualan untuk mencari nafkah
(motif: mencari nafkah; dorongan: berjualan bakso). Namun lama-kelamaan
usahanya semakin maju (motif tercapai). Kesuksesannya tersebut tidak membuatnya
berhenti bekerja, melainkan si tukang bakso tersebut terus menciptakan variasi
bakso yang lebih menarik dan lebih enak (dorongan yang terus berjalan) akhir
dan terus menjadi tukang bakso sampai akhir hayatnya. Ibaratnya roda yang
diputar akan terus berputar walaupun pemutarnya sudah berhenti. Allport menamakan
dorongan untuk berputar terus ini sebagai autonomi fungsional (functional
autonomy).
Konsep-konsep
kepribadian sebenarnya merupakan aspek-aspek atau komponen-komponen kepribadian karena pembicaraan mengenai kepribadian senantiasa
mencakup apa saja yang ada di dalamnya, seperti karakter, sifat-sifat, dan
lainnya. Interaksi antara berbagai aspek tersebut kemudian terwujud sebagai
kepribadian.
Ada beberapa
konsep yang berhubungan erat dengan kepribadian bahkan kadang-kadang disamakan
dengan kepribadian. Konsep-konsep yang berhubungan dengan kepribadian
diantaranya ialah character, temperament, traits, type dan habit.[2]
1.
Character (Watak)
Penjelasan umum
mengenai watak ialah kepribadian yang dipengaruhi oleh motivasi yang
menggerakkan kemauan sehingga orang tersebut bertindak. Yang dimaksudkan bahwa
kepribadian seseorang menunjukkan tindakan akibat kemauan yang teguh dan kukuh
maka ia dinamakan seseorang yang berwatak atau sebaliknya. Menurut Sumadi
(1985) dikutp dari Sunaryo (2004), watak adalah keseluruhan atau totalitas
kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional dan volisional seseorang yang
terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, dan
faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan pengalaman,
serta faktor-faktor eksogen).[3]
Secara arti
normatif kata watak dipergunakan apabila orang bermaksud mengenakan norma-norma
kepada orang yang sedang dibicarakan. Misalnya ungkapan “Ia orang yang pandai,
tetapi sayang tidak berwatak dan Ia orang yang terdidik, tetapi tak punya
watak”. Orang berwatak apabila sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dipandang
dari segi norma-norma sosial adalah baik dan sebaliknya.
Secara arti
deskriptif watak menurut Allport (1937) bahwa “character is personality
evaluated, and personality is character devaluated”. Menurutnya kepribadian
dan watak adalah satu dan sama, tetapi dipandang dari segi yang berlainan.
Apabila orang akan mengenakan
norma-norma, yang berarti mengadakan penilaian lebih tepat dipergunakan
istilah “watak”. Apabila tidak mengadakan penilaian sehingga menggambarkan apa
adanya, dipakai istilah “kepribadian”.[4]
2.
Temperament (Tabiat)
Temperament
adalah kepribadian yang lebih bergantung pada keadaan badaniah, atau
kepribadian yang berkaitan erat dengan determinan biologis atau fisiologis.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa tabiat adalah konstitusi kejiwaan.
Temperament memiliki aspek yang meliputi:
a.
Motalitas (kegestian
atau kelincahan) ditentukan oleh otot, tulang dan saraf perifer.
Contoh:
·
Orang bekerja dan bereaksi dengan lincah dan gesit.
·
Orang bekerja dengan tenang.
b.
Vitalitas (daya hidup)
lebih ditentukan keadaan hormonal dan saraf otonom.
Contoh:
·
Orang dengan vitalitas tinggi: baru bangun pagi sudah penuh
gairah hidup dan memiliki berbagai rencana.
·
Orang yang mudah bosan, kurang kreativ, dan kurang inovatif.
c.
Emosionalitas (daya rasa)
lebih ditentukan keadaan neurohormonial dan saraf pusat.
Contoh:
·
Bila ada sesuatu yang menakutkan, ada orang yang bereaksi segera
dan spontan secara emosional.
·
Ada orang yang biasa-biasa saja dalam menghadapi hal yang
menakutkan atau mengejutkan.
3.
Traits (Sifat)
Sifat adalah sistem neuropskis yang digeneralisasikan dan
diarahkan, dengan kemampuan untuk menghadapi bermacam-macam perangsang secara
sama, memulai serta membimbing perilaku adaptif dan ekspensi secara sama.
4.
Tipe
Perbedaan antara sifat dan tipe menurut Allport adalah:
a.
Individu dapat memiliki sesuatu sifat, tetapi tidak dapat memiliki
suatu tipe.
b.
Tipe adalah konstruksi ideal si pengamat dengan mengabaikan
sifat-sifat khas individualnya.
c.
Tipe menunjukkan perbedaan buatan, sedangkan sifat refleksi
sebenarnya dari individu.
5.
Habit (Kebiasaan)
Kebiasaan
adalah bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang mengandung unsur afektif perasaan
B.
Paradigma Kepribadian
Ada lima
paradigma yang biasa digunakan saat membahas mengenai kepribadian. Kelima
paradigma tersebut adalah sebagai berikut:
·
Antropologi
Paradigma Antropologi mengutamakan proses belajar melalui praktik
budaya, bukan pada faktor biologis dan evolusi. Meinarno dkk. (2011)
menyebutkan bahwa dalam paradigma ini, budaya dan kepribadian harus dilihat
sebagai keutuhan aspek yang ditemukan di lapangan, bukan sistem-sistem yang
dilihat secara rerpisah. Selanjutnya philip K. Bock (1980) menyebutkan empat
pendekatan yang biasa digunakan untuk mempelajari hubungan antara budaya dan
kepribadian, yaitu konfigurasi, modal dan dasar kepribadian, karakter nasional,
dan lintas kebudayaan.
·
Psikologi
Dalam paradigma Psikologi, hal yang lebih ditekankan adalah sifat (trait)
(G.W.Allport). Namun, masing-masing tokoh sebenarnya memiliki pendekatannya
masing-masing untuk menjelaskan kepribadian manusia. Misalnya, pendekatan
psikoanalisis Freud yang mementingkan alam ketidaksadaran dan libido seksualis,
pendekatan humanistik Rogers dan Masrow yang mengutamakan memahami manusia
sebagai keseluruhan yang utuh, pendekatan kognitif bandura yang fokusnya adalah
kesadaran, dan tokoh-tokoh psikologi lainnya. Meskipun berbagai pendekatan ini
memiliki konsep yang berbeda mengenai bagaimana kepribadian manusia terbentuk,
namun mereka konsisten menyatakan bahwa kepribadian merupakan sesuatu yang
relatif stabil dalam berbagai konteks dan situasi (Matsumoto & Juang,
2004).
·
Lintas budaya
Paradigma Lintas Budaya memandang kepribadian sebagai gejala
universal yang sama bermakna dan relevannya antar budaya yang diteliti. Dalam
hal ini ada dua kemungkinan terpisah namun berhubungan satu sama lain, yaitu:
Adanya faktor bawaan biologis dan evolusi adaptif yang menciptakan
kecenderungan genetik untuk ciri-ciri kepribadian. Kemungkinan prinsip-prinsip
pembelajaran budaya-konstan dan prosesnya.
·
Ulayat (indigenous)
Dalam paradigma ini, kepribadian dipandang sebagai sifat-sifat yang
hanya ditemukan di lingkungan etnik tertentu saja. Pada umumnya, tidak hanya
konsep kepribadian yang mengakar dan berasal dari kelompok budaya tententu,
namun metodologi yang digunakan untuk menelitinyapun perlu disesuaikan dengan
budaya tersebut. Hal ini menyebabkan studi-studi mengenai kepribadian
indigenous sering kali menggunakan inetodologi
tidak terstandardisasi milik penelitinya.
·
Budaya
Paradigma budaya menyatakan bahwa kepribadian bukan hanya dipengaruhi
oleh budaya, namun juga dibentuk olehnya (Markus & Kitayama, 1998).
Paradigma ini melihat budaya dan kepribadian bukan sebagai dua konsep yang
terpisah, melainkan sebagai sistem yang terkait satu sama lain yang mana
masing-masingnya menciptakan dan mempertahankan yang lain.
1.
Pengukur Kepribadian
Dalam
pengukuran kepribadian, ada beberapa hal yang menurut psikologi dapat diukur,
yaitu antara lain kecerdasan (IQ), kreativitas (CQ), emosi (EI), religiusitas,
sikap, minat, locus of control, extraversion/introversion, dan lain
sebagainya. Konsep-konsep ini diukur dengan menggunakan metode pengukuran
psikometri. Contohnya, seseorang diberikan alat ukur MBTI (Myers Briggs Type
indicator) untuk melihat tipe kepribadiannya (berdasarkan teori dari
psikoanalis carl Gustav Jung). Partisipan diminta untuk mengurutkan berbegai
kegiatan dari yang ia sukai sampai yang tidak ia sukai. Diakhir tes, pemberi
tes kemudian menghitung dan melihat skala kecenderungan yang dimiliki
partisipan tersebut, yang terbagi ke dalam empat kecendrungan: ekxtrovert
vs introvert, sensing vs intuition, thinking vs feeling,
dan judging vs perceiving.
C.
Budaya Sebagai Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian
Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing
orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu
dibesarkan. Beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan
pembentukan kepribadian antara lain:
1.
Nilai-nilai (values). Di dalam setiap kebudayaan terdapat
nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh manusia-manusia yang hidup dalam kebudayaan
itu. Untuk dapat diterima sebagai
anggota suatu masyarakat, kita harus memiliki kepribadian yang selaras dengan
kebudayaan yang berlaku di masyarakat itu.
2.
Adat dan tradisi, yang berlaku disuatu daerah, di samping
menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh anggotaanggotanya, juga
menentukan pula cara-cara bertindak dan bertingkah laku yang akan berdampak
pada kepribadian seseorang.
3.
Pengetahuan dan keterampilan. Tinggi rendahnya pengetahuan dan
keterampilan seseorang atau suatu masyarakat mencerminkan pula tinggi rendahnya
kebudayaan masyarakat itu. Makin tinggi kebudayaan suatu masyarakat makin
berkembang pula sikap hidup dan cara-cara kehidupannya.
4.
Bahasa. Bahasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan
ciri-ciri khas dari suatu kebudayaan. Betapa erat hubungan bahasa dengan
kepribadian manusia yang memiliki bahasa itu. Karena bahasa merupakan alat
komunikasi dan alat berpikir yang dapat menunukkan bagaimana seseorang itu
bersikap, bertindak dan bereaksi serta bergaul dengan orang lain.
5.
Milik kebendaan. Semakin maju kebudayaan suatu masyarakat/bangsa,
makin maju dan modern pula alat-alat yang dipergunakan bagi keperluan hidupnya.
Hal itu semua sangat mempengaruhi kepribadian manusia yang memiliki kebudayaan
itu.
D.
Pembentukan Karakteristik Kepribadian
Pembentukan kepribadian juga merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman
yang dialami oleh individu, khususnya mengenai pengalaman-pengalaman yang ikut
membentuk kepribadian menurut Drs. H. Abu Ahmadi (2005:202) dapat dibedakan
dalam dua golongan, yaitu pengalaman umum dan pengalaman khusus.
Pengalaman umum yaitu pengalaman yang dialami oleh tiap-tiap
individu dalam kebudayaan tertentu. Pengalaman ini erat hubungannya dengan
fungsi dan peranan seseorang dalam masyarakat. Misalnya, sebagai laki-laki atau
wanita mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Beberapa dari peran itu dipilih
sendiri oleh orang yang bersangkutan tetapi masih tetap terikat pada
norma-norma masyarakat, misalnya jabatan atau pekerjaan. Selanjutnya pengalaman
khusus, yang merupakan suatu pengalaman yang khusus dialami oleh individu
sendiri. pengalaman ini tidak bergantung kepada status dan peranan orang yang
bersangkutan dalam masyarakat.
Pengalaman-pengalaman umum maupun khusus di atas memberikan
pengaruh yang berbeda-beda pada tiap-tiap individu, dan individu tersebut juga
merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara berbeda-beda pula sampai
akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu struktur kepribadian yang tetap
(permanen). Sebelum sampai kepada proses pembentukan kepribadian yang matang,
dewasa dan permanen, proses pembentukan pembentukan identitas diri harus
melalui berbagai tingkatan. Salah satu tingkatan yang harus dilalui adalah
identifikasi, yaitu dorongan untuk menjadi sama (identik) dengan orang lain,
misalnya dengan ayah, ibu, kakak, saudara, guru, dan sebagainya.
Pada masa remaja tahap identifikasi ini dapat menyebabkan
kebingungandan kekaburan akan peranan sosial, karena remaja-remaja cendrung
mengdentifikasikan dirinya dengan beberapa tokoh sekaligus, misalnya dengan
ayah, bintang filem kesayangannya, dan tokoh idola lainya. Kepribadian
seseorang itu diekspresikan ke dalam beberapa karakteristik, sehingga dengan
mengerti karakteristik-karakteristik tersebut dapat dimengerti pula kepribadian
orang yang bersangkutan.
Menurut Drs. H. Abu Ahmadi karakteristik untuk mengenali
kepribadian adalah:[5]
1.
Penampilan fisik: tubuh yang besar, wajah yang tampan, tubuh yang
sehat, pakaian yang kusut, semuanya menggambarkan kepribadian dari orang yang
bersangkutan, apakah ia berwibawa dan percaya diri sendiri atau kurang semangat
dan mempunyai rendah diri.
2.
Temperamen: yang merupakan suasana hati yang menetap dan khas pada
orang yang bersangkutan, misalnya pemurung, pemarah, periang, dan sebagainya.
3.
Kecerdasan dan sebagainya
4.
Arah minat dan pandangan mengenai nilai-nilai.
5.
Sikap sosial.
6.
Kecendrungan-kecendrungan dalam motivasinya.
7.
Cara-cara pembawaan diri, misalnya sopan-santun, banyak bicara,
mudah bergaul dan sebagainya.
8.
Kecendrungan patologis, yaitu tanda-tanda adanya kelainan
kepribadian seperti reaksi-reaksi yang skiofrenis dan sebagaiya.
Karakteristik juga terbagi dalam dua hal, yaitu
karakteristik kepribadian yang sehat, dan karakteristikkepribadian yang tidak
sehat. Menurut E. B. Hurlock (1986) karakteristik kepribadian yang sehat
ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Mampu menilai
diri secara realistic. Individu yang kepribadiannya sehat mampu menilai diri
apa adanya, baik kelebihan maupun kelemahannya, menyangkut fisik (postur tubuh,
wajah, keutuhan dan kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan dan keterampilan).
2.
Mampu menilai situasi realistic. Individu dapat menghadapi situasi atau
kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistic dan mau menerima
secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan
itu sebagai suatu yang harus sempurna.
3.
Mampu menilai prestasi
yang diperoleh secara realistic. Individu dapat menilai prestasinya
(keberhasilan yang diperolehnya) secara realistic dan mereaksinya secara
rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atu mengalami “Superiority
complex”, apabila memperoleh prestasi yang tinggi, atau kesuksesan dalam
hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tiak mereaksinya dengan frustasi,
tetapi dengan sikap optimistic (penuh harapan).
4.
Menerima tanggung
jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab. Dia mempunyai
keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang
dihadapinya.
5.
Kemandirian (autonomy).
Individu memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir dan bertindak, mampu
mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri
dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
6.
Dapat mengontrol emosi.
Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat menghadapi situasi frustasi,
depresi atau stress secara positif atau konstruktif, tidak deskruptif (merusak).
7.
Berorientasi tujuan.
Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin dicapainya. Namun, merumuskan tujuan
itu ada yang realistic dan ada yang tidak realistic. Individu yang sehat
kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara
matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya untuk
mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan) dan
keterampilan.
8.
Menghargai dan menilai
orang lain seperti dirinya sendiri.
9.
Merasa nyaman dan
terbuka terhadap orang lain.
10.
Tidak membiarkan
dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan tidak mengorbankan
orang lain karena kekecewaan dirinya.
11.
Penerimaan social.
Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi aktif dalam
kegiatan social, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang
lain.
12.
Memiliki filsafat
hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari
keyakinan agama yang dianutnya.
13.
Berbahagia. Individu
yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung
oleh factor-faktor achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan
dari orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau disayangi orang lain).
Adapun karakteristik kepribadian yang tidak
sehat, ditandai dengan:
1.
Mudah marah
(tersinggung.
2.
Menunjukan kekhawatiran
dan kecemasan.
3.
Sering merasa tertekan
(stress atau depresi).
4.
Bersikap kejam
atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap
binatang.
5.
Ketidakmampuan
untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau
dihukum.
6.
Mempunyai kebiasaan
berbohong.
7.
Hiperaktif.
8.
Bersikap memusuhi semua
bentuk otoritas.
9.
Senang
mengkritik/mencemooh orang lain.
10.
Sulit tidur.
11.
Kurang memiliki
tanggung jawab.
12.
Kurang memiliki
kesadaran untuk mentaati ajaran agama.
Bersikap psimis dalam menghadapi kehidupan.
Dalam
pembahasan ranah (domain) perilaku sosial dan bagaimana perilaku sosial
berhubungan atau dipengaruhi konteks umum budaya, dimana perilaku ini mengambil tempat dalam
suatu konteks sosial dan budaya yang bervariasi luas dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Dalam seksi ini, kita bergelut dengan dua matra penting dari
variasi sosial dan budaya yang ditemui lintas-budaya: keragaman peran (Role
Diversity) dan kewajiban peran.[6]
E.
Keterkaitan Antara Teori Kepribadian dan Pendekatan Konseling
Suatu teori terdiri dari segugusan asumsi yang saling berhubungan
tentang gejala-gejala empiris tertentu, dan definisi-definisi empiris yang
memungkinkan si pemakai beranjak dari teori abstrak ke observasi empiris.[7]
Dapat disimpulkan bahwa teori kepribadian harus merupakan segugusan asumsi
tentang tingkah laku manusia beserta definisi-definisi empirisnya. Suatu teori
kepribadian harus terdiri dari sekumpulan asumsi tingkahlaku manusia beserta
aturan-aturan untuk menghubungkan asumsi-asumsi dan definisi-definisi supaya
menjadi jelas interaksinya dengan peristiwa-peristiwaempiris atau
peristiwa-peristiwa yang bisa diamati.
Teori kepribadian mempunyai peranan penting dalam pendekatan konseling,
yang dimana konseling merupakan suatu proses interaksi antar konselor dan
konseli dalam upaya membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh konseli.
Penyelesaian masalah yang dihadapi oleh suatu individu tentunya menggunakan
berbagai pendekatan yang berkaitan dengan teori-teori kepribadian. Yang
kepribadian itu sendiri merupakan corak tingkah laku individu yang terhimpun
dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap
segala rangsang, baik yang datang dari dalam dirinya sendiri (internal)
sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan suatu kesatuan fungsional yang
khas bagi individu itu. Teori kepribadian memberikan pemahaman mengenai gejala
tingkah laku individu, yang dimana masalah yang dihadapi oleh individu
berkaitan dengan tungkah laku yang timbul dari dalam diri dan lingkungannya.
Segala tingkah laku individu adalah manifestasi dari kepribadian yang
dimilikinya sebagai perpaduan yang timbul dari dalam diri dan lingkungannya.
Bila dicermati, pada hakekatnya
konseling itu bersifat psikologis. Dari sisi tujuan, proses serta konsep yang
tercakup menunjukkan bukti bahwa konseling merupakan proses psikologis. Dari
sisi tujuannya, rumusan tujuan konseling itu adalah berupa pernyataan yang
menggambarkan segi-segi psikologis (perilaku) dalam diri klien, dari prosesnya,
seluruh proses konseling merupakan proses kegiatan yang bersifat psikologis,
dan dilihat dari teori atau konsepnya, konseling bertolak dari teori -teori
atau konsep-konsep psikologi.
PENUTUP
Kepribadian mencakup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu. Kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses serta struktur dan perkembangan, yang dipengaruhi berbagai faktor termasuk salah satunya budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2005. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka
Cipta
Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian, Malang: Universitas
Muhammadyah Malang
Calvin S, dkk. 1993. Psikologi Kepribadian 1Teori-teori
Psikodinamik (klinis), Yogyakarta: Kanisius
Ngurah, Anak Agung. 2013. Konseling Lintas Budaya,
Yogyakarta: Graha Ilmu
Sarwono,
Sarlito W. 2015. Psikologi Lintas Budaya, Jakarta: Rajawali Pers
Sunaryo.
2002. Psikologi Untuk Keperawatan, Jakarta: Buku Kedokteran EGC
[1] Sarlito W
Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 93.
[2] Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang:
Universitas Muhammadyah Malang, 2005), hlm. 8.
[3] Sunaryo, Psikologi
Untuk Keperawatan, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2002), hlm. 128.
[4] Ibid.,
[5] Abu Ahmadi, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 204.
[6] Anak Agung
Ngurah, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm.
46.
[7] Calvin S, dkk,
Psikologi Kepribadian 1Teori-teori Psikodinamik (klinis), (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm. 37.
Cari Blog Ini
- September 2021 (6)
- Juni 2019 (12)
- April 2017 (1)
- Januari 2017 (2)
- Desember 2016 (2)
- September 2016 (1)
- Mei 2016 (8)
- April 2016 (7)
- Maret 2016 (2)
- November 2015 (3)
- Juli 2015 (1)
- April 2015 (2)
- Maret 2015 (2)
- Februari 2015 (1)
- November 2014 (1)
- Februari 2014 (1)
Translate
Popular Posts
-
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Disusun Oleh M khuzaifah ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan po...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia secara ...