PRINSIP-PRINSIP METODOLOGI FILSAFAT ILMU




PRINSIP-PRINSIP METODOLOGI
disusun oleh:


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
ZAWIYAH COTKALA LANGSA
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Metodologi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji prihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat.
Pada dasarnya di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin apapun, baik ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam masing-masig menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan, maka hal itu tergantung pada jenis, sifat, dan bentuk objek material dan objek formal yang tercakup di dalamnyapendekatan (approach), sudut pandang (point of view), ujuan, dan ruang lingkup masing-masing disiplin itu.
Manakala kita membicarakan metodologi, maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktifitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang akan dikembangkan para ilmuwan di dalam kegiatan ilmiah mereka. Untuk memahami prinsip-prinsip metodologi dalam filsafat, perlu dibahas tentang pengertian metodologi, unsur-unsur metodologi, dan beberapa pandangan tentang prinsip metodologi dari para filsuf. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya ialah:
1.      Apa pengertian dari metodologi?
2.      Apa saja unsur-unsur dalam metodologi?
3.      Bagaimana pandangan para filsuf tentang prinsip-prinsip metodologi?




C.      Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Agar mengetahui pengertian metodologi.
2.      Agar mengetahui unsur-unsur dalam metodologi.
3.      Mengetahui pandangan para filsuf terhadap prinsip-prinsip metodologi.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari bahasa yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesdah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. (Anton Bakker, 1994, hlm 10).
Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis. Adapun metodologi disebut juga science of methodos, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoritis berbagai metode.[1] Dapat pula dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki langkah-langkah praktis, adapun derevasinya adalah pada metode penelitian. Bagi ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, ekonomi, hukum, serta ilmu-ilmu kealaman, metodologi adalah merupakan dasar-dasar filsafat ilmu dari suatu metode, atau dasar dari langkah praktis penelitian.
Metode bisa dirumuskan suatu proses atau prosedur yang sistematikberdasarkan prinsipdan teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin bidang studi untuk mencapai suatu tujuan. Adapun metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya penyelidikan, yang mengambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Adapun metode adalah cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menuut metodoogi itu, agar tercapai suatu tujuan, yaitu kebenaran ilmiah.

B.       Unsur-unsur Metodologi
Unsur-unsur metodologi sebagaimana telah dirumuskan oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair dalam buku Metodologi Penelitian Filsafat (1994)[2], antara lain dijelaskan sebagai berikut.
1.    Interpretasi
Artinya menafsirkan, membuat tafsiran, tetapi yang tidak bersifat subjektif melainkan harus bertumpu pada evidensi objektif untuk mencapai kebenaran yang autentik. Dengan interpretasi ini diharapkan manusia dapat memperoleh pebgertian, pemahaman atau Verstehen. Pada dasarnya interpretasi berarti tercapainya pemahaman yang benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari.
2.    Induksi dan Deduksi
Dikatakan oleh Beerling, bahwa setiap ilmu terdapat penggunaan metode induksi dan deduksi, menurut pengertian siklus empiris. Siklus empiris meliputi beberapa tahapan, yakni observasi, induksi, deduksi, kajian ( eksperimentasi ) dan evaluasi. Tahapan itu pada dasarnya tidak berlaku secara berturut-turut, melainkan terjadi sekaligus. Akan tetapi, siklus ini diberi bentuk tersendiri dalam penelitian filsafat, berhubungan dengan sifat-sifat objek formal yang istimewa, yaitu manusia.
3.    Koherensi Intern
Yaitu usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukkan semua unsur structural di lihat dalam suatu struktur yang konsisten, sehingga benar-benar merupakan internal structure atau internal relation. Walaupun mungkin terdapat semacam oposisi di antaranya, tetapi unsur-unsur itu tidak boleh bertentangan satu sama lain. Dengan demikian akan terjadi suatu lingkaran pemahaman antara hakikat menurut keseluruhannya dari satu pihak dan unsur-unsurnya di pihak lain.
4.    Holistis
Yaitu tinjauan secara lebih dalam untuk mencapai kebenaran secara utuh, dimana objek dilihat dari interaksi dengan seluruh kenyataannya. Identitas objek akan terlihat bila ada korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. Objek (manusia) hanya dapat dipahami dengan mengamati seluruh kenyataan dalam hubungannya dengan manusia, dan manusia sendiri dalam hubungannya dengan segalanya yang mencakup hubungan aksi-reaksi sesuai dengan tema zamannya, pandangan menyeluruh ini juga disebut totalitasi, semua dipandang dalam kesinambungannya dalam satu totalitas.
5.    Kesinambungan Historis
Jika ditinjau dari perkembangannya, manusia itu adalah makhluk  historis. Manusia disebut demikian karena ia berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersama dengan lingkungan dan zamannya. Masing-masing orang bergumul dalam relasi dengan dunianya untuk membentuk nasib sekaligus nasibnya dibentuk oleh mereka. Dalam perkembangan pribadi itu harus dapat dipahami melalui suatu proses kesinambungan. Rangkaian kegiatan dan peristiwa dalam kehidupan setiap orang merupakan mata rantai yang tidak terputus. Yang baru masih berlandaskan yang dahulu, tetapi yang lama juga mendapat arti dan relevansi baru dalam perkembangan yang lebih kemudian. Justru dalam hubungan mata rantai itulah harkat manusia yang unik dapat diselami.
6.    Idealisasi
Idealisasi merupakan proses untuk membuat ideal, artinya upaya dalam penelitian untuk memperoleh hsil yang ideal atau sempurna.
7.    Komparasi
Komparasi adalah usaha memperbandingkan sifat hakiki dalam objek penelitian sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu dapat menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek dapat dipahami dengan semakin murni. Komparasi dapat diadakan dengan objek lain yang sangat dekat dan serupa dengan objek utama. Dengan perbandingan itu, meminimalkan perbedaan yang masih ada, banyak ditemukan kategori dan sifat yang berlaku bagi jenis yang bersangkutan. Komparasi juga dapat diadakan dengan objek lain yang sangat berbeda dan jauh dari objek utama. Dalam perbandingan itu dimaksimalkan perbedaan-perbedaan yang berlaku untuk dua objek, namun sekaligus dapat ditemukan beberapa persamaan yang mungkin sangat strategis.


8.    Heuristika
Adalah metode untuk menemukan jalan baru secara ilmiah untuk memecahkan masalah. Heuristika benar-benar dapat mengatur terjadinya pembaharuan ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat memberikan kaidah yang mengaacu.
9.    Analogikal
Adalah filsafat meneliti arti, nilai dan maksud yang diekspresikan dalam fakta dan data. Dengan demikian, akan dilihat analogi antara situasi atau kasus yang lebih terbatas dengan yang lebih luas.
10.    Deskripsi
Seluruh hasil penelitian harus dapat dideskripsikan. Data yang dieksplisitkan memungkinkan dapat dipahami secara mantap.
C.      Pandangan Tentang Prinsip Metodologi
1.             Rene Descartes
Rene Descartes mengusulkan suatu metode umum yang memiliki kebenaran yang pasti. Dalam karyanya termasyhur Discourse on Method, risalah tentang metode, diajukan enam bagian penting (Dalam Rizal Mustansyir, dkk., 2001) sebagai berikut:[3]
a.              Membicarakan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki semua orang. Menurut Descartes, akal sehat ada yang kurang, ada pula yang lebih banyak memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas ilmiah. Metode yang ia coba temukan merupakan upaya untuk mengarahkan nalarnya sendiri secara optimal. Filsafat bagi Descartes rancu dengan gagasan yang acap kali saling bertentangan, oleh karena itu perlu dibenahi. Satu hal yang diperlukan dalam menuntut ilmu ialah melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, mengerahkan diri untuk belajar dari “buku alam raya” dan mempelajari dirinya sendiri.
b.             Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam aktivitas ilmiah. Bagi Descartes sesuatu yang dikerjakan oleh satu orang lebih sempurna dari pada yang dikerjakan oleh sekelompok orang secara patungan. Descartes mengajukan empat langkah atau aturan yang dapat mendukung metode yang dimaksud sebagai berikut (dalam Rizal Mustansyir,dkk.,2001).
1)      Janganlah pernah menerima baik apa saja sebagai benar, jika Anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi yang terburu-buru, dan janganlah memasukkan apapun ke dalam pertimbangan Anda lebih dari pada yang terpapar dengan begitu jelas, sehingga tidak perlu diragukan lagi.
2)      Pecahkanlah tiap kesulitan Anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
3)      Arahkan pemikiran Anda secar tertib, mulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit, ke pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan di antara objek yang sebelum itu tidak mempunyai ketertiban kodrati.
4)      Buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin, dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga Anda dapat merasa pasti tidak sesuatupun yang ketinggalan.
Langkah yang dikemukakan Descartes ini menggambarkan suatu sikap skeptis-metodis dalam upaya memperoleh kebenaran yang pasti.
c.              Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode sebagai berikut:
1)      Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
2)      Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun yang paling meragukan.
3)      Berusaha lebih mengubah diri sendiri daripada merombak tatanan dunia.
d.             Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acapkali terkecoh oleh indra. Ujar Descartes, kita dapat saja meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin meragukan kita sendiri yang sedang dalam keadaan ragu-ragu.
e.              Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas dua substansi, yaitu res cogitans (jiwa bernalar), dan res extensa (jasmani yang meluas). Tubuh (res extensa) diibaratkan dengan mesin, yang tentunya karena ciptaan Tuhan maka tertata lebih baik.
f.              Dua jenis pegetahuan, yaitu pengetahuan spekulatif dan pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis terkait dengan objek-objek konkret seperti air, api, udara, planet, dan lain-lain. Sedang pengetahuan spekulatif menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis. Berkat kedua pengetahuan inilah manusia menjadi penguasa alam.

2.             Alfred Jules Ayer
Pemikiran Ayer termuat dalam bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic tersebut. Ajaran terpenting yang terkait dengan masalah metodologis adalah prinsip verifikasi.[4] Pada mulanya perbincangan mengenai prinsip verifikasi ini mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern, atau kritik terhadap metode Fisika Klasik Isaac Newton. Teori Relativitas Einstein yang termasyhur itu telah memperlihatkan secara jelas bahwa konsep “Rang dan waktu yang absolut” dari Fisika Klasik yang diajukan oleh Newton, hanya bermakna manakala seseorang dapat merinci apakah pelaksanaan terhadap percobaan yang dilakukan itu dapat ditasdikan. Kritik yang dilancarkan Einstein terhadap konsep Newton itu telah menghilhami tokoh-tokoh positivisme Logik, sperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnapp yang pada dasarnya mempunyai latarbelakang pendidikan sains yang cukup kat. Kemudian mereka menerapkan prinsip verivikasi yang semula dipergunakan dalam bidang fisika itu ke dalam teknik analisis bahasa. Cara yang demikian itu membawa perubahan yang cukup besar terhadap tolak ukur untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan. Sebab bagi positivisme Logik “sesuatu yang tidak dapat diukur (ditasdikan) itu tidak mempunyai makna”. Dengan demikian makna sebuah proposisi tergantung apakah kita dapat melakukan verifikasi terhadap proporsi yang bersangkutan.
Kendati tokoh Positivisme Logik secara umum menerima prinsip verifikasi itu sebagai tolak ukur untuk menentukan konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri. Tokoh pemula Positivisme Logik, seperti Moritz Schlick misalnya, menafsirkan verifikasi ini dalam pengertian pengamatan empirik secara langsung bahwa hanya proporsisi yang mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang diamati (ini dinamakan kalimat protokol) itulah yang benar-benar mengandung makna. Bagi Schlick, jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat dalam kalimat protokol dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu. Akan tetapi tafsiran Scklick mengenai prinsip verifikasi ini meimbulkan perdebatan di antara kaum Positivisme Logik itu sendiri, terutama penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian.
Ayer, salah seorang penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian, atau dapat dikatakan sebagai generasi penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula kelemahan yang terkandung dalam prinsip pntasdikan yang diajukan Schlick itu. Oleh karena itu Ayer memperluas prinsip verifikasi dalam pengertian berikut: “Prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat mengandung makna atau tidak”. Melalui prinsip verifikasi ini tidak hanya kalimat yang teruji secara empirik saja yang dapat dianggap bermakna, tetapi juga kalimat yang dapat dianalisis. Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan berikut: “Suatu cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proporsisi yang diungkapkan itu dapat diananlisis atau dapat diverivikasi secara empirik”.[5] Penafsiran yang diajukan Ayer terhadap prinsip verifikasi ini berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh Positivisme Logik sebelumnya, yang hanya menerima proporsisi yang dapat diverifikasi secara empirik. Hal mana terlihat jelas dalam pandangan Moritz Schlick, yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau salahnya melalui pengamatan empirik secara langsung. Menurut pandangan Ayer, prinsip verifikasi seperti yang diajukan Schlick itu merupakan verifiable dalam arti yang ketat (Ayer menambahkan pengertian verifiable dalam arti yang longgar atau lunak). Kedua macam pengertian ini dijelaskan oleh Ayer adalah sebagai berikut: “verifiable dalam arti yang ketat yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan verifiable dalam arti yang lunak, yaitu jika suatu proporsi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan”.
Melaui kedua macam pengertian verifiable ini, Ayer terutama verifiable dalam arti yang lunak telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan ) sebagai pernyataan yang mengandung makna. Ayer menampik kehadiran metafisika dalam dunia ilmiah. Karena pernyatan-pernyataan metafisika (termasuk, etika, theologi) merupakan pernyataan yang meaningless (tidak bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apapun.
3.             Karl Raimund Popper
Popper seorang filsuf kontemporer yang  melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran (justification) terhadap teori  yang telah ada.  Popper  mengajukan beberapa prinsip sebagai berikut:[6]
a.              Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi oleh kaum posititivistik. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis, tidak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat.
b.             Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (obeservasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesis. Selanjutnya hipotesis itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesis yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja diatas, terutama pada asas verifikasi, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris.
c.              Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsi-fiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesis, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Jika ada pertanyaan “semua angsa itu berbulu putih”. Melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih, maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesis telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesisi baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesis baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesis yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesis telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesis dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesis tersebut semakin diperkokoh.
Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesis telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesis baru.
4.             Michael Polanyi
Menurut Michael Polanyi pengembangan ilmu pengetahuan menuntut kehidupan kreatif masyarakat ilmiah yang pada gilirannya didasarkan pada kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya kebenaran-kebenaran yang hingga kini masih tersembunyi. Dengan latar belakang ilmu kedokteran, Polanyi menegaskan bahwa tugas filsafat terutama adalah membedah penyakit-penyakit pikiran yang hanya dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mendasar terhadap setiap pandangan yang mendasari masyarakat.
Tujuan dari metode maieutika tekhne yaitu untuk menemukan alternative-alternatif baru bagi hidup manusia sebagai manusia dan sebagai masyarakat. (M. Mukhtasar, 1997, hlm. 24). Kekeliruan tesis Positivisme tidak hanya pada sikapnya yang menolak cita rasa estetis, dan nilai moral serta ikatan social, karena menggangapnya sebagai realitas subjectif, melainkan juga pada pandanganya bahwa sesuatu masyarakat tidak dapat dibangun atas dasar yang berakar pada prinsip moral abstrak, tetapi berakar pada tradisi masyarakat.
Dari sudut pandang filsafat ilmu, Polanyi menunjukkan kekeliruan mendasar Positivisme dalam merumuskan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Polanyi menekankan betapa pentingnya penemuan (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak sekedar verifikasi, yang menurut Delfgaauw (1988), adalah penegasan atau pengakuan berdasar pengamatan empiris, terutama tampak jelas dalam Positivisme Logis dengan penekanannya pada susunan logis ilmiah.
Secara structural, segi ilmu pengetahuan tidak terungkap melibatkan dua hal atau dapat disebut dua term ilmu pengetahuan tidak terungkap. Menggunakan istilah anatomi, Polanyi menyebut term pertama dengan term proksimal, yaitu term yang lebih dekat, dan term kedua adalah term distai, yaitu term yang lebih jauh. Hubungan kedua term tersebut disebut sebagai hubungan fungsional dengan rumusan; kita mengetahui term pertama hanya dengan mengandalkan diri pada kesadaran kita tentangnya agar memberikan perhatian pada term kedua. Polanyi meyakini fungsi komitmen personal harus dilihat dalam konteks demikian. Semua perhatian mengenai realitas fokal mengandung komponen-komponen yang diketahui secara subsidernya yang seolah-olah menjadi bagian dari tubuh. Oleh karena itu berpikir tidak secara niscaya bersifat intensional, sebagaimana dipikirkan oleh Brentano; berfikir secara niscaya juga mengandung dimensi-dimensi yang tidak terungkap.
Jadi Polanyi telah merintis suatu model perkembangan baru ilmu-ilmu dengan memadukan secara jernih antara nilai dan fakta, sehingga ilmu-ilmu dikembangkan dapat sejalan dengan perkembangan masyarakat. Objektivitas yang menjadi pokok perhatian ilmu-ilmu, menurut Polanyi justru terletak pada segi tidak terungkapnya ilmu-ilmu itu sehingga mutlak menggunakan objektivisme yang pada prinsipnya akan mencerminkan objektivitasnya. Dalam kerangka ini tampak upaya Polanyi untuk menunjukkan hakikat ilmu sebagai realitas yang personal.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
metodologi disebut juga science of methodos, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoritis berbagai metode. Dapat pula dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki langkah-langkah praktis, adapun derevasinya adalah pada metode penelitian.
Unsur-unsur metodologi meliputi interpretasi, induksi dan deduksi, koherensi intern, holistis, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogikal, dan deskripsi.
Metodologis sangat terkait erat dengan epistemologi, karena asumsi-asumsi yang diajukan oleh para filsuf memasuki wilayah a priori, dugaan mendahului pengalaman. Descartes lebih bertitik tolak pada prinsip keraguan metodis ( skeptis-metodis), Ayer memilih prinsip verifikasi sebagai sarana untuk menguji bermakna atau tidaknya sebuah pernyataan, Popper memandang prinsip falsifiabilitas justru dapat memperkokoh (corroboration) sebuah hipotesa, sedangkan objektivitas yang menjadi pokok perhatian ilmu-ilmu, menurut Polanyi justru terletak pada segi tidak terungkapnya ilmu-ilmu itu sehingga mutlak menggunakan objektivisme yang pada prinsipnya akan mencerminkan objektivitasnya.
B.       Saran
Manakala kita membicarakan metodologi, maka hal yang penting diketahui adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktifitas ilmiah.




DAFTAR PUSTAKA
Drs. Surajiyo. (2008). Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara
Drs. Rizal Mustansyir, M. Hum, dkk. (2004). Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


[1] Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 90.
[2] Ibid., hlm. 91.
[3] Ibid., hlm. 93.
[4] Drs. Rizal Mustansyir, M. Hum, dkk, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 113.
[5] Ibid., hlm. 115
[6] Drs. Surajiyo, op.cit., hlm. 96

Tidak ada komentar: