Tafsir Ayat Kode Etik Bimbingan Konseling


KODE ETIK BIMBINGAN
(QS. An-Nisa ayat 8)

A.           QS. AN-NISA [4]: 8
#sŒÎ)ur uŽ|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ  
Artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik”. (QS. An-Nisa : 8)
B.            Penafsiran Ayat
Pada Q.S An-Nisa yang lebih tepatnya pada ayat yang ke 8 ini menjelaskan tentang pembagian hak harta warisan, yang dimana pada saat pembagian harta warisan itu hadir kerabat atau kaum lemah seperti anak yatim dan orang miskin yang membutuhkan uluran tangan.
Dalam tafsir Al-Mishbah[1], dijelaskan bahwasannya dalam ayat ini berisikan hal-hal pokok yang meliputi; apabila sewaktu pembagian (harta warisan) itu hadir, yakni diketahui oleh kerabat yang tidak berhak mendapatkan harta warisan, baik mereka dewasa maupun anak-anak, atau hadir anak yatim dan orang miskin, baik mereka kerabat atau bukan, bahkan baik mereka hadir atau tidak, selama diketahui oleh yang menerima adanya orang-orang yang butuh, maka berilah mereka sebagian, yakni walau sekedarnya dari harta itu, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik, yang menghibur hati mereka karena sedikitnya yang diberikan kepada mereka atau bahkan karena tidak ada yang dapat diberikan kepada mereka.
Ayat yang memerintahkan pemberian sebagian harta warisan kepada kerabat dan orang-orang lemah tidak harus dipertentangkan dengan ayat-ayat kewarisan, karena ini merupakan anjuran dan yang itu adalah hak yang tidak dapat dilebihkan atau dikurangi.
Ibnu Al Jauzi[2] menukil dari kebanyakan ahli ilmu bahwa yang dimaksud ‘kerabat’ adalah mereka yang tidak mewarisi, dan makna فَارْزًقًوْهًمْ (berilah rezeki kepada mereka) yakni berikan harta kepada mereka. Ulama lain berkata “berilah mereka makan”. Namun sifatnya hanyalah sebagai anjuran. Pendapat terakhir inilah yang kuat, karena jika seandainya perintah tersebut adalah wajib konsekuensinya mereka memiliki hak mutlak pada warisan  dan bersekutu dengan para ahli waris dari pihak yang tidak diketahui. Dengan demikian akan menimbulkan pertengkaran dan permusuhan. Bagi mereka yang mengatakan perintah ini hanya sebagai anjuran, maka dikatakan hal yang melakukan itu adalah wali bagi anak yatim yang ada di dalam asuhan. Pendapat lain mengatakan tidak demikian, bahkan yang benar adalah mengatakan “harta bukanlah milik ku tetapi untuk anak yatim”, dan inilah maksud firman-Nya, وَقُوْلُوْالُهُمْ قَوْلًامَّعْرُوْفًا (dan katakan kepada mereka perkataan yang ma’ruf). Atas dasar ini maka huruf waw (و) pada firman-Nya, وَقُوْلُوْا berfungsi untuk perincian kalimat. Sementara dari Ibnu Sirin dan sekelompok ulama disebutkan, “maksud firman-Nya, فَارْزًقًوْهًمْ (berikan mereka rezeki kepada mereka) مِنْهُ (darinya), yakni buatlah makanan untuk mereka. Hal ini berlaku secara umum, baik pada harta mereka yang mahjur (dilarang untuk membelanjakan hartanya) maupun selainnya.
Pada ayat ini terdapat kata (قولا معروفا) yakni kalimat-kalimat yang baik sesuai dengan kebiasaan dalam masing-masing masyarakat, selama kalimat tersebut tidak bertentangan dengan kalimat-kalimat ilahi. Ayat ini mengamanatkan agar pesan hendaknya disampaikan dalam bahasa yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap masyarakat.
C.            Relasi Isi Kandungan Ayat dengan BKI
Kegiatan konseling merupakan hubungan timbal balik antara dua orang yaitu konselor dan konseli, yang dalam penerapan kegiatannya tidak lepas dari hubungan komunikasi. Seorang konselor harus berkopetensi atau mempunyai kecakapan dan terampil dalam berkomunikasi dengan kliennya, karena itu merupakan syarat terpenting bagi seorang konselor yang berkenaan dengan kemampuan. Tanpa memiliki kopentinsi dalam bidang komunikasi, tidak mungkin seorang konselor dapat melaksanakan tugasnya secara baik. Tanpa komunikasi yang baik konselor sulit untuk memahami masalah yang dihadapi klien, tentunya sulit juga untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien itu juga. Kemampuan komunikasi yang baik yang dimiliki oleh seorang konselor merupakan hal yang menentukan tinggi atau rendahnya mutu pelayanan profesional dan dapat menguntungkan atau merugikan klien.
Dari ayat ke delapan QS. An-Nisa, dalam korelasinya dengan bahasan konseling yang menjadi sasaran utamanya adalah pada kata قولا معروفا (perkataan yang baik). Berbicara tentang ukuran kebaikan sifatnya ialah relatif. Baik dan benar itu merupakan dua hal yang berbeda, setiap manusia berbeda cara pandangnya dalam mengukur kebaikan, karna kebaikan ialah yang sesuai dengan kebiasaan dalam masing-masing masyarakat. Seorang konselor sebelum melakukan konsultasi maka terlebih dahulu harus memahami kliennya terlebih dahulu, baik memahami permasalahan yang dihadapinya, latar belakang sosial budayanya, dan aspek lainnya dari klien yang menyangkut dengan psikologinya.
Seorang konselor terlebih dahulu harus membuang prasangka-prasangka yang tidak baik yang ada didalam dirinya terhadap klien. Karena hal ini dapat mempengaruhi hubungannya dengan kliennya. Seorang konselor tidak boleh melontarkan ungkapan-ungkapan yang bersifat destruktif, yang seharusnya memberikan ungkapan-ungkapan yang bersifats konstruktif kepada klien. Kita ketahui bahwasannya setiap klien yang datang kepada seorang konselor ialah orang yang mengalami gangguan psikis yang membutuhkan bantuan untuk pemecahan masalah oleh konselor, dan tentunya memiliki perasaan yang sensitif dan pesimis. Untuk itu konselor harus menganggap klien itu adalah orang yang mampu mengatasi masalahnya, bukan menjastifikasi klien sebagai orang yang buruk yang tidak bisa menghadapi masalahnya.
Mengenai penjelasan ini sangat erat sekali kaitannya dengan salah satu model konseling yaitu model konseling rasional emotif behavior terapi (rational emotive behaviortherapy / REBT). Yang dimana pada penerapan teori ini banyak didominasi oleh teknik-teknik yang menggunakan pengolahan verbal. Yakni pada teori ini seorang konselor diharapkan memiliki kemampuan berbahasa yang baik, dan harus memiliki ketrampilan untuk membangun hubungan konseling. Pandangan teori ini mengenai permasalahan individu adalah bahwasannya permasalahan atau gangguan emosional pada individu merupakan akibat dari persepsi-persepsi induvidu terhadap lingkungannya yang irasional. Yakni emosi-emosi adalah produk dari pemikiran manusia. Untuk itu seorang konselor dalam model konseling ini harus mempunyai kopetensi dalam berbahasa yang baik, karena teknik-teknik yang digunakan menggunakan pengolahan verbal. Konselor pada model konseling rasional emotif terapi harus terus-menerus mengkonfrontasi pikiran irasional konseli secara langsung, serta mengajak konseli untuk mengatasi masalahnya dengan kekuatan berpikir, bukan emosi.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwasannya perkataan, berbahasa, atau berkomunikasi dengan baik merupakan bagian yang terpenting dalam melakukan kegiatan atau operasional konseling. Menggunakan perkataan yang baik adalah kunci utama dalam pelaksanaan konseling untuk pencapaian tujuan konseling, karena berkomunikasi dengan baik adalah salah satu kode etik bimbingan konseling. Adapun kode etik bimbingan konseling yang menyebutkan bahwa konselor diwajibkan memiliki kualifikasi yang terdiri dari nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan, diantaranya adalah:[3]
1.      Konselor wajib terus menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya. Ia wajib mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan profesional serta merugikan konseli.
2.      Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib dan hormat.
3.      Konselor wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya.
4.      Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang setinggimungkin dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi, termasuk keuntungan material, finansial, dan popularitas.
5.      Konselor wajib memiliki ketrampilan menggunakan teknik dan prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.



[1] Muhammad Quraish Sihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 337.
[2] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, jilid 22, pembahasan tafsir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 318.
[3] Ditetapkan oleh Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) No: 010 tahun 2006. Gantina Komalasari,dkk, teori dan teknik konseling, (Jakarta: Indeks, 2011), hlm. 10.

Tidak ada komentar: